(Sebuah Refleksi terhadap tulisan berseri Anton Doni Dihen tentang Perang Tanding Adonara)
Oleh : Raymundus Penana Nuba
“Kita harus kembali merevitalisasi nilai kehidupan tradisional terutama
pada nilai-nilai budaya, adat dan spiritualitas sebagai ‘Atadiken Adonara’
seutuhnya. Aplikasi nilai hidup dalam makna perang tanding, seperti yang
dipaparkan Anton dalam tulisannya, sudah dijumpai dalam kehidupan orang Adonara
masa kini, namun mengarahkan ‘Atadiken Adonara’ untuk meninggalkan kebiasaan
Perang Tanding yang sakral itu menurut saya adalah sebuah upaya sia-sia. Sebab wilayah yang sakral itu hanya bisa
dipengaruhi oleh ‘manusia titisan’ atau yang memiliki kewenangan di bidang adat
seperti para imam adat yang memahami
masalah dengan jiwa ”.
Anton Doni Dihen – tokoh
intelektual sekaligus politisi bernurani dari Adonara, telah menggambarkan secara komprehensif Perang Tanding Adonara, dilihat dari dua tinjauan studi yakni potret Perang tanding
di Adonara
dalam kajian Dr. Karolus Kopong Medan dan Ernst Vatter. Anton dengan tegas
mengeritik Vatter karena tesisnya hanya ditopang oleh sebuah studi yang dangkal
sehingga berakibat salah menyimpulkan hakekat perang tanding di Adonara dan perilaku sosial
manusianya.
Anton telah menyodorkan prinsip dan nilai hidup orang Adonara melalui perang
tanding dengan sangat apik dan terstruktur, untuk memberikan jawaban terhadap
Ernst Vatter. Wajah Adonara yang suram dalam justfikasi Ernst Vatter diubah menjadi unik dan
bermartabat dari sisi nilai-nilai kehidupan dalam makna perang tanding yang
dikonstruksi Anton dalam tulisannya.
Bagi saya, jawaban Anton atas tesis
yang dikembangkan oleh Ernst Vatter memberi dampak positip untuk membawa keluar
masyarakat Adonara dari
jeratan Vatter pada opini sesat dan tak bertanggungjawab. Sebab memateraikan
Adonara dengan narasi dan diksi yang tidak tepat adalah sebuah kecelakaan
peradaban yang dilakukan oleh ilmuwan eropa. Mereka sangat konyol dan dangkal memahami peradaban orang Adonara
yang mengandung kemuliaan dan kesakralan dalam dimensi kehidupan universal
khsusnya dalam perang tanding. Namun patut dimaklumi, karena studi kasus terhadap sebuah entitas kebudayaan serta peradaban
orang lain di luar diri peneliti, sedikitnya pasti ada penyimpangan makna
apalagi jika dilakukan dengan tanggungjawab moral yang sunyi.
Perang tanding di Adonara biasanya didominasi oleh masalah tanah.
Tanah merupakan obyek utama sengketa yang melahirkan perang tanding. Tetapi tanah
juga sebagai
tempat bertumbuhnya ‘nepa nolan’ atau sumber
makanan nabati serta tumbuh-tumbuhan lain untuk menopang kehidupan manusia. Jika tanah
hanya berfungsi sebatas tempat pijak tanpa menumbuhkan tumbuh-tumbuhan untuk
makanan maupun minuman serta obat-obatan untuk kesehatan maka hampir dipastikan
tidak ada kehidupan di muka bumi ini. Tumbuh-tumbuhan menyuplay oksigen (udara) untuk kebutuhan manusia dan makhluk hidup
lainnya. Tanah
pula yang menyimpan air untuk kebutuhan hidup semua makhluk hidup termasuk manusia.
Tanah pula yang menjadi tempat ‘kencing dan berak’ manusia. Demikian juga dalam
rekayasa penciptaan manusia, tanah adalah sumber penciptaan, sumber kehidupan,
dan tanah juga sebagai sumber kematian. Tuhan telah menciptakan manusia dari
tanah, seturut gambar dan rupanya, hingga akhirnya manusia kembali menjadi tanah. Dalam
tutur orang Adonara terkait penghormatan terhadap tanah, sering terdengar
petuah, ‘mekiro maaro peko, tairo maaro
wauna’ maka, ‘gong di peten, menu di
peten’. Maksudnya adalah, dimana tanah itu dipijak, harus selalu ingat
untuk memberi penghormatan pada tanah itu sendiri dan kepada siapa pemilik
daripada tanah itu. Misalnya, sebagai orang Adonara yang berdiam di tanah
Timor, kami wajib memberi penghargaan terhadap tanah timor, beserta leluhur
mereka yang pertama kali mendiami dan menjadi pemilik tanah tersebut. Dalam
ritual ‘bau lolon’ dalam tradisi Adonara, sebutan untuk penghormatan terhadap leluhur tanah timor wajib
terungkap dalam ritual tersebut.
Tanah sebagai ibu bumi, sering
disebut juga sebagai
‘ina guna
tana ekan’ atau fungsi ibu yang dimaknai sebagai
tanah atau bumi. Tanah dan ibu memiliki peran yang sama, menciptakan hidup,
melahirkan hidup, menjaga kelangsungan hidup, serta mengembalikan kehidupan
pada rahimnya. Dari Rahim ibu atau tanah, bertumbuh kehidupan, dari Rahim Ibu atau tanah membentuk
dan menjaga ‘tube mange’ atau asupan makanan untuk menghidupi jutaan sel
dan napas kehidupan manusia. Tanah diasosiasikan dengan Rahim daripada ibu,
yang mengandung, melahirkan, memberi asupan makan, serta menjaga kelangsungan
hidup manusia. Tanah adalah Rahim ibu yang dipakai untuk menciptakan manusia
serta menghidupkan manusia sampai pada kematiannya.
Bagi ‘Atadiken Adonara’ tanah dipahami sebagai
ibu, yang mesti diberi penghormatan yang tinggi karena rahimnya, serta
pengorbanan saat kelahiran,
kehidupan sampai pada kematian manusia. Manusia Adonara percaya, bahwa fungsi
ibu bisa mengutuk kehidupan, jikalau ia didurhakai, dikhianati atau dilukai.
Tanah telah memberi nilai tersendiri dalam kehidupan ‘Atadiken Adonara’. Maka kepada tanah, ‘Atadiken Adonara’ memaknainya secara unik,
penuh penghayatan dan keyakinan untuk dihormati. Jika keluar dari nilai yang
diyakini ini maka, ada saja musibah atau peristiwa yang bakal menimpa kehidupan
manusia. Salah satunya adalah perang
tanding yang menimbulkan pertumpahan darah manusia. Persoalan tanah telah
memicu sikap sensivitas manusia Adonara, tanah mengajarkan ‘Atadiken Adonara’ untuk menghormati
kepemilikan orang lain, tanah juga mengajarkan kepada manusia agar menjaga
hubungan dengan alam, leluhur juga Tuhan. Namun sikap patuh pada nilai ini
semakin pudar pada generasi sekarang. Maka tidak heran, jika ada saja peristiwa
pilu yang terjadi, lalu kita mulai mencari jalan keluarnya.
Menurut saya, tulisan Anton Doni Dihen belum sepenuhnya menggambarkan fungsi tanah
bagi orang Adonara dalam pemaknaan yang lebih kuat sebagai ibu
bumi sekaligus sebagai salah satu sumber terjadinya konflik perang tanding di
Adonara. Sebab mendalami
tanah sebagai sumber kehidupan dalam pemaknaan ‘Atadiken Adonara’ maka
kita akan lebih mudah menaruh solusi terhadap perang tanding itu sendiri. Generasi Adonara kini sudah
tidak memahami lagi makna sesungguhnya daripada tanah sebagai ibu, sehingga
ritual-ritual purba peninggalan leluhur untuk menghormati tanah hampir tidak
ada lagi. Misalnya ritual sebelum memulai musim tanam dan musim tuai. Lebih krusial lagi, dijaman
ini, banyak manusia yang sengaja mencari keuntungan atas tanah yang
sesungguhnya bukan milikinya dengan cara mengklaim kepemilikan. Tanah itu jika
diperlakukan dengan tidak adil, maka ia sendiri yang akan memberikan sanksi. Seperti contoh, tanah ‘kenep’hong’.
Tanah yang diwariskan oleh leluhur yang tidak memiliki keturunan. Tanah
tersebut dianggap sangat ‘panas’ dan mesti tahu mengolahnya. Jika tidak, maka akan mendatangkan
musibah diantaranya nyawa bisa direnggut dalam berbagai musibah atau
kecelakaan.
Studi kasus yang dikembakan Anton Doni
Dihen dalam tulisan berseri, telah menawarkan solusi yang masih berpijak dipermukaan
masalah. Bagaimana mungkin orang Adonara diseruhkan untuk berhenti perang dan
diarahkan kepada perang modern yakni perang terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi.
Hal ini baik, tetapi disaat yang bersamaan begitu banyak orang Adonara juga telah membuktikan diri
sebagai pemimpin, hampir disetiap lini kehidupan. Itu artinya, pondasi dasar dalam
mengemban nilai-nilai hidup yang diperoleh dari kelompok atau komunitas sosial Adonara
selalu ‘berlayar dalam aliran darah’ setiap ‘Atadiken Adonara’ dan hampir diseluruh
aspek kehidupan baik sosial, politik, ekonomi dan juga ketahanan mental
spiritualnya. Aplikasi nilai hidup dalam makna perang tanding, seperti yang
dipaparkan Anton dalam tulisannya, mestinya sudah dijumpai dalam kehidupan
orang Adonara masa kini, namun mengarahkan ‘Atadiken Adonara’ untuk
meninggalkan kebiasaan Perang Tanding yang sakral itu menurut saya adalah
sebuah upaya sia-sia, sebab wilayah yang sakral itu hanya bisa dipengaruhi oleh
‘manusia titisan’ atau yang memiliki kewenangan di bidang adat seperti para
tokoh adat yang memahami masalah dengan jiwa. Memahami hakekat nilai serta
konstruksi berpikir sebagai ‘Atadiken adonara’ yang sangat mulia dan
berkeadilan. Mengutip
pernyataan
Prof. Elias
Kopong dalam sebuah wawancara dengan saya,”sekalipun sekolah saya
tinggi, tetapi saat berada di kampung saya tidak punya
kewenangan untuk mengatur adat, karena suara saya tidak ada gesah,”. Artinya bahwa,
setinggi apapun pendidikan formal kita, urusan menyangkut tata nilai dan adat istiadat di Adonara tetap
berpedoman pada para pelaku adat yang memiliki kekuatan untuk mempengaruhi atau yang memiliki gesah.
Ketika kita tarik masuk pemahaman ini pada upaya Anton Doni
untuk mencari formulasi menghidari perang tanding yang sesungguhnya ke perang
tanding dengan semangat baru dibidang ilmu pengetahuan dan teknologi, maka menurut saya kecil
kemungkinan akan
mempengaruhi
orang untuk membelokan pemikirannya ke arah sana. Hemat saya, menyelesaikan persoalan
perang tanding di Adonara adalah dengan mengarahkan orang untuk kembali kepada fondasi nilai yang
bertumbuh dalam komunitas sosial ‘Atadiken Adonara’, tentang tata nilai yang sudah
mentradisi. Kita harus kembali merevitalisasi nilai kehidupan
tradisional kita sebagai ‘Atadiken Adonara’, terutama pada nilai-nilai budaya,
adat dan spiritualitas sebagai ‘Atadiken Adonara’ seutuhnya. Misalnya dalam
ungkapan ata
raen dore raen, moripet koda, matanet di koda, Moem muren deino moon
kodham, moem nalan gokano moom kodham, muko tapo ne ake taka, karena ele ne
plate-plate, ake isak biat ata ina bine wae buma, dan masih begitu
banyak larangan serta pantangan sebagai perwujudan dari nilai yang hidup di
tengah-tengah kehiupan ‘Atadiken Adonara’. Untuk menjalani fungsi revitalisasi
nilai ini, kita
mesti membangun infrastruktur semi formal guna mengembangkan pola penyelesaian
masalah dengan aturan yang hidup dan berkembangan di tengah masyarakat. Tentang perang
tanding, mestinya pernah ada contoh yang patut diguguh, misalnya penyelesaian
masalah batas tanah antara desa Lewopao dan desa Lamahelan pada beberapa decade silam. Mereka bersepakat untuk
bersumpah, dengan tata ritual sesuai tradisi setempat. Hanya dengan syarat menuang tuak ke tanah atau
‘bau lolon’ saja, orang akan mempertimbangkan berulang kali untuk maju ke arena
sumpah. Sebab konsekuensi dari ‘bau lolon’ atau lebih tinggi lagi dengan ‘belo
berekan’ adalah menyangkut nyawa manusia juga. Perhatikan baik-baik cerita
tentang proses damai sengketa tanah Lewopao – Lamahelan ini. Pasti ada yang menjadi
korban karena peristiwa belo brekan atau bau lolon tersebut.
Oleh sebab itu menurut saya, solusi yang ditawarkan
Anton Doni adalah sebuah kajian yang masih debatable, dimana akar masalah masih
tersisihkan secara serius. Untuk itu, kebiasaan tutu koda marin kirin terhadap
persoalan perang tanding di Adonara, mesti memiliki ruang yang serius untuk terus
digalakan dari waktu ke waktu. Bagi saya, dengan mengembangkan organisasi semi
otonom yakni lembaga adat baik ditingkat desa/lewo, tingkat kecamatan dan
tingkat kabupaten adalah sebuah solusi. Lembaga ini dibiayai oleh
pemerintah untuk menjalankan fungsi pemerintahan tradisional antara lain,
menciptakan aturan adat, sosialisasi aturan adat, memberikan sanksi terhadap
pelanggar aturan adat, menyelesaikan masalah secara adat dan bekerjasama dengan
lembaga adat lainya di desa/lewo untuk menetapkan batas ulayat masing-masing desa. Pada ruang
informal ini, mereka akan bicara dari hati ke hati, menempatkan kebenaran
hakiki di atas kepalanya, mencari kebenaran sejati di relung hatinya, sebab
mereka adalah orang-orang pilihan atau delegator yang memiliki kewenangan
secara adat untuk mengurai dan menyelesaikan masalah apapun, termasuk perang
tanding. Dia akan membawa suara dari bawah, dari kampungnya/lewo untuk
disampaikan ketingkat lebih atas pada lembaga adat ini.
Solusi yang ditawarkan di atas,
sesungguhnya sedang mengajak ‘Atadiken adonara’ untuk kembali pada jati diri
yang sesungguhnya, pada norma dan aturan adat lain yang mengikat. Inilah akar
masalah kita saat ini, dimana degradasi nilai kehidupan yang telah ditanam oleh
pendahulu kita tercerabut dari akarnya. Jika akarnya tercerabut, maka mudah
untuk ditumbangkan. Peristiwa kemanusiaan selalu paralel dengan sikap dan
tingkah laku manusia terhadap sesama, alam, leluhur dan juga kepada Tuhan. Pada
dimensi ini, kita harus sadar bahwa kita sudah parah masuk dalam cengkraman
peradaban modern, yang melumpuhkan pengertian hidup kita sebagai ‘atadiken’
yang berkata, bertindak dan berpikir jernih, jujur, iklas, rendah hati, gotong
royong dan saling menghormati. Semua ini adalah nilai fundamental dalam hidup
berkomunitas sebagai ‘Atadiken Adonara’. Hormat saya buat kakanda Anton Doni
Dihen, pemilik kerendahan hati, kader Adonara yang berintegritas dan selalu
menghormati siapa saja. Pada dirimu kutemukan sejuta makna, arti sesungguhnya
sebagai ‘Atadiken Adonara’ sejati. Teriring salam, Puin Taan Uin Tou, Gahan
Taan Kahan Ehan !
Tekan titen, Tenu titen
BalasHapusPercakapan yang menarik. Salut senior berdua
BalasHapusahe noon alapen
BalasHapusMenarik. Goe ikuti dengan seksama. Ada irisan dari tulisan ini dengan tulisan ADD, terutama artikel ketiga. Semoga berlanjut olah pemikiran ini.....
BalasHapusMakasih abang, salam hormat !
HapusAta diken
Hapus