Kamis, 09 April 2020

“BUA HIRA” Lamaholot & “EKARISTI KUDUS”: Penegasan “ATADIKEN” citra diri “ATANDIKEN DA’AN”!


Oleh : Chris Boro Tokan
 
 

Pendahuluan
“Bua Hira” secara harafiah “bua” bermakna “makan”, “hira”, “ira” bermakna “dibatasi”, “terbatas”. Maka makna “bua hira” terpahami sebagai “makan bersama yang terbatas, dibatasi bersubstasi sebagai suatu acara, ritus makan bersama yang khusus, suci untuk satu anggota keluarga dan atau komunitas, suku”. Pelaksanaan “bua hira” sejatinya tanda sebuah wujud “tau bersyukur dan berterimakasih” dari komunitas keluarga kecil dan atau suku atas hidup kehidupan yang telah dijalani dalam suatu siklus kehidupan tahunan. Sama halnya dengan “Ekaristi Kudus” yang wajib dijalankan setiap minggu dan atau dalam setiap siklus tahunan hari raya gereja katolik untuk umat katolik.
Pemaknaan untuk “satu anggota keluarga dan atau komunitas, suku” dalam berlangsungnya “bua hira”, terjabarkan sesuai kondisi dan situasi, maka: (1). Untuk satu keluarga kecil saja sebagai perwakilan satu keluarga dari turunan Bapak, (untuk Bapa-Mama, Anggota keluarga Bapa, dan semua Orang Tua, Nene, Leluhur dalam suku yang sudah meninggal); (2). Untuk satu keluarga besar Bapa yang dijalankan oleh keluarga si Sulung dengan menghadirkan anggota keluarga yang lain sebagai representasi jumlah anggota kelurga sebagai turunan dari Bapak, (untuk Bapa-Mama, Anggota keluarga Bapa, dan semua Orang Tua, Nene, Leluhur dalam suku yang sudah meninggal). Anggota Keluarga yang masih hidup dan saat berlangsungnya “bua hira” berada di sekitar lokasi dan tidak ada alasan kuat untuk tidak hadir maka wajib ikut “bua hira”. Sedangkan yang berada di tempat yang jauh atau sedang bertugas, atau sedang merantau, senantiasa diwakilkan kepada setiap anggota yang hadir. Perwakilan itu seperti untuk Bapa-Mama, Anggota keluarga Bapa, dan semua Orang Tua, Nene, Leluhur dalam suku yang sudah meninggal.
 
“Bua Hira” sebagai “Tanda Tau Bersyukur & Berterimaksih”
Kapan berlansung “Bua Hira”? Siklus berlansungnya “bua hira” secara tertib dilansungkan setelah “tubak-mula”, yakni tanda telah dimulainya musim menanam (“tubak mula”), dan sesudah “hudun-hubak”, yakni setelah selesai musim memanen. Di sela siklus itu dapat dilangsungkan “bua hira” saat selesai suatu acara dalam keluarga seperti acara pernikahan anggota keluarga. “Bua Hira” sebagai tanda Puji syukur dan berterimakasih bersama dalam keluarga yang masih hidup, dan untuk semua mereka yang sudah meninggal atas telah terlaksana sebuah siklus kehidupan serta suksesnya suatu perhelatan keluarga, suku. Tanda Puji syukur dan berterimakasih itu secara substansif sesungguhnya secara sadar atau tidak sadar ditujukan kepada Sang Penguasa sebagai Pemberi dan Pemilik hidup kehidupan, tersimbolkan melalui orang-orang yang hidup maupun sudah meninggal.
Supaya terlaksana “bua hira” maka sejak pagi-pagi disiapkan dua ekor ikan “bura’ke” (ikan gelamang) dan “waha bura’n” (beras putih) “nuke lema” (lima cangkir). Sesuai jumlah anggota keluarga peserta ritus “bua hira” maka jumlah ikan “bura’ke” dua ekor & “waha bura’n” (beras putih) “nuke lema” dapat disesuaikan. Masing-masing di masak tanpa garam sehingga menjadi masakan kuah ikan dan nasi putih. Disiapkan perlengkapan senduk sesuai jumlah anggota keluarga baik yang masih hidup maupun sudah meninggal. Dua piring kuah untuk mengisi kuah ikan & dua piring nasi untuk mengisi nasi, dua piring garam untuk mengisi garam, dua gelas air untuk mengisi air minum. Disiapkan “warak kewokot“ sejumlah anggota suku yang sudah meninggal (“warak kewokot“: piring untuk yang sudah meninggal, teranyam dari selembar “daun lontar” bediameter 3 cm) untuk mengisi nasi, ikan, garam, sirih-pinang-kapur, tembakau bagi anggota keluarga-suku yang sudah meninggal. Dengan demikian wajib ada sirih-pinang-tembakau dalam “warak ekot” (tempat mengisi siri-pinang-tembakau) & satu “nawin” (seruas bambu dibuat untuk mengisi tuak) atau dalam botol berisi tuak putih beserta “neak” (cawan adat yang terbuat dari tempurung).
 
Sebelumnya disiapkan santan kelapa (diisi dalam 1 piring) dan air untuk mencuci muka (dalam 1 kaleng, ember kecil) , disiapkan pula sisir, handuk. Perlengkapan ini untuk setiap anggota keluarga peserta ritus wajib mencuci muka, meminyaki rambut dengan santan kelapa untuk dirinya dan juga sejumlah anggota keluarga yang diwakili. Kemudian mengeringkan muka dan menyisir rambut untuk memulai “bua hira” (“santapan suci”). Uniknya bahwa ritus “bua hira” dipimpin oleh Ibu keluarga (bukan Bapa keluarga) dan dilansungkan pada siang hari. Anggota keluarga yang hadir pria-wanita masing-masing diberi tugas selain untuk diri mereka sendiri juga “mewakili” anggota keluarga yang sudah meninggal (dari leluhur, moyang, nenek, orang tua, anggota keluarga) maupun yang masih hidup (namun karena satu dan lain hal tidak hadir) dalam santap bersama (“bua hira”). Anggota keluarga pria mewakili yang pria sedang perempuan mewakili yang perempuan.
Tentu Ibu keluarga sebagai pemimpin ritus “bua hira” terlebih dahulu mencuci muka-meminyaki rambut dengan santan kelapa, menyisir rambutnya. Di saat anggota keluarga peserta ritus mencuci muka-meminyaki rambut-menyisir rambut, maka Ibu keluarga mengisi “warak kewokot” untuk sejumlah anggota keluarga-suku yang sudah meninggal itu. Masing-masing mereka yang sudah meninggal dalam 1 warak kewokot terisi “nasi dan ikan”, 1 warak kewokot lagi terisi garam, 1 warak kewokot yang lain terisi sirih-pinang-tembakau. Setelah terisi semuanya (“warak kewokot”) yang berada dalam “liwan” (sejenis keranjang dari anyaman daun lontar seukuran “baskom besar”) ditempatkan di tanah (di lantai) di ruang makan. Ruang makan , tempat itu sudah terlebih dahulu tersediakan nasi putih (dua piring), kuah ikan burak’ken dan isinya (dua piring kuah), dua piring kecil untuk mengisi garam, dua piring masing-masing mengisi senduk untuk masing-masing anggota keluarga laki-laki dan perempuan untuk diri mereka dan anggota keluarga (laki & perempuan) yang mereka wakili. Ada juga “warak” terisi sirih-pinang-tembakau, tersedia pula dalam “nawin” (seruas bambu dibuat untuk mengisi tuak) atau 1 botol berisi tuak putih dan “neak” yakni gelas adat terbuat dari tempurung kelapa.
 
Posisi masing-masing dalam ritus “bua hira”, pemimpin ritus “bua hira” yakni Ibu keluarga memimpin. Peserta anggota-anggota keluarga laki-laki semua duduk setengah melingkar di sebelah kanan, sedangkan anggota-anggota keluarga perempuan duduk setengah melingkar di sebelah kiri, masing-masing di sebelah pemimimpin ritus. Di hadapan mereka semua dalam setengah melingkar itu berada seluruh kelengkapan “bua hira”, paling ujung di depan
semua kelengkapan itu terletak “liwan” (sejenis keranjang dari anyaman daun lontar seukuran “baskom besar”). “Liwan” berisikan “warak kewokot” untuk sejumlah anggota keluarga-suku yang sudah meninggal itu. Masing-masing mereka yang sudah meninggal dalam 1 warak kewokot terisi “nasi dan ikan”, 1 warak kewokot lagi terisi garam, 1 warak kewokot yang lain terisi sirih-pinang-tembakau, ada lagi “dua buah warak kewokot yang belum terisi”.
Dimulailah “bua hira”, diawali pemimpin ritus mengambil “sejumput nasi dan ikan” meletakan ke dalam “dua buah warak kewokot yang belum terisi”, diikuti garam. Kemudian mengambil tuak putih dalam “nawing” (seruas bambu dibuat untuk mengisi tuak) atau dalam botol, lalu menuangkan dalam “neak”. Tuak dalam “neak” itu disiramkan secara “berirama yang pelan” sebanyak 3 x di atas “dua buah warak kewokot yang sudah terisi nasi-ikan-garam”. Sambil mengumandangkan ucapan syukur dan terimakasih kepada “Sang Penguasa” sebagai Pemberi dan Pemilik hidup kehidupan. Substansi ucapan syukur dan terimakasih itu disesuaikan dengan ritus “bua hira” (“hudu-hubak”, “tubak-mula”, atau setelah selesai suatu urusan keuarga, suku seperti pernikahan). Tercermarti melalui orang-orang yang sudah meninggal (“orang kudus keluarga”) tersimbolkan sebagai pengantara kepada “Sang Penguasa” bagi segala syukur & terimakasih anggota keluarga & suku yang masih hidup di bumi, di saat berlangsungnya ritus ini.

Sebelum mengambil satu sendok nasi-diikuti secuil lauk ikan dan kuahnya, garam untuk di makan, didahului pemimpin ritus dan kelak diikuti masing-masing peserta ritus. Maka terlebih dahulu menerima suguhan “secuil tuak dalam neak” sebagai “tegukan pembuka” (“behin muan”) untuk dirinya, juga untuk sekian kalinya seuai jumlah masing-masing yang diwakili. Ritus “bua hira” dilanjutkan dengan pemimpin ritus terlebih dahulu mengambil satu sendok nasi-diikuti secuil lauk ikan dan kuahnya, garam, lalu memakannya untuk dirinya. Selanjutnya kalau ada anggota keluarga perempuan yang diwakili, maka pemimpin ritus masih melanjutkan untuk setiap mereka yang diwakili. Dilanjutkan dengan anggota keluarga laki-laki (Ayah, anak-anak Putra) masing-masing untuk diri mereka dan yang diwakili. Setelah itu diikuti anggota keluarga perempuan (Ibu yang lain, anak-anak Putri) masing-masing untuk diri mereka dan yang diwakili.
Dilanjutkan dengan suguhan “secuil tuak dalam neak” sebagai “tegukan pelengkap, penyempurna” (“papa’ro”) untuk masing-masing mereka. Kemudian kembali dengan senduk mengambil nasi-ikan, lauk, garam memakannya kembali untuk diri mereka dan untuk masing-masing yang di wakili. Setelah itu melakukannya kembali untuk ke 3 kalinya bagi masing-masing peserta ritus untuk diri mereka dan untuk masing-masing mereka yang diwakili. Diikuti dengan suguhan “secuil tuak dalam neak” sebagai “tegukan penutup” (“peli’ro”) untuk masing-masing mereka. Acara “bua hira” diakhiri dengan masing-masing mereka meminum secuil air putih di gelas untuk diri mereka masing-masing, juga masing-masing untuk sekian kalinya sejumlah mereka yang diwakili.
Saat senja sebelum matahari terbenam, pemimpin ritus mengangkat “liwan” berisikan “warak kewokot” sebagai simbol untuk sejumlah anggota keluarga-suku yang sudah meninggal itu dan Sang Penguasa. Masing-masing mereka yang sudah meninggal dalam 1 warak kewokot terisi “nasi dan ikan”, 1 warak kewokot lagi terisi garam, 1 warak kewokot yang lain terisi sirih-pinang-tembakau. Ada lagi “dua buah warak kewokot terisi” saat awal pembuka ritus ditujukan kepada “Sang Penguasa” sebagai Pemberi dan Pemilik hidup kehidupan. “Liwan” dengan segala perlengkapannya itu di antar oleh pemimpn ritus ke jalan umum sebagai “tanda” penghantaran mereka kembali ke kediaman mereka yang kekal. Di pinggir jalan diletakan semua “warak kewokot” dengan isinya itu, dan menyampaikan pamit kepada semua mereka yang sudah meninggal dan Sang Penguasa. Diiringi segala rasa syukur dan terimakasih atas segala kebersamaan ilahi yang menyata yang telah terjadi dalam kehidupan anggota dan keluarga, dan suku. Dalam pamitan itu disertai dengan harapan bahwa nanti saatnya kembali lagi untuk melihat anggota keluarga, suku dan memberikan pertolongan dalam kesehatan rohani-jasmani, kesuksesan, kemurahan rezeki dalam setiap rutinitas kehidupan di bumi.
 
“ATADIKEN” citra diri “ATANDIKEN DA’AN”!
Melalui “bua hira” secara tersirat maupun tersurat setiap “Atadiken” Lamaholot sedang menegaskan keberadaan diri mereka sebagai citra dari “Atandiken Da’an”. Tertelusuri dalam rasa tau bersyukur dan berterimaksih kepada Sang Penguasa pencipta dan pemberi hidup kehidupan. Diyakini melalui perantaraan orang kudus dalam keluarga, suku yang diyakini dalam hidup kehidupan sehari-hari dalam siklus kehidupan tahunan “menabur, menanam (“tubak-mula”)- menuai, memanen” (“hudun-hubak”).
Setelah “menabur, menanam (“tubak-mula”) di kebun, maka satu dua hari kemudiN dilakukan “bua hira” untuk mengucap syukur dan berterimaksih kepada Sang Penguasa Kehidupan melalui perantara leluhur, nenek-moyang, orangtua, anggota keluarga yang sudah meninggal. Karena hanya belaskasihan Sang Pengusa Kehidupan yang membuat mereka masih hidup dan telah melakukan “menabur, menanam (“tubak-mula”) di kebun. Maka dimohonkan untuk menjaga dan memelihara benih yang telah tertanam agar tumbuh daunnya menggapai langit-akarnya menancap ke kedalaman tanah (“lolon gere goe gapak rerawulan-ramut’en lodo buno parak tana ekan”). Supayaberbunga dan berbuah menjadi makanan kami sekeluarga dan menolong sesama yang membutuhkan (“gere puhu-wua’na na’an kame moon lango bua-noon mai gute gelekat suku lewo-pana gewayan ata tana”).
Saat tiba musim menuai, memanen” (“hudun-hubak”), maka kembali dilakukan “bua hira” setelah itu. Demi mengucap syukur dan berterimaksih kepada Sang Penguasa Kehidupan melalui perantara leluhur, nenek-moyang, orangtua, anggota keluarga yang sudah meninggal. Karena hanya belaskasih Sang Penguasa Kehidupan menjadikan keberhasilan mereka dalam berkebun yang telah membawa hasil. Sehingga hasil kebun ini selain untuk menghidupi keluarga, maka juga mengingat bagian saudari yang sudah menikah dan keluarga mereka, juga sesama yang berkekurangan (“peten’nem maan onem nimun-perohon’nem hukut uhun’nem tukan, ata hudun-hubak maan kame lodo hudun-hubak, gere moon uma lango bua-peten ina bina, gelekat suku lewo-gewayan ata tana). Berikut tersedianya benih untuk musim tanam berikut (“me’nean lodo tubak-mula nuan murin”).
Tau bersyukur & berterimakasih setidaknya menjadi petunjuk bahwa setiap Atadiken Lamaholot secara sadar atau tidak sadar menegaskan dirinya citra dari Atandiken Da’an, yakni Isa Al Maseh, Yesus Kristus. Melalui “bua hira” setidaknya itu sebagai suatu bentuk “Doa” kepada Sang Penguasa hidup kehidupan melalui para orang kudus dalam keluarga (anggota keluarga: leluhur, nenek moyang, orangtua, sanak saudara-saudari yang sudah meninggal). Karena INA "Tana Ekan" (“Bunda Maria) asli "DIKEN DA'AN"! ... sampe "ATAN" Rerawulan yang asli datang ke "Tana Ekan" untuk menegaskan "kakon-nawak" (“raga”) "DIKEN DA'AN" sebagai "ATAN DIKEN DA'AN". Demi "menebus" ("tewu") "dosa, kesalahan" ("nalan-milan") setiap manusia "ATA DIKEN" meminjam kandungan (“beliwo”) dari INA "Tana Ekan" itu.
 
MAKA sesungguhnya “bua hira” sebagai suatu bentuk berdoa ("prudut-proin") kepada yang "ASLI" yakni "ATAN": "Maranata", "Maran' Atan" ! melalui “INA ATAN” kepada “ATAN DIKEN DA”AN” !Markus 11:24 “Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu.”
Kata DOA adalah sesuatu yang telah menjadi begitu umum di dalam keseharian kekinian. Dalam bentuk yang sangat beragam, doa merupakan pengakuan kita bahwa ada sebuah kuasa yang lebih tinggi dari apapun dan kita butuh untuk ditolong, dan kita meyakini kuasa tersebut berasal dari ALLAH, “Sang Penguasa segala Kehidupan” bdk. https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/ola-allah-roh-0-ola-ile-allah-ilahi-allah-gunung-batu-ku-misteri-allah-tritungga/1863313397066565/

Ada banyak orang yang menginginkan bahwa setiap doanya dijawab atau dikabulkan oleh Allah, tetapi ada banyak orang percaya tidak mengerti dan tidak tahu bagaimana agar keinginannya menjadi kenyataan. Jawaban DOA membutuhkan IMAN, dan IMAN di uji oleh waktu. Kalau sampai saat ini masih belum menerima jawaban DOA, jangan berhenti, namun berdoalah sampai sesuatu terjadi. Dan pastinya di dalam penantian jawaban doa tersebut, setiap atadiken sebagai orang beriman akan menjadi lebih kuat bdk. https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/salib-atlantis-lewo-tanah-sepasang-pilar-piramida-yin-yan-dua-loh-batu-filsafat-/1790287664369139/.

Setiap Atadiken yakni orang lamaholot memiliki kesempatan yang sama untuk mengalami kuasa doa, sebab kuasa doa bukan hanya untuk sekelompok orang, para pendeta dan pelayan saja, tetapi setiap orang percaya memiliki kesempatan yang sama untuk mengalami kuasa doa bdk. https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/gada-besi-dalam-kitab-suci-gala-rera-wulan-eken-matan-pito-ilen-boleng-kara-nisa/2406987922699107/. Maka jangan berhenti berdoa, tetap miliki iman, Tuhan pasti buka jalan. Maran Atan (“Maranatha”), “Atadiken Da’an”. Maranata (bahasa Aram (dengan aksara Ibrani): מרנא תא: maranâthâ' atau מרן אתא: maran 'athâ' ; bahasa Yunani: Μαραναθα; bahasa Inggris: Maranatha, Nomor Strong: 3134) adalah istilah dalam bahasa Aram yang tertulis dalam 1 Korintus 16:22 yang berbunyi: Siapa yang tidak mengasihi ALLAH, terkutuklah ia. 
 
Maranata!
Istilah ini dalam bahasa Indonesia diterjemahkan sebagai Tuhan kami, datanglah (BIS, bd. Ing. Our Lord cometh).[1] Namun, ada pula variasi lain, misalnya: "Tuhan akan datang segera" (KSI, bd. Ing. "Our Lord is coming"[2]), "Datanglah, ya Tuhan" (WBTC), "Tuhan Yesus, datanglah!" (FAYH), dsb. Alkitab New American Bible (NAB) mengulas: "Sebagaimana dipahami di sini ("O Lord, come!"; "Ya Tuhan, datanglah"), istilah ini merupakan sebuah doa mengharapkan segera kedatangan Yesus Kristus yang kedua kalinya. Jika kata-kata Aram dipisahkan secara berbeda (Maran atha, "Our Lord has come"; "Tuhan kita telah datang"), maka itu menjadi pernyataan pengakuan iman (kredo). Interpretasi pertama didukung oleh apa yang nampaknya merupakan istilah bahasa Yunani yang setara, di dalam Wahyu 22:20 "Amen. Come, Lord Jesus!" ("Amin, datanglah, Tuhan Yesus")".
BERDOA, BERPUASA, BERTOBAT (“HIDUP BARU”) memanggil “ATAN DIKEN DA’AN” yakni “ISA ALMASEH” sosok “YESUS KRISTUS” dengan: membangun dan merawat “daya ingat” (“o’nem peten pe’nuket ni’u nimun naman) sebagai sebuah suku bangsa yang berperadaban tinggi agar “berkemampuan berabstraksi” (“u’hun nem nuku hu’kut hipuk a’tenem tuka”), demi kelak “tahan berdiri” menjemput kedatangan “Anak Manusia” di zaman akhir (“Betu, betu’ke tana tuen ekan balik, tuen ikene di hala, balik gelu di gehan hala!”) . Seperti Sang Guru Ilahi mengingatkan untuk “berjaga-jaga demi kedatangan Anak Manusia melalui alegori pohon Ara yang tidak menghasilkan buah, dan jangan berpesta pora, mabuk-mabukan” (bdk. Lukas 17: 25-36).
Peringatan dan himbauan itu demi “umat pilihan-Nya” (“Ata Lamaholot”) dan semua orang yang beriman kepada-Nya sebagai “Ata Diken” citra diri-Nya “Atan Diken Da’an”, untuk senantiasa hidup:
 
1. ”Berkpribadian dalam budaya” (“gemohin, gemohe”, gotong royong, bersama-sama, dalam “soron hode” yakni “memberi & menerima”, yakni “terima kasih”, “cinta kasih”, bdk. Yohanes 13:34-35, 15: 13, 1 Yohanes 4: 7-8, 16, 19, Markus 12: 33, Efesus 5: 1-2, 1 Korintus 13: 13, Kidung Agung 1: 2, Amsal 10: 12,);
2. “Berkedaulatan dalam politik” (“Gelekat”, pelayanan, saling melayani, “Aku datang untuk melayani”, bdk. Matius 20:28);
3. “Berdikari dalam ekonomi” (“gon peten-menu ke’pae”, “gon tubene-menu worak”, “tekan titen-tenu titen”,"Tele-Towe" bdk. Yesaya 65:20-25, bdk. Mateus 5-7 “Khotbah di Bukit”).***
 
Markus 11:24 “Karena itu Aku berkata kepadamu: apa saja yang kamu minta dan doakan, percayalah bahwa kamu telah menerimanya, maka hal itu akan diberikan kepadamu.”
Maka "MARAN ATAN" memanggil “ATAN DIKEN DA’AN” yakni “ISA ALMASEH” sosok “YESUS KRISTUS” dengan mendengarkan panggilan-Nya (Matius 9:13): membangun dan merawat “daya ingat” (“o’nem peten pe’nuket ni’u nimun naman) sebagai sebuah suku bangsa yang berperadaban tinggi agar “berkemampuan berabstraksi” (“u’hun nem nuku hu’kut hipuk a’tenem tuka”) seperti dalam ritus “bua hira”, demi kelak “tahan berdiri” menjemput kedatangan “Anak Manusia” di zaman akhir, bdk. Lukas 21:36 (“Betu, betu’ke tana tuen ekan balik, tuen ikene di hala, balik gelu di gehan hala!”) bdk.https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/betu-betuke-gere-gere-gelu-gehan-hala-alpha-omega-pati-beda-kerajaan-1000-tahun-/2728755360522360/.
Seperti Sang Guru Ilahi mengingatkan untuk “berjaga-jaga demi kedatangan Anak Manusia melalui alegori pohon Ara yang tidak menghasilkan buah, dan jangan berpesta pora, mabuk-mabukan” (bdk. Lukas 17: 25-36).
 
“Sesungguhnya Aku berkata kepadamu, janda miskin ini memberi lebih banyak daripada semua orang yang memasukkan uang ke dalam peti persembahan. Sebab mereka semua memberi dari kelimpahannya, tetapi janda ini memberi dari kekurangannya semua yang dimilikinya, yaitu seluruh nafkahnya” (Markus 12:38-44).
 
Kriteria apakah yang dipenuhi oleh seseorang agar disertai oleh Tuhan ? Alkitab berkata: "Cukup dengan percaya kepada Yesus Kristus" (bdk. 1 Yohanes 5:1-21). Percaya kepada-Nya sebagai Tuhan yang memegang kendali seluruh kehidupan manusia, dengan hidup meneladani-Nya dalam kehidupan yang “sederhana”, “apa adanya” (“Atan Diken Da’an”). Burung mempunyai sarang, tempat mereka beristirahat. Akan tetapi Anak Manusia tidak mempunyai apa-apa untuk meletakkan kepala-Nya.
 
“Uma Tukan, Ua’ken Tukan Wai Matan-Karo Puken”
Ungkapan Lamaholot “Uma Tukan, Ua’ken Tukan Wai Matan-Karo Puken”, “Poros Air Kehidupan-Pohon Kehidupan”- yang asli. dalam Kitab Suci bermakna “sumber Air kehidupan” (bdk. Yohanes 7:37-44, bdk. Kitab Wahyu 21:6, 22:1, 17) dan “Pohon Kehidupan” (bdk. Kitab Wahyu 22:2, 19). Karena itu “Bait Allah” di Yerusalem nilainya turun dibandingkan dengan “Yesus”, yang tubuh-Nya adalah “bait suci” itu sendiri (Yohanes 2: 21-22), yakni yang “Awal“ dan “Akhir”, “Alpha-Omega” (bdk. Kitab Wahyu 21:6-7), “Asa-Usu” dalam kehakikian pemahaman “Lewo Tanah”. “Koda-Kirin”, Yesus adalah “Isa Al Maseh-Yesus Kristus”, (“Sabda-Firman”) sifatnya ilahi sejak permulaan (“Awal Mula”) dan menjadi seorang manusia yang nyata di bumi sejak awal masehi. “Pada mulanya adalah Firman; Firman itu bersama-sama dengan Allah dan Firman itu adalah Allah. … Firman itu telah menjadi manusia, dan diam di antara kita, dan kita telah melihat kemuliaan-Nya, yaitu kemuliaan yang diberikan kepada-Nya sebagai Anak Tunggal Bapa, penuh kasih karunia dan kebenaran” (bdk. Yohanes 1:1,14). Satu-satunya jalan di bumi kepada Allah adalah melalui Yesus: "Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorang pun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku” (Yohanes 14:6).
 
“Batu” yang dibuang oleh Tukang bangunan (Pewarta) adalah “batu penjuru”, “Nuba” bagi orang Lamaholot, “Bagha” bagi orang Ngadha senantiasa menyatu dengan “Eken Matan Pito”, “Karo Puken”, “Tiang Ngadhu”. Batu ( “Wato”, “Nuba Nara”), “Gunung Batu”, “Karang”, “Pilar Penjuru” ( “Ile, gunung Batu Allah, Gala ReraWulan asli, Gada Besi asli“. Tertelusuri “Nedek”, “Rie”, “Karo Puken”, “Eken Matan Pito” untuk orang Lamaholot, “Tiang Ngdhu” untuk Orang Ngadha, sesungguhnya Atlas, dewa Orang Yunani si “pemikul langit”, “Adam” dalam Kitab Suci. Yesus Kristus (“Adam Baru”) yang telah menyucikan Lewotanah (Salib-NYA simbol Lewotanah) dengan darah-Nya yang kudus, nyawa-Nya yang mulia. Yesus si “Batu Penjuru” (“yang ditolak dan dibuang oleh para pemiliknya”, bdk. Matius 21:42) telah menjadi “Tiang Ngadhu=Bagha” bagi orang Ngadha. Menjadi “Ile“, “Nedek, Rie”, ”Karo Puken”, “Eken Matan Pito” bagi orang Lamaholot dalam memperbarui Lewotanah Atlantis, Adonara (dunia) dalam “Kerajaan 1000 Tahun-Nya”, “Hari Keilahian ke 3-Nya” (“gada besi”, bdk. Wahyu . 19:15), bdk. https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/gada-besi-dalam-kitab-suci-gala-rera-wulan-eken-matan-pito-ilen-boleng-kara-nisa/2406987922699107/

ATAN DIKEN DA'AN datang untuk menyempurnahkan ("menggenapi") dan menyelamatkan "ATA DIKEN" yang diciptakan BAPA ("tuben mangen"/Jiwa) sesuai Citra-Nya. Terdialektika oleh Eon Mekit, Roh: Allah. Tersurat pemaknaan dalam Ulangan 6:5 Kasihilah TUHAN, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu. Imamat 19:18 Janganlah engkau menuntut balas, dan janganlah menaruh dendam terhadap orang-orang sebangsamu, melainkan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri; Akulah TUHAN. Menjadi spirit perintah Yesus Kristus kepada murid-muridNya untuk mengasihi musuh-musuh mereka langsung dilanjutkan dengan kata-kata "Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu" (ayat 43). "Kasihilah sesamamu manusia" adalah kutipan dari Perjanjian Lama; merupakan bagian dari maksud Yesus sebagai Hukum Kedua dari Dua Hukum utama : Kamu telah mendengar firman: Kasihilah sesamamu manusia dan bencilah musuhmu. Tetapi Aku berkata kepadamu: Kasihilah musuhmu dan berdoalah bagi mereka yang menganiaya kamu. (Matius 5:43-44).
 
Seluruh spirit Hukum Taurat dan Kitab para Nabi termaktub dalam Ulangan 6:5 dan Imamat 19:18 disebutkan Yesus sebagai "Hukum yang Besar dan yang Terutama", Demikian penegasan dalam Matius 22:36-40, "Guru, hukum manakah yang terutama dalam hukum Taurat?" (ayat 36). Jawab Yesus kepadanya: "Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat dan kitab para nabi." (ayat 37-40).
Injil Matius 5:45 “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” (“pelate ape rera-geleten helan wai” untuk semua anak Lewotanah), hendak menuntun setiap umat pilihan Allah dalam memancangtegakan , “Eken Matan Pito” (simbol “gala rerawulan”, yakni “gada besi” dalam Kitab Suci) bersama “Nuba” (simbol “Batu Penjuru” dalam Kitab Suci) demi keselamatan seluruh alam semesta dan seluruh umat manusia tersimbol dalam “Lewo-Tanah”.
 
Dalam kelembutan dan kerendahan hati (melalui berbuat “kebaikan”, “geleten helan wai”, “liukan cahaya”) untuk menghadapi dan menghancurkan kegelapan dunia, “setan-iblis” (dengan menegakan “kebenaran”, “pelate ape rera”, “keuatan terang”). Kekuatan terang (“ape rera”) untuk menyadarkan “orang-orang fasik” dalam “kegelapan dunia mereka” untuk kembali ke “pelate ape rera” (“terang”) dengan hidup berkerendahan hati yakni “geleten helan wai” dalam “diken da’an” yakni “apa ada-nya”, “kesederhanaan”. Karena dalam “kesederhanaan” senantiasa menuntun dan membentuk “Ata Diken”, anak manusia untuk menjalani hidup kehidupan dalam “kasih “ sejati terspiritkan melalui “pelate ape rera, geleten helan wai” (bdk. Matius 5:45).
 
"Pelate ape rera, Geleten helan wai” menjadi “kasih sejati”; “soron hode” ("berterimakasih", "memberi-menerima" !) dalam berlewotanah sesuai spirit injil Matius 5:45, sesungguhnya menjadi “sangat magis” (“gike sili lia mean”), kekuatan kebenaran, kesatriaan dan “sangat sakral” (“geraran keru baki buran”), keluhuran kebaikan, kesucian. Karena “pelate ape rera, gike sili lia mean membuat seseorang kokoh, tangguh, kuat, dasyat (“tuben ne me’kah”) karena kebaikan, kelembutan hatinya (“kirin senaren”) dalam hidup kehidupannya.
Sedangkan “geleten helan wai” menjadikan seseorang selamat, mulia, agung (“niu’ken niu”) karena keteguhan sikap terhadap kebenaran (“koda’n muren”). Namun sebaliknya apabila “koda’n nalan” (“bersikukuh dalam ketidakbenaran”) maka “geleten helan wai” dengan kesakralannya (“geraran keru baki buran”) membekukan alirah darah kehidupannya (“niu’ke mata’na uhun’ne bolak’ka”). Bertahan dalam ketidakbaikan (“kirin daten”) maka “pelate ape rera” dengan kemagisan (“gike sili lia mean”) menghanguskan aliran darah kehidupannya (“tuben ne me’keh, aten putuk’kah”).
Pohon Kehidupan, “Wai Matan Karo Puken”
 
Umat Pilihan" bahasa Kitab Suci, "Lamaholot" untuk wilayah terselamatkan, "Tite Ata Koli lolon hena" : kita orang-orang pilihan yang selamat dalam symbol "Ile Bolen"= "gunung batu-Ku", gunung ALLAH yang asli: "OLA ILE"! (“Ile Bolen Kara Nisa Ola, Nisa Ola Kara Koli Lolon, Tite Ata Koli Lolon Hena”) bdk. https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/raya-ola-masang-raya-ola-ile-raya-labi-ledan-ara-kia-ile-lolon-roh-dalam-ilham-e/2599072866823944/.
Substansi "NARA"!, 2500 tahun lalu filsuf Pitagoras menegaskan bahwa untuk memahami rahasia alam semesta melalui pemahaman angka-angka, maka NARA itu "0" adalah sumber dari angka 1 sampai 9, ...kemuadian mengulang mulai 1 nol (0) yakni 10 ...dstnya. Sehinnga Plato menegaskan bahwa misteri alam semesta dapat terpahami melalui "Matematika".
Jauh sebelum filsuf-filsuf itu, leluhur-leluhur telah memahami NARA dalam: "heliocentris" (berpusat pada matahari)" : "Rerawulan-Tanah Ekan". Na'Ra= Dia matahari, Terang sebagai SIMBOL !, memungkinkan ada Kowa, "awan", di kelen/langit, menjadi air, wai, KE BUMI"ura gadak-wai lengat"! ("WAI MATAN"-Wai RAYA: Air Kehidupan) "geocentris" "UA'KEN TUKAN", dan "floracentirs" ("Karopuken-KEROKOPUKEN ": Pohon Kehidupan), "faunacentris" NAGA, ("Ni'pa": basah, berair, berawa, "Subur").
 
NAGA ("Ni'pa") bermetamoforsa menjadi "NAGA DARAT" (KOMODO) -"NAGA AIR" (IKAN PAUS)!. Di Lomblen ada "Naga Wutun", juga ada "Tuak Wutun". Sesungguhnya metamoforsa "Pohon Kehidupan" dari "Pohon Asam" ("Tobi") ke Pohon Kelapa ("Tuak"/lontar, "Tapo"/Kelapa).Konflik antara NAGA AIR vs NAGA DARAT tergambarkan dalam konlik IKAN "SURA" dan BUAYA, lalu mereka berdamai menjadi "SURABAYA"! Sesungguhnya itu pengulangan dari konflik DEMON vs PAJI yang tetap satu dalam LAMAHOLOT! Sejatinya pengulangan konflik ABEL vs KAIN.
 
"WAI MATAN"-Wai RAYA: Air Kehidupan "geocentris" "UA'KEN TUKAN", dan "floracentirs" ("Karopuken-KEROKOPUKEN ": Pohon Kehidupan) di BELAHAN TIMUR GUNUNG SURGA " ("ile HELAN LANGOWUYO TANAH LAGA DONI") dan ile BOLENG KARA NISA OLA menjadi PILAR UTAMA (poros pilar) dari SEPASANG PILAR di TIMUR & SEPASANG PILAR di BARAT. Tercermati bahwa SEPASANG PILAR di TIMUR itu ILE APE dan ile UJELEWUN (Omesuri-Buyasuri), sedangkan SEPASANG PILAR di BARAT itu ILE LEWOTOBI (Laki-Perempuan) dan Ile MANDIRI !
 
Karo wai, Pohon Kehidupan, (geocentris): Air, “Wai”
Karo ula, Pohon Pengetahuan (faunacentris): Ular, “Ula”
Wai-Ula, uli- kelala, : Air-Ular, jejak-tanda
Uli- kelala noon ulin alan ne : Jejak-tanda dari asal yang asli
Ulin alan ne Ala : Asal asli Allah
Ala, Ilahi (heliocenris): Matahari, “Ape-Rera”
Karo Wai usu Warat te-Karo Ula asa Timu:
Pohon Kehidupan, Barat-Pohon Pengetahuan,Timur
Ape Rera asa Timu - Helan Wai usu Warat: Panas di Timur-Dingin di Barat
Asa ehan-Usu tou :
Uak’ken Tukan Wai Matan-Karo Puken:
Satu Asal-Usul di Poros.
Kaka Ari: Kirin-Wewa Ala pen (Lewotanah ala pen, ATA KEBELE), Poros (“Uak’ken Tukan”)
Arin: Ra Mua Molan Ala pen ( Rerawulan ala pen, ATA MUA MOLAN), Barat (“Warat”)
Kakan: Na Tana Ekan ( Tanah Ala pen, ATA BELEN), Timur (“Timu”)!
KAIN ke TIMUR (“paji”: mesir kuno/"watan lema":"Nele Lewo 5-Laka Lewo 10")-mesopotamia kuno/"suba nai leur-wuring nai wotan": "Kelen Lewo 5-Keda Lewo 7") -ABEL di BARAT (“demon”: "Larantuka" itu metamofora "Hinga"/"Hinga Nara 0": "kanaan kuno")! Tertegun dengan karya F.A.E. Van Wouden. “Sociale Structuurtypen in de Groote Oost”, 1935. Diindonesiakan Grafiti Pers. “KLEN, MITOS, DAN KEKUASAAN, Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur”, Jakarta- Grafiti Pers. 1985, hal. 25-81.. Menegaskan “Dualisme” (Dualisme Kosmos dan Dualisme Sosial) dan “Pembagian menjadi Tiga”, sebagai model Trinitas Kepemimpinan di Indonesia Timur. Sesungguhnya model tatanan kepemimpinan demikian yang dikenal di Adonara dengan Lewo-Tanah:
1. Kaka Ari: Kirin-Wewa Ala pen (Lewotanah ala pen, ATA KEBELE), Poros (“Uak’ken Tukan”)
2. Arin: Ra Mua Molan Ala pen ( Rerawulan ala pen, ATA MUA MOLAN), Barat(“Warat”)
3. Kakan: Na Tana Ekan ( Tanah Ala pen, ATA BELEN), Timur (“Timu”).
 
Manusia Adonara, masyarakat Lamaholot dengan turunan selama ini menerapkan Taran Neki, “Timu” (Timur), Taran Wanan, “Warat” (Barat), sedangkan Uak’ken Tukan, “Kepuhunen” (Poros). Lebih lanjut Ata Lamaholot mengenal KOTEN (Lewo Koten), Pilar Utara, LEIN (Lewo Lein) Pilar Selatan. ATA LAMAHOLOT dalam menerapkan SALIB ATLANTIS atau TATA ATLANTIS dalam menata kehidupan bermasyarakatnya, merupakan SIMBOL, REPLIKA, DUPLIKAT dari PRIBADI, DIRI ATA LAMAHOLOT, yakni: 1.ONE, nurani,hati sebagai PUSAT, POROS Lewo, Masyarakat, Dunia; 2. KOTEN, kepala berisisi otak, pikiran sebagai PILAR UTARA Lewo, Masyarakat, Dunia; 3. LEIN, kaki, berpijak, landasan sebagai PILAR SELATAN Lewo, Masyarakat, Dunia; 4. LIMAN NEKI/TARAN NEKI, tangan kiri, bagian badan kiri sebagai PILAR TIMUR Lewo, Mayarakat, Dunia; 5. LIMAN WANAN/TARAN WANAN, tangan kanan, bagian badan kanan sebagai PILAR BARAT Lewo, Masyarakat, Dunia. Replika TATA ATLANTIS ini, terpraktekan pula dalam pembuatan rumah adat,juga rumah tempat tinggal Ata Lamaholot, dengan UMATUKA LANGO (Poros Rumah), dengan EMPAT PILAR UTAMA rumah di setiap titik persegi empatrumah (Chris Boro Tokan. “Penyelesaian Delik Adat Pembunuhan Melalui Mekanisme Pranata Lokal Orang Lamaholot di Pulau Adonara”. (Ringkasan Disertasi ). Jakarta-Universitas Indonesia, 2003. hal 53-58.).
 
Terelaborasi secara cermat oleh Arysio Santos, simbolisme religius menorah, yakni tempat lilin bercabang tujuh orang Yahudi (hal. 197). Replika itu selama ini bagi Ata Lamaholot, khususnya Ata Adonara dalam EKEN MATAN PITO (bambu Aur yang yang bertangkai tujuh) dipotong, kemudian ditanam di depan NUBA(batu keramat) tempat ritual religius. Eken Matan Pito itu simbol penghubung Bumi (“Tanah Ekan”) dengan Langit (“ReraWulan”/Matahari-Bulan), penghubung Manusia denganTuhan (Bdk. Padre Yoseph Muda. “Ata Lamaholot Dalam Sorotan Budaya Dunia”. Yogyakarta-PT Kanisius, 2016.. hal.1-52).
Tercermati makna pengurbanan “darah” Abel untuk “korke Allah” sesungguhnya terpahami sebagai bentuk pengisian “korke Allah” atas silih dosa yang dilakukan oleh kedua orang tua mereka (Adam dan Eva) di “Taman Firdaus” (bdk. Kejadian 3: 1-26). Tertelusuri bahwa kata “Keroko Puken” dari “Korke Puken” bermula dari “Karo Puken” (“Pohon Kehidupan”) melalui kisah berbagai mitos, menyiratkan gambaran hidup kehidupan yang wajib disyukuri oleh setiap insan kepada sang Sumber hidup kehidupan.
 
Terpahami bahwa “Sang Sumber” hidup kehidupan itu adalah “Allah, Tuhan” bagi setiap penziarah spiritual, khususnya untuk suku bangsa Lamaholot sehari-hari dalam alegori “waimatan-karopuken” (“mata air sumber kehidupan-pohon kehidupan”). Maka sesungguhnya kata “keroko puken” berawal dari kata “korke puken” kehakikian alegori “karo puken” (“pohon kehidupan”) yang tidak dapat dipisahlepaskan dengan “wai matan” (“mata air sumber kehidupan”). Lokasi “wai Matan Karo Puken” kekinian di “Wai Raya”, sedangkan lokasi “Korke Puken” di “Nobo Namang”, masing-masing dalam wilayah gunung Surga Belahan Timur (“Ile Bore”) bdk. https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/penghakiman-mesias-yesus-kristus-melalui-keroko-puken-ile-bolen-kara-nisa-ola-ir/2110589715672264/
Salib Atlantis, Kosmogram Atlantis, Lewotanah, Pancasila

0 = Poros Salib (Nara 0: Uak Tukan)
1 = Ujung Utara Salib (Kelen: Koten)
2 = Ujung Selatan Salib (Nele: Lein)
3 = Uaken Telo-Kahan Ehan (terinetgrasi di Poros Salib)
4 = Lewo ( 4 penjuru : sepasang pilar) : manusia ilahi
5 = Tanah (pilar ke 5, juga sesungguhnya poros: manusia nyata karena tercipta sesuai citra-NYA!
 
Dalam pemaknaan substansif dengan sila-sila PANCASILA sebagai rumusan kesempurnaan bahasa Roh, dalam kelima silanya Ketuhanan (sila 1)supaya semakin nyata berwujud dalam makna kemanusiaan (sila 2), peradaban, vertikal. Keadilan sosial (sila 5) senantiasa semakin nyata tercapai dalam kerakyatan yang berdemokrasi (sila 4), kebudayaan, horisontal. Saling dialektik terintegralistik (Persatuan) supaya sinergik (sila 3): CintaKasih, sebagai poros salib!!!, Allah Tri Tunggal maha pencipta, penguasa, pelindung, pengasih makrokosmos-miskrokosmos (alam semesta-manusia). Cross alam semesta (makrokosmos) vertikal dengan manusia (mikrokosmis) horisontal: SALIB!!! Salib hidup kehidupan !bdk.https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/salib-atlantis-lewo-tanah-sepasang-pilar-piramida-yin-yan-dua-loh-batu-filsafat-/1790287664369139/
Paradigma hidup kehidupan berkomitmen terhadap "revolusi terbesar pada generasi Atadiken kekinian dan akan datang adalah penemuan bahwa manusia dengan mengubah sikap bathin akal dan akhlak dapat mengubah aspek-aspek lahiriah dalam hidup (estetika)". Revolusi demikian yang sesungguhnya menjadi tugas setiap "ATA DIKEN" untuk mengawal mulai dari kesadaran perenungan akan INDENTITAS dan EKSISTENSI sebagai anak generasi baru LEWOTANAH .
Peringatan Paus Fransiskus semasa menjadi Uskup di Argentina, relevan untuk generasi kekinian antara lain:
 
Relativisme oleh Paus Fransiskus sewaktu masih Uskup di Argentina menegaskan "merupakan buah dari kecemasan yang menghantui masyarakat luas tidak percaya pada semua nilai, bahkan mengutamakan moral yang lebih duniawi daripada yang transenden atau kekal serta menggantikannya dengan janji-janji palsu dan tujuan-tujuan sementara (hal.30).
Semangat aliran relativisme berusaha menghindar dari ketegangan, konflik, dan takut pada kebenaran. Kita menjadi takut pada masa sekarang , di mana segala sesuatu bergerak karena kepentingan belaka. Yakinlah bahwa ada berkat, ada satu cinta yang menguatkan kita dan ada satu-satunya jaminan untuk menjadi bebas secara penuh, yaitu merangkul kebenaran (hal.32).
Milikilah kerinduan akan kebenaran, kebaikan, keindahan.Jangan tergoda oleh kemudahan-kemudahan yang membuatmu lemah. Ketahuilah bahwa dalam keberadaan tanpa transenden akan terjadi berhala-hala (hal. 34).
Dewasa ini kalau kita bertanya kepada diri sendiri tentang kualitas pelayanan pendidikan kita maka kita akan terjebak kepada diri kita sendiri yang ingin mendapat kebahagiaan dan kepuasan diri sendiri (hal. 35).
Kita harus tetap menjaga bara api ingatan kita, nilai-nilai yang membuat kita besar dalam mensyukuri dan mempertahankan kehidupan, dalam menerima kematian, dalam menjaga kerapuhan saudara-saudara kita yang lebih miskin, dalam membuka tangan solidaritas kita bagi penderitaan karena miskin, dalam berdoa dan mengucap syukur, dalam solusi untuk bekerja sama dalam mengembangkan solidaritas (hal.49).
Kita harus kembali ke masa lalu kita yang penuh dengan berbagai bentuk budaya, kepercayaan, dan kesenian, dengan berbagai bentuk organisasi kebersamaan, entah secara pribadi maupun kelompok. Karena demi menyelamatkan warisan tersebut, serta keturunan kita, kita harus mulai menata masa depan (hal.58).
Sebagaimana kita tidak dapat menjanjikan cinta tanpa menerimanya terlebibh dahulu, demikian juga kita tidak dapat merasa percaya diri jika kita tidak menyelamatkan kekayaan-kekayaan masa lampau (hal.59).
Maka itu semua perubahan mendalam yang dibuat demi ketenangan bathin, demi kehidupan bersama, demi martabat yang lebih tinggi dan keharmonisn negara kita hanya bisa tercapai bila dimulai dari akar khidupan kita (hal. 69).
Dalam "Paus Fransiskus 'Embusan Harapan bagi Dunia yang Tertindas". Judul asli: Sopio de Esperanza para un mundo sofocado, Oleh: Card, Jorge Mario Bergoglio, Editorial Claretiana, 2013, Buenos Aries. Penerjemah: Clarindo Publication Team. Edisi Bahasa Indonesia, Fidel Press, Januari 2016.
 
Penutup
Kekinian dan akan datang diperlukan “generasi milineal” yang sesungguhnya adalah “generasi Mesianik” yakni generasi revolusioner. generasi Atadiken kekinian dan akan datang yang dengan sadar berproses mengubah sikap bathin akal dan akhlak yang mengubah aspek-aspek lahiriah dalam hidup (estetika)"! Revolusi demikian yang sesungguhnya menjadi tugas setiap "ATA DIKEN" untuk mengawal mulai dari kesadaran perenungan akan INDENTITAS dan EKSISTENSI sebagai anak generasi baru LEWOTANAH BARU, “YERUSALEM BARU” (bdk. Wahyu 21, 22).
Generasi Atadiken menyiapkan diri “menghadapi dan melalui kesusahan besar” demi menjemput “Kerajaan 1000 Tahun”. Berkomitmen terhadap "revolusi terbesar pada generasi manusia baru dan akan datang adalah penemuan bahwa manusia dengan mengubah sikap bathin akal dan akhlak dapat mengubah aspek-aspek lahiriah dalam hidup (estetika)": "BERDOA, BERPUASA, BERTOBAT ('hidup baru")". Hidup baru yang estetik yakni dalam kedasyatan keyakinan bertradisi yang diteguhkan dengan iman beragama sebagai jiwa dari segala ilmu pengetahuan dan ketrampilan berteknologi yang semakin memanusiakan manusia karena serasi-selaras dengan alam kehidupan.
Relevansi “bua hira” dengan “ekaristi kudus”, senantiasa merujuk kepada 1 Yohanes 5:1-21 tentang Kriteria apakah yang dipenuhi oleh seseorang agar disertai oleh Tuhan ? Alkitab berkata: "Cukup dengan percaya kepada Yesus Kristus". ALLAH Tuhan, Tuhan kita tak pernah janji langit selalu biru, tetapi Dia berjanji selalu menemani, “Immanuel” (bdk. Yesaya 7:14, Matius 1:23), untuk menghidupkan dan memuliakan segala makhluk ciptaan-Nya! Dalam rupa "Napas", Roh (“Eon Mekit”) yang berdiam dalam "Darah", yang sesungguhnya sari "Air", simbol Jiwa (“Tuben Magen”) yang tersari dari "makanan & minumam" yang kita kosumsi sebagai simbol Raga-Nya (“Kakon Nawak”)! Maka sebaiknya hindari dan JANGAN makan dan minum dari makanan dan minuman HARAM yang SESUNGGUHNYA bukan hasil keringat sendiri (seperti pemerasan, korupsi, pencurian, dsbnya), karena akan MENJADI sari benih SAKIT-PENYAKIT, wabah yang kelak menggerogoti RAGA sebagai kediaman JIWA & bers emayam ROH!!!, (bdk. 1 Yohanes 5:1-21).
Setiap Atadiken Lamaholot sesungguhnya menyakini dalam dirinya ada 7 unsur, walaupun secara umum diketahui 3 yakni “eon-mekit” (Roh), “tube-mange” (Jiwa), “kakon-nawak” (Raga). Ke 3 hal itu menjadi sosok (“kakon-nawak”) seorang atadiken untuk bersemayam jiwa (“tuben-mangen”), keduanya didialektikan (dihidupkan oleh Roh (“eon mekit”. Roh itu menghidupakan (mendialektikan) jiwa dan raga. Roh bersemayam dalam “darah”. Terpahami “darah” itu sari dari “air” (“tube-mange”, jiwa), sedangkan “air” sari dari “makanan dan mimuman” (simbol “raga”) yang kita makan dan minum sehari-hari. Bertambah 2 unsur lagi yakni “darah” dan “air”. Maka Roh, Darah dan Air menjadi kesaksian tentang Anak Allah dating ke bumi, yang sejatinya menjadi citra diri setiap Atadiken. Semuanya berproses dalam “beliwo” kandungan Ibu sebagai “Ina Tana Puken” dalam simbol diri Bunda Maria. “Beliwo” itu setelah atadiken dilahirkan sesungguhnya menjadi “dunia nyata” tempat baru atadiken berziarah. Berziarah dengan “kenobo” (“karunia”) yang dianugerahkan sejak masih dalam kandungan Ibu (bdk. 1 Yohanes 5: 1-21).
 
Termaklumi posisi Ibu menjadi pemimpin ritus “bua hira”, begitupun Anak Allah datang ke bumi berproses melalui sabda ilahi Allah dalam kuasa Roh Kudus dikandung dan dilahirkan Ibu “Maria” datang ke dunia (bumi). Beproses dalam “Roh, Darah, Air” dalam “beliwo” Ibu Maria, dengan “kenobo” (“karunia”) yang sejak masih dalam “beliwo” (kandungan). Begitupun setiap atadiken yang sesungguhnya citra dari Anak Allah (“Atan Diken Da’an”) Yesus Kristus. Maka senantiasa generasi atadiken ke depan adalah generasi revolusioner yang menserasiselaraskan keyakinan bertradisi dengan keteguhan iman beragama, menjadi jiwa ilmu pengetahuan dan ketrampilan raga untuk ziarah kehidupan yang semakin memanusiakan manusia dalam keserasian hidup bersama alam. Seperti penegasan Paus Fransiskus bahwa semua perubahan mendalam yang dibuat demi ketenangan bathin, demi kehidupan bersama, demi martabat yang lebih tinggi dan keharmonisn negara kita hanya bisa tercapai bila dimulai dari akar khidupan kita ("Paus Fransiskus 'Embusan Harapan bagi Dunia yang Tertindas". Judul asli: Sopio de Esperanza para un mundo sofocado, Oleh: Card, Jorge Mario Bergoglio, Editorial Claretiana, 2013, Buenos Aries. Penerjemah: Clarindo Publication Team. Edisi Bahasa Indonesia, Fidel Press, Januari 2016.hal. 69).
 
Menyongsong datangnya Kerajaan 1000 Tahun “hari keilahian ke 3” yakni kedatangan “Mesias” kedua kali untuk bersama-sama dengan-Nya dalam kememimpinan-Nya memimpin “Kerajaan 1000 Tahun”, diperlukan generasi baru atadiken. Generasi baru Atadiken kekinian dan akan datang yang dengan sadar berproses mengubah sikap bathin akal dan akhlak yang mengubah aspek-aspek lahiriah dalam hidup (estetika)"! Karena Yesus sendiri telah menegaskan melalui sabda-Nya bahwa “Rubuhkanlah bait Allah ini, dalam waktu 3 hari akan kubangunkan kembali” (bdk. Yohanes 2:13-25). Pemaknaan 3 hari keilahian dalam 3000 tahun keduniaan, yakni 1 hari keilahian bermakna 1000 tahun keduniaan (bdk. 2Petrus 3:8-10). Maka sejak wafat Yesus tahun 33 sampai 1033 (hari keilahian 1), tahun 1033-2033 terhitung 2 hari keilahian, yakni 2000 tahun keduniaan. Kemudian sejak tahun 2033 nanti dimulai hari ke 3 keilahian yakni 1000 tahun keduniaan ke depan. Sebelum dimulai “kerajaan 1000 tahun” (“hari keilahian ke 3) terjadi “keusahan besar” (“tribulasi”) (bdk. Daniel 9:24 dan Wahyu 13:5).
 
Terpahami, terimani "pada hari keilahian ke 3" (2033) sebagai awal dimulai kerajaan 1000 tahun (“zaman akhir”), hari keilahian ketiga-Nya setelah wafat di salib dan dimakamkan, Dia bangkit (bdk. Matius 16:21, 17:22-23, 20:17-19 dan bdk. Lukas 9:22). Sedangkan saat genap usia kerajaan 1000 tahun (3033) sebagai berakhirnya hari keilahian terakhir,( berakhir hari keilahian ke 3), yakni "sesudah hari keilahian ke 3" (bdk.. Markus 8: 31), merupakan saatnya “akhir zaman”. Akhir kerajaan 1000 tahun (“penghakiman akhir zaman”), saat-saat hari terpisahkan antara domba dengan kambing (bdk. Matius 25:31-46), serta saat itu dimulai era Yerusalem Baru (bdk. Wahyu psl 21: 1-8, 9-22, 22:5), kehidupan Surga yang sesungguhnya.***
 
Dataran Oepoi, Kota Karang Kupang, Tanah Timor, Selasa 24 Maret 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar