Oleh Chris Boro Tokan
Pendahuluan
![]() |
Foto Ilustrasi |
Ungkapan bahasa Solor, Lamaholot “Koda-Kirin”, bermakna “Awal-Mula”, “Sabda-Firman”, “Roh”, “Satu Allah” dalam “Tiga Pribadi”, tersirat maupun tersurat dalam penulisan Kitab Kejadian (sumber Y) tentang Penciptaan bersumber dari mitos-mitos penciptaan yang berasal dari Mesopotamia Kuno dan Mesir Kuno (bdk Robert B. Coole and David Robert Ord. “In the Beginning Creation and the Priestly History”. Penerjemah Jessica Christiana Pattinasarany.“Pada mulanya: Penciptaan dan Sejarah Keimaman . Bab 1. “Apa Sebenarnya Isi Kisah-kisah Penciptaan”, hal. 6-21). Kedua wilayah ini yang dibuktikan oleh Arysio Santos dan Stephen Oppenheimer berada di Indonesia.
Membicarakan awal mula “Penciptaan” dan “Pohon Kehidupan” dalam Kitab Suci (10 Bab Awal Kitab Kejadian), senantias tidak dapat terpisahka dengan isu akademis tentang “Surga yang Hilang”. Secara akademis, rujukan tentang Benua Atlantis yang Hilang, Arysio Santos melalui bukunya “Atlantis The Lost Contonent Finally Found, (1997), Indonesia Ternyata Tempat Lahir Perdaban Dunia” (2009) antara lain melalui pembuktian Geologis dan Vulkanis, kajian berbagai perkembangan peradaban dan kebudayaan besar di dunia, menunjuk ke paparan Sunda Besar. Sedangkan Stephen Oppenheimer dalam bukunya “The Eden is East,(1998), Surga di Timur” (2010) merujuk ke Kepulaun Sunda Kecil (Nusa Tenggara Timur/NTT-Nusa Tenggara Barat/NTB) dan Maluku, Sulawesi yang antara lain membuktikan dengan Gen Asli menunjuk awal mula penyebaran Manusia di dunia dan Bahasa Autronesia sebagai Bahasa Asli sumber segala bahasa di dunia. Tentu jauh hari sebelumnya garis Wallace-Weber telah membuktikan asal flora-fauna di Dunia Lama, yakni Dataran POROS (NTT-NTB-Maluku, Sulawesi) sebagai wilayah pembagi ke Dataran SAHUL/Timur (Irian-Aru menyatu AUSTRALIA), dan ke Dataran SUNDA/Barat (Jawa Purba:Jawa-kalimantan-Sumatra yang menyatu ASIA.
Melalui pembagian dunia purba flora-fauna dalam garis Wallace-Weber, tercermati wilayah dari listofer benua yang hilang (Atlantis) sebagai Poros. Sedangkan daratan Jawa Purba (Jawa-Kalimantan-Sumatra) dengan berbagai pulau kecil di sekitar (sebagai listofer Benua Asia), menempati posisi wilayah Barat, begitupun daratan Papua/Irian (sebagai listofer Benua Australia) dalam posisi sebagai wilayah Timur. Garis Wallace-Weber menandaskan bahwa Wilayah Poros sebagai wilayah pembagi, dalam pemaknaan Flora-Fauna yang ada di Poros, dapat ke Dataran Sunda (BARAT), juga ke Dataran Sahul (TIMUR), sedangkan di wilayah BARAT tidak mungkin ke TIMUR, dan sebaliknya. Maka Oppenheimer membuktikan penyebaran manusia AWAL dari wilayah Poros (Nusa Tenggara-Maluku) itu melalui kajian GEN orang Asli ((bab 2 hal. 53-96) dan penyebaran Bahasa Austronesia sebagai sumber Asli berbagai Bahasa di Dunia bab 5 hal. 191-244) ke Timur, Barat, Utara, Selatan.
Dari telusuran Oppenheimer, maka tercermati penyebaran awal manusia itu secara rinci: Utara itu ke Cina melalui Sulawesi dan Sabah, Selatan ke Australia (Aborigin), Timur ke Papua dan Pasifik, Barat ke Jawa (Jawa Purba itu satu daratan dengan Kalimantan-Sumatra-Semananjung Malaya) terus ke India-Mesir- Yunani. Tadi ke Cina itu kelak ke Jepang dan terus ke Amerika melalui selat Bering yang dulu masih menyatu dengan daratan Amerika. Karena adanya bencana (kepunahan massal 1 dan 2) di akhir zaman mesozoikum dan di akhir zaman neozoikum/akhir zaman es menyebabkan manusia, flora, fauna yang selamat menyebar ke berbagai penjuru muka bumi saat itu. Namun dapat terpahami dan termaklumi dalam filsafat purba poros (Solor) dengan simbol ular sebagai matahari purba: “Koten pana doan, Ikung gawe lela naan nuan tutu, nahku nuan tou geniku uliten-empatan muren te Tukak-tukan” artinya “menyebar sampai jauh ke barat (kepala ular) dan bergerak terus sampai ke timur (ekor ular) untuk menjadi saksi zaman, namun tetap suatu saat selalu kembali ke poros/sumber (kepala dan ekor dari ular saatnya selalu menyatu dalam posisi melingkar tepat di bagian tengah (poros) badan ular itu ”.
Stephen Oppenheimer menegaskan bahwa lokasi surga selalu mengkhawatirkan para ahli injil, terutama dikarenakan gambaran hutan yang subur dalam Kitab Kejadian adalah sama sekali tidak sesuai dengan informasi yang kita dapatkan mengenai lingkungan Mesopotamia Kuno. Curah hujan kemungkinan lebih baik 6.000-7000 tahun lalu, tetapi tidak ada yang sesuai dengan gambaran surga, serta hutan tropis seperti di Asia Tenggara. Bangsa Mesopotamia dan Mesir Kuno menggambarkan wilayah mereka masing-masing jauh melintasi perairan menuju terbitnya Matahari, yaitu di Timur (hal. 622).
Roh Allah, Penciptaan Manusia, Taman Surga, 10 Bab awal Kitab Kejadian
Dari ketiadaan, melalui ketiadaan, menuju ketiadaan, kata Hegel. Ini adalah batu nisan yang cocok untuk teori inflasi kosmik. Sesungguhnya hanya ada satu cara untuk mendapat sesuatu dari ketiadaan – dengan Penciptaan. Dan ini hanya mungkin jika ada Sang Pencipta. Sang Pencipta itu adalah Roh, yakni Roh Allah (Allan Woods & Ted Grant. “Reason In Revolt”, 1995. Penerjemah Rafiq. N. “Revolusi Berpikir dalam Ilmu Pengetahuan Moderen”. Yogyakarta-IRE Press, 2006, hal..277).
Pada mulanya adalah Firman, firman itu bersama-sama dengan Allah, dan firman itu adalah Allah. Ia (baca: roh, sabda, firman) pada mulanya bersama-sama dengan Allah. Segala sesuatu dijadikan oleh Dia dan tanpa Dia tidak ada suatu pun yang telah jadi dari segala yang telah dijadikan. Dalam Dia ada hidup dan hidup itu adalah terang manusia. Terang itu bercahaya di dalam kegelapan dan kegelapan itu tidak menguasainya (Injil Yoh 1: 1-6).
“Berfirmanlah Tuhan, Baiklah kita menjadikan manusia menurut gambar dan rupa kita, supaya mereka berkuasa atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara, dan atas ternak, dan atas seluruh bumi, dan atas segala binatang yang merayap di bumi. Maka Tuhan menciptakan manusia itu menurut gambar-Nya, menurut gambar Tuhan diciptakan-Nya dia: laki-laki dan perempuan diciptakan-Nya mereka. Tuhan memberkati mereka, lalu Tuhan berfirman kepada mereka, Beranakpinaklah dan bertambah banyak; penuhilah bumi dan taklukanlah itu, berkuasalah atas ikan-ikan di laut dan burung-burung di udara dan atas segala binatang yang merayap di bumi (Kejadian 1: 26-28).
Demikianlah riwayat langit dan bumi pada waktu diciptakan. Ketika Tuhan menjadikan bumi dan langit, belum ada semak apa-pun di bumi, belum timbul tumbuh-tumbuhan apapun di padang, sebab Tuhan belum menurunkan hujan ke bumi, dan belum ada orang untuk mengusahakan tanah itu. Tetapi ada kabut naik ke atas dari bumi dan membasahi seluruh permukaan bumi itu. Ketika itulah Tuhan membentuk manusia itu dari debu tanah dan menghembuskan napas hidup ke dalam hidungnya; demikianlah manusia itu menjadi makhluk yang hidup. Selanjutnya Tuhan membuat taman di Surga, di sebelah Timur; di situlah ditempatkan-Nya manusia yang dibentuk-Nya itu (Kejadian 2: 4-8).
Lalu TUHAN Allah membuat manusia itu tidur nyenyak; ketika ia tidur, TUHAN Allah mengambil salah satu rusuk dari padanya, lalu menutup tempat itu dengan daging. Dan dari rusuk yang diambil TUHAN Allah dari manusia itu, dibangun-Nyalah seorang perempuan, lalu dibawah-Nya kepada manusia itu. Lalu berkatalah manusia itu;”Inilah dia tualng dari tulangku dan daging dari dagingku, ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki” (Kejadian 2: 21-23).
Demikian penciptaan manusia sesuai versi Injil yang bersumber dari Kitab Suci Yahudi, di mana dalam kajian Oppenheimer menyatakan bahwa semua kisah utama di sepuluh bab pertama Kitab Kejadian ditemukan dalam kelompok budaya diagonal di seluruh Eurasia-dengan Polinesia di salah satu ujungnya dan Finlandia di ujung yang lain. Bisa jadi bukan suatu kebetulan bahwa ini semua merupakan dongeng inti yang dipertahankan dengan begitu hati-hati oleh bangsa Mesopotamia, Timur Tengah, dan peradaban Mesir (bdk. hal. 745-753). Karena dalam sebagian besar kasus, struktur dan isi dongeng dari Mesopotamia menunjukan bahwa mereka berasal dari versi Timur yang sebelumnya. Kita dapat menganggap bahwa arah penyebaran adalah dari Timur ke Barat, dan tanggal penyebaran kemungkinan lebih awal dari permulaan milineum ketiga. Hal ini berarti bahwa hubungan budaya Timur-Barat kemungkinan lebih tua dari 5000 tahun (bdk. hal.745).
Tanah Liat Merah, Napas, Bersin, Tulang Rusuk
Sir James Frazer dalam “Folklore in the Old Testament”, 1918, hal. 9-10 yang menjadi rujukan Oppenheimer, mengatakan bahwa: Penggunaan tanah dan tanah liat merah untuk menciptakan manusia tidak benar-benar mengikuti penyebaran tanah liat dan tanah merah. Sebagian daerah seperti Afrika memiliki tanah merah tetapi kisah tersebut tidak ada. Daerah utama yang memiliki kisah manusia diciptakan dari tanah merah adalah Asia Tenggara, Oseania, dan sebagian suku Munda di India. Semua daerah ini kecuali Polinesia Timur, memiliki banyak sekali tanah dan tanah liat merah. Tetapi pusat dari kisah tanah liat merah ini ada di Polinesia Timur, khususnya di Tahiti dan di kalangan suku Maori, Selandia Baru. Di kedua wilayah ini, penggunaan tanah liat merah biasanya digabungkan dalam kisah yang sama dengan penciptaan wanita dari tulang rusuk pria (hal.559 -560).
Bagi Oppenheimer, karena penyebaran motif tanah liat merah tidak mengikuti penyebaran tanah merah, maka jelas kita tergoda untuk mengaitkannya dengan penggunaan darah dewa, sebagai bahan pengeras. Kedua motif ini memiliki daerah penyebaran yang sama di Asia. Dengan mengaitkan seperti itu warna merah sesungguhnya symbol dari darah. Pertama, penggunaan darah dalam penciptaan muncul hampir sendiri-sendiri dalam kisah yang menggunakan tanah liat atau tanah sebagai bahan penciptaan manusia. Kedua, bahan pengeras berupa darah dan tanah liat merah, sangat berkaitan dengan motif bersin dari contoh manusia yang dipercepat dalam motif potongan tulang rusuk (hal.559 -560).
Maka Sir Jamez Frazer (hal. 29) sangat yakin hubungan antara tanah merah dan darah. Dia bahkan lebih jauh mengatakan bahwa debu yang digunakan untuk menciptakan Adam berwarna merah dalam injil. Hal mana “karena manusia dalam bahasa Yahudi pada umumnya adalah Adam, kata untuk tanah adalah adamah dan kata untuk merah adalah adom….hingga hari ini tanah Palestina berwarna cokelat kemerahan gelap”, bandingkan dengan M. Leach (ed.), Funk and Wagnall’s Standard Dictionary of Folklore, Mythology and Legend, 1984, hal. 9 (dalam Oppenheimer hal.559 -560).
Sir Jamez Fraser (hal.9) menunjuk kisah lengkap Suku Maori tentang penciptaan manusia oleh Tu/Tiki atau Tane memiliki lima motif : tanah liat merah, darah para dewa (sendiri), napas kehidupan dan bersin, dan penciptaan wanita (Eevee) dari tulang rusuk. Dari semua itu motif yang paling penting berdasarkan tradisi adalah contoh manusia dari tanah liat yang bersin. Konon, ketika manusia bersin, maka mereka yang hadir harus mengatakan kalimat Tu, ‘Bersin, wahai roh kehidupan’ atau seperti yang diucapkan oleh orang Barat, ‘Tuhan memberkati!’, meskipun di sebagian besar budaya termasuk Eropa, bersin dulunya adalah tanda penyakit yang mematikan. Napas, jiwa, atau roh adalah konsep yang dapat ditukar-tukar dalam bahasa Austronesia di Oseania. Asal kata nyawa dalam bahasa awal Austronesia di Oseania berarti ‘napas jiwa” atau napas sebagai kekuatan hidup. Sehingga Tiki sang pencipta dari suku Maori menciptakan manusia seperti dirinya sendir yang dipanggilnya Tiki-ahua .
Menurut Oppenheimer , dalam catatan agama Yahudi tidak menyebutkan kelima motif di atas, kecuali diterima pendapat Frazer tentang tanah merah dan adom. Jika itu yang terjadi, maka dari lima motif ada tiga motif yang digunakan. Tetapi, konsep bersin untuk mempercepat penciptaan manusia ditemukan dalam tempat lain dalam Perjanjian Lama. Nabi Elisha konon menghidupkan kembali seorang anak kecil suku Shunammite yang telah meninggal dengan memberikan pernapasan antarmulut, yang kemudian anak kecil tersebut bersin sebanyak tujuh kali (angka ajaib). Sedangkan motif darah dewa yang hilang seperti yang telah disebutkan, ditemukan dalam kisah penciptaan bangsa Mesopotamia, bukan penganut Yahudi (hal.561 -562).
Cermatan Oppenheimer bahwa: “Praktik ketika pencipta meniupkan napas untuk menghidupkan contoh manusia dari tana liat, meskipun secara statistik (Bandingkan tabel 10: Pendataan Keajekan dalam penciptaan manusia menggunakan darah/tanah liat/tulang rusuk) berkaitan dengan empat motif lainnya, kadang juga ditemukan sendiri di wilayah dunia lain di luar Eurasia dan Oseania, misalnya di Amerika Utara dan Meso-Amerika, Afrika dan Australia. Tetapi bersinnya contoh manusia yang dianggap penting oleh suku Maori lebih jarang dan lebih spesifik dalam kaitannya dengan darah, tanah merah, tulang rusuk . Singkatnya, ada versi kisah adam dan Hawa yang ditemukan paling sering dan dalam bentuk paling lengkap di Polinesia Timur yang disebut penciptaan Tiki. Kisah ini memiliki lima motif: (1) Penggunaan tanah liat untuk menciptkan contoh seorang pria (2) merah tanah liat atau bahan pengeras dari darah yang berasal dari darah pengorbanan dewa (3) Menghidupkan dengan napas (4) Tanda yang dipercepat ditunjukan dengan bersin (5) Penciptaan wanita Ivi atau Eve dari tulang rusuk atau tulang pinggang pria ( hal.570-571).
Solor, Maori, Munda: Napas, Bersin dan Tulang Rusuk
Kebiasaan orang Lamaholot (simbol manusia kepulauan Solor purba) kalau anak-anak atau orang yang lebih mudah usia bersin, maka orang tua, atau orang yang lebih tua harus menjawab: “solek-kah” (sempurnah)!!! untuk bersin pertama. Kalau masih bersin ke 2 maka orang tua menampik: “sauk-kah” (terberkati/terkaruniakan)!!!, ... lanjut bersin ke 3 maka orang tua cepat menjawab: “retek-kah” (roh kehidupan)!!! ... bersin lagi ke 4 maka orang tua dengan semangat bersorak: “dolon-nah” (berlimpah, dasyat)!!!, … bersin ke 5 maka orang tua meyambar: “dadu-nah” (dalam kerahiman)!!!, … bersin ke 6 maka orang tua mengiringi dengan: “mura-nah” (dalam kemurahan)!!!,…bersin ke 7 disambut teriakan orang tua “rame-nah” (dalam segala syukur suka-cita)!!!
Jadi solek-kah!, sauk-kah!, retek-kah!, dolon-nah!, dadu-nah!, murah-nah!, rame-nah!: berarti "sempurnah, terkaruniakan-NYA roh kehidupan yang dasyat/berlimpah dengan keadilan-NYA /kerahiman-NYA yang merata (tanpa perbedaan)=kemurahan-NYA dalam segala syukur suka-cita keilahian-NYA!!!, di awal mula penciptaan alam semesta (mikro kosmos) manusia, yang sesuai citra TUHAN.
Menempatkan Solor- Munda sebagai satu kesatuan budaya yang terus mewarisi kisah mitos ciptaan, begitupun Solor-Maori dalam lingkup kesatuan rumpun berbahasa Austronesia. Maka pemaknaan bersin yang terpelihara sampai kini pada manusia kepulauan Solor, sesungguhnya menegaskan awal mula penciptaan manusia. Bahasa Solor yang mengungkapkan berbagai makna bersin itu sesungguhnya bahasa yang mencakup penuturan masyarakat di ujung timur Pulau Flores, Pulau Adonara, Pulau Solor, Pulau Lembata. Bahasa Solor sesuai penegasan Gorys Keraf bahwa dapat disejajarkan dengan bahasa-bahasa fleksi murni, seperti bahasa Latin, Yunani, Sansekerta dan Arab. Namun sesungguhnya sebaliknya yang terjadi seperti ditandaskan Oppenheimer bahwa bahasa Austronesia adalah sumber asli dari bahasa-bahasa di dunia (bdk. Link catatan https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/bahasa-austronesia-sumber-asli-bahasa-dunia-dan-awal-mula-penyebaran/417743704956882)
Roh, tercermati dari kata Alam Raya, maha luasdan dasyat sehingga tidak terjangkau. Terungkap dalam bahasa Solor “Masan Raya”, sebagai nama seorang manusia laki-laki. Berkembang ke tahap lebih menyata menjadi nama seorang wanita/putri : “Peni Masan”, dalam ungkapan mendunia sebagai “Pangea atau massa benua”, sedangkan laki-laki dalam bahasa Solor di sebut “Masan Doni”, makna mendunia “massa dunia (benua)” (Bdk Paul Arndt tentang Masan Wahane dan Peni Masan Dai melalui kisah mitos Masan Doni menghadap Lera-Wulan (Matahari-Bulan) dalam Demon und Padzi, Die Feindlichen Bruder Des Solor-Archipels, terpublikasi Athropos, Band XXXlll, (1938), hal 1-58, diindonesiakan Paul Sabon Nama “Demon dan Paji, Dua Bersaudara yang Bermusuhan di Kepulauan Solor, (2002).
Kata “Roh” itu sendiri tertelusuri pula dari kata “Rera”, “Lera”, bahasa Solor yang berarti “matahari”. Pengungkapan “rera” itu bergeser ke Mesir menjadi “Ra” sebagai dewa Matahari. Alam semesta (makrokosmos), dalam mikrokosmosnya manusia, tersebut Adam dan Eva, dalam sebutan bahasa solor untuk Pria/laki-laki: “Kelake”, simbol dewa Matahari (Adon/Ado) utama/inti (Pehan/Pehin/Pe’in) simbol Adam si Matahari Salib/Langit sebagai laki-laki yang hakiki, bersama Perempuan/Wanita (“Kewae”) Termurni/Terseleksi/Terkebiri (“Sode”) dari “Ile”/Gunung (“Bolen”) simbol Eva si Bumi.
Bukan tidak mungkin kata “Bolen” ini, si “wanita” (“Kwae Sode Bolen”) simbol si Eva yakni Bumi (“Tanah Ekan” = “newa” = “Ewa” bahasa Solor, terucap “Eva”, “Ivi” dalam suku Maori di Selandia Baru), menjadi nama satu-satunya gunung di pulau Adonara dan dunia, menyumbang kosa kata “Bulan” dalam bahasa Indonesia. Tercermati sebagai perubahan proses pengucapan kata “Wulan” dalam bahasa Solor yang berarti “bulan”. Bahwa kemudian dalam pembuktian dunia ilmu pengetahuan planet Bulan hanya “memantulkan” kembali cahaya/sinar dari Matahari simbol diri “pria” si “Rera-Wulan”/langit, tentu dapat membatu pemahaman tentang penciptaan perempuan dari tulang rusuk si laki-laki (Adam), “kelake Ado Pehan Beda-Pati Golo Ara Kia” si Matahari Salib/Langit. Juga terpahami dan termaklumi cermatan Arysio Santos mengenai mitos pengebirian primodial umat Hindu dalam simbol letusan gunung berapi dengan takdir yang menyertai pengebirian yang mengubah palus (lingga/penis) kosmis menjadi yoni (vulva/vagina) kosmik (bdk. Aryo Santos.. hal. 128).
“Pohon Kehidupan dan Pohon Pengetahuan” dalam Paul Arndt
Sir James Frazer mengatakan, ‘Pohon Pengetahuan’ merupakan versi lain ‘Pohon Kematian’ di Mesopotamia. Pendapat bangsa Sumeria mengenai potensi dan bahaya dari pengetahuan muncul kembali dalam versi Kehancuran Adam. ‘Dongeng Adapa’ yang lebih tua dari Mesopotamia. “Pengetahuan” yang dilindungi dengan saksama dapat berupa teknologi atau sihir atau keduanya. Dalam sebagian besar masyarakat tradisional, keduanya tidak dapat dipisahkan. Dengan begitu, memiliki ilmu sihir dapat meningkatkan kekuatan pengrajin yang pandai, penguasa yang merangkap sebagai pendeta atau ahli astronomi. Pengetahuan rahasia yang dimiliki oleh penguasa berkasta pendeta, kemungkinan telah menjadi salah satu faktor yang mengubah Mesopotamia dan Mesir kelas atas dari masyarakat petani sukses zaman Neolitikum menjadi budaya hierarki yang kaya. Hal ini tertelusuri dari berbagai catatan arkeologi. Berbagai buku sumber menandai munculnya persamaan yang mengejutkan antarpraktik sihir sebelum Islam Melayu, seperti meramal menggunakan hati ayam, dan itulah penduduk Babilonia Kuno.
Dalam “Religion auf Ostflores, Adonare und Solor” 1951, karya Paul Arndt, SVD, diterjemahkan oleh Paulus Sabon Nama diterbitkan Puslit Candraditya Maumere, dalam judul “Falsafah dan Aktifitas Hidup Manusia di Kepulauan Solor” 2003, hal. 34, dapat tercermati “Pohon Kehidupan dan Pohon Kematian” yang asli. Melalui “Koda-Kirin” yang dikumandangkan untuk menolak setiap bencana seperti bagian tuturan berikut:
Leta Pulo Rera Wulan = Mintalah semua dari Rera Wulan
heren lema Tanah Ekan = mohonlah segala dari Tanah Ekan
ema moe Lera Wulan = ibu Lera Wulan
mula bera tobi owe = tanamlah segera asam yang rindang
bapa moe Tanah Ekan = bapa Tanah Ekan
adak bera bao lut = suburkan segera berngin naungan
Nubun bera dike sare = Agar anak-anak bertumbuh baik
barang bera olun oen = bertumbuh tanpa hambatan
nubung weking laeng wai = tubuhnya bening bagai air
barang koten deng kureng = kepalanya berkilau minyak
tobo nala oeng olun = duduk dalam ketenangan
pae nala mara deka = dan kedamaian
nubung nala leing kelea = kakinya ringan melangkah
barang nala anang pealing = badannya gagah tampan
Ema mo Lera wulan = Ibu Lera Wulan
Bapa mo Tanah Ekan = bapa Tanah Ekan
Lera Wulan wai banu = Lera Wulan sebening air
Tana Ekan selan tapo = Tanah Ekan nan sekilau minyak
huk pai peten kae = ingatlah kami selalu
duga pai rehang kae = dan kasihanilah kami
pulo beta bele baat = agar brtumbuh dewasa
lema bauk bau ribit = menjadi kuat dan disegani
Gelekat tuen Lera Wulan = Berbakti kepada Rera Wulan
gewayan golen Tanah Ekan = melayani Tanah Ekan
beta dore doan-doan = setia mengikuti sampai jauh
bauk tematan lela-lela = dan menuruti sampai lama
nubung nala mei menung = agar anak-anak disegari darah
barang nala raan loma = dan dipadati lemak.
Kekinian di Lamaholot mengenal makna “Rera Wulan” sebagai “ama”, bapa simbol pria, makna “Tana Ekan” sebagai “Ina”, ibu, simbol perempuan. Namun dalam telusuran Paul Arndt nampak menjadi sebaliknya makna dua ungkapan itu. Hal ini dapat terpahami dalam penegasan Arysio Santos melalui penulusurannnya tentang mitos terbit dan terbenamnya matahari melalui Vas (lukisn) Yunani kuno yakni seekor naga yang menelan matahari. “Proses penelanan dimulai ketika matahari memasuki dunia ini lewat mulut (saat fajar), dan berakhir ketika matahari keluar dari dunia ini lewat anus (saat matahari terbenam). Dan proses ini diulang secara terbalik ketika matahari memasuki dunia bawah, ketika segala sesuatu di sana berjalan terbalik, termasuk waktu. Makhluk angkasa dinamakan dengan Nut, dewi langit, dan makhluk bumi dengan Geb, dewi bumi. Jenis kelamin mereka sering kali terbolak-balik, dan demikian pula peran mereka. Dewa-dewi fersebut disamakan dengan dua belahan bumi yang terpisah sejak awal masa” (hal.186-187).
Cermatan terhadap telusuran Paul Arndt ini, sesungguhnya bahwa “Pohon Kehdupan dan Pohon Pengetahuan” yang disebutkan Kitab Suci itu, dalam falsafah dan aktifitas hidup manusia di Kepulauan Solor sesungguhnya “Pohon Asam dan Pohon Beringin”. Kemudian saat “keilahian kehidupan” di “Kebun Fidaus” itu hilang, memunculkan “kehidupan nyata” maka replika “pohon kehidupan dan pohon pengetahuan” dikenal melalui “Pohon Kelapa dan Pohon Pisang”. Dapat tertelusuri lebih lanjut dalam “paken-maken” (ungkapan) Lamaholot “ne’ken tobi-len’nem bao”, “puke’m tobi-wengi’m bao” untuk “Pohon Asam dan Pohon Beringin”, bermakna “keselamatan dan kekuatan hidup kehidupan abadi”. Sedangkan untuk “Pohon Kelapa dan Pohon Pisang” selalu dikenal “muko-tapo” dalam hubungan urusan “bah’i lake” (bagi paman: “opu alap” untuk laki-laki berusia tua yang meninggal, “na’an aman” untuk perempuan berusia tua yang meninggal) demi keselamatan kekuatan hidup kehidupan kekal, abadi bagi yang meninggal.
Tertelusuri dalam Kitab Suci menunjuk mengenai sejatinya hakekat Allah sejauh ditampakan oleh karakter-karakternya seperti dalam Perjanjian Lama menegaskan Allah adalah raham (Mzm 116:5) suatu kualitas yang dilukiskan dari rasa kasih sayang seorang keibuan (1Raj 3:26). Belas kasih adalah karakter dasar Allah yang dekat sekali dengan hesed, kasih setia Allah (Mzm 25:6) yang dicurahkan kepada umat manusia karena janjinya. Dalam karakter raham dan hesed itu Allah mengampuni dan menyembuhkan seperti terhadap setiap bangsa yang menolaknya. “Allah itu penyayang dan pengasih, lamban untuk marah dan berlimpah kasih setia-Nya” (Kel.34:6-7). Kehakikian makna raham dan hesed mengejewantah dalam kemauan untuk memaafkan dan menyembuhkan(Mzm 103:3) serta memberi atau melestarikan hidup (Mzm 119:77), terjelaskan dalam misi “mesias” melalui sosok Yesus Kristus yang datang ke bumi dengan secara ilahi “meminjam” darah dan kedagingan wanita si Maryam/Maria.
Mencermati “Taman Surga” dalam Paul Arndt
Pati tana teti timu matang rera gere = Pati menghambur tanah nun di Timur tempat
terbitnya matahari
terbitnya matahari
ile Tobang Dua woka Sanga Burak = menjadi gunung Tobang Dua bukit Sanga Burak
mula kayo = menanam pepohonan
ada tale = dan tali temali
ua tawa = dan tumbuhlah rotan
wido tana = menggenggam tanah
mula kayo = menanam pepohonan
ada tale = dan tali temali
ua tawa = dan tumbuhlah rotan
wido tana = menggenggam tanah
Beka pana muan muri = Mereka terbang lagi
dajuk gawe muan muri = dan melintas pergi sekali lagi
mula ile Hadung = menciptakan gunung Hadung
ada woka Boleng = dan bukit Boleng (menyusul nama beberapa gunung
lain)
wato nekuun wahak kae = hingga batu yang dibawa habis
tana nekuun labot kae = tana yang dibawa juga habis
mula ile Hadung = menciptakan gunung Hadung
ada woka Boleng = dan bukit Boleng (menyusul nama beberapa gunung
lain)
wato nekuun wahak kae = hingga batu yang dibawa habis
tana nekuun labot kae = tana yang dibawa juga habis
Kukak Kedan Kolon Raja = Kukak Kedan dan Kolon Raja
tutu emang Se maring = menceriterakan kepada ibu Se
bapang Ma = dan bapa Ma
hujang guna io kobu = untuk menggunakan kekuatan ikan hiu
gahing dewa muda gajak = dan keperkasaan buaya
io kobu naan tahik mara = agar hiu dan buaya
muda gajak bewang wai meket = mengeringkan laut dan menyurutkan air.
Se neing menutak ehan = Se memberikan sebungkus
bewelang olong = tanah dan seikat batu
mula ile Mandiri adak woka Tana = menimbun dan membentuk gunung Mandiri dan bukit
Lolong Tanah Lolong (dan nama beberapa gunung yang lain)
mula bao naran Bala = menanam beringin naran Bala
adak wato Lela Lusi = mendirikan batu Lela Lusi.
Hujan guna eko la kewikite = Memanfaatkan kekuatan eko kewikit (burung alap-alap)
gahing dewa manuk Sada Ruda = dan kesaktian Manuk Sada Ruda (ayam)
beka tiro ile Mandiri = terbang menuju gunung Mandiri
dajuk tada woka Tana Lolong = melayang ke bukit Tanah Lolong
tobo teti ile ubun = menghuni puncak gunung
pae teti woka nalekeng = mendiami penghujung bukit.
Tercermati bahwa Penunjuk “Taman Surga-Kebun Firdaus” melalui “awal terang” (woka “Sang’a Burak”) dan pembukaan “Hutan Perawan” (ile “Tobang Du’a”): maka bukit/woka “Seburi” sebagai “Gunung Surga” yakni “woka Sang’a Burak-ile Tobang Du’a” sebagai identitas asli/purba. Posisi asli/awal dari woka Seburi di posisi gunung Boleng sekarang. Sesungguhnya identitas purba gunung Boleng: “woka Bolen-Ile Hadun”. Nama purba gunung bolen itu secara hakiiki bermakna sebagai “gunung matahari yang membela gunung surga”. Kata “membela” dalam ungkapan lamaholot “hi’wek” memakai “kapak”. Makna dari “kapak” dalam lamaholot yakni “soru”. Penelusuran makna kata “soru”, menegaskan “Matahari”, melalui ungkapan “soru leda ledun “ yakni ritus magis mengalahkan musuh tanpa bertarung secara fisik. Diujung pemaknaan ini tertemukan kata asli SURGA yaknii “Sorugoa” bermakna “tempat terbit dan terbenamnya matahari”. Penunjuk kediaman “Adam-Eva” setelah terusir dari “kebun Firdaus” adalah penyebutan ungkapan “woka Tana Lolon-Ile Mandiri”. Makna ungkapan “woka Tana Lolon-Ile Mandiri” bahwa “hidup di dunia nyata dalam kemandirian”.
Penutup
Menggabungkan dua pendasaran yang paling populer, Paparan Sunda Besar dengan Paparan Sunda Kecil, acuan Arysio Santos dan Stephen Oppenheimer. Menjadi sangat menarik, menelisiknya tanpa meninggalkan Area Sahul di Nusantara. Dengan demikian tercipta suatu area pembatas antara keduanya. Kedua wilayah ini terdapat dalam suatu zona yang berbeda dan tidak masuk ke dalam keduanya, yakni area Sulawesi ke Selatan termasuk di dalamnya kepulauan Solor. Kemudian dunia mengenalnya dengan garis imajiner Wallace dan Weber sebagai pembatasnya. Maka sangat menarik selanjutnya wilayah terapiti ke dua garis itu disebut area POROS.
Kata POROS, untuk menyinggung tentang kerajaan benua Atlantis, terasa begitu dekat dan intim. Apalagi mengidentifikasi kedua garis itu sebagai Timur Terjauh dan Barat Terjauh, terasa seperti sedang menyodorkan fakta baru terkait kriteria wilayah Atlantis menurut Plato. Namun dua titik pada wilayah Poros sebagai Bukit Seburi-Arus Gonsalu dan Ile Boleng-Arus Watowoko, terkesan didasari dari perspektif mistik. Meski banyak fakta yang dibungkus kemasan mistik untuk mengelabuhi demi keamanan dan keselamatan fakta. Namun tidak terbantahkan lagi dalam warisan "paken adonara nuha nara nebon-maken solor laga doni nusa nipa", yang mengulang dalam ungkapan "lomblen-lompobata', "Nuha Ula-Nusa Nipa", Timor "Loro Sai-Loro Munu", “Alor Bara Nusa”. Bukit Seburi-Gonsalu, Ile Boleng-Watowoko menjelaskan "Barat Terjauh-Timur Terjauh". Barat Terjauh dalam simbol "Bukit Seburi-Gonsalu", Timur Terjauh dalam simbol “Ile Boleng-Watowoko”.
Di tepi pertemuan Timur Terjauh dengan Barat Terjauh terletak "poros" sesungguhnya yang menjadi misteri selama ini. Misteri yang dijelajahi garis Wallace-Weber disinggung pula oleh Karl Heins Kohl dalam “Der Tod der Reisjungfrau, Mythen, Kulte und Alianzen in einer ostindonesischen Lokalkultur”. Penerjemah Paul Sabon Nama . “RARAN TONU WUJO Aspek-Aspek Inti Sebuah Budaya Lokal di Flores Timur”. Maumere-Ledalero dengan mengutip Gilberto Freyre, "Le Portugais et Les Tropiques: “Wilayah Flores terletak disebelah timur garis Wallace, daerah peralihan flora dan fauna Euroasia dan Australia, kedua kontinen saling mempengaruhi. Begitu juga manusianya (bercampurbaurnya unsur Melayu, Papua dan Eropa) tampak pada raut muka, warna kulit, rambut, dan bentuk tubuh yang ditemuka dalam sebuah kampung, bahkan dalam sebuah keluarga yang sama. Suatu varietas manusia yang sangat menarik, yang tidak ditemukan dimanapun dimuka bumi ini, kecuali barangkali di Brasil, dimana ditemukan suatu tipe manusia berbudaya sinkretis yang harmonis jenis "luso-tropis". Menurut pendapat sosiolog Brasil, Gilberto Freye, ini merupakan keadaan, yang harus dicapai umat manusia sebagai keseluruhan” (hal.25).
Hal ini seperti oleh Arysio Santos yang menunjuk air lautan purba itu Lautan Pasifik, namun sesungguhnya itu dari terusan lautan Banda, yang bersumber dari arus Wato Woko-Ile Boleng (Timur Terjauh). Seperti Lautan Hindia yang terusan ke Lautan Atlantik, yang sesungguhnya dari Lautan Sawu bersumber dari arus Gonsalu-Bukit Seburi (Barat Terjauh).
Jadi Barat Terjauh-Bukit Seburi-Arus Gonsalu dengan Timur Terjauh Ile Boleng-arus Watowoko, senantiasa bertemu di “SATU TEPI=POROS=Wai Belen-Wai Puken=SUMBER AIR” dalam ungkapan: "wai belen-wai puken, puken taan rehit, bao wutuk wai wuring, bolak haka wai bolen tanah bolen, ...lein wai werang nukhu wutun wure nuhre wai wadan".
Wilayah ini merupakan fotocopy, pengulangan dari yang abstrak/langit, merupakan konflik ilahi “TERANG vs GELAP”, diturunkan ke dunia menjadi konflik “DEMON vs PAJI” seperti ditelusuri Paul Arndt, SVD (dalam Demon und Padzi, Die Feindlichen Bruder Des Solor-Archipels, terpublikasi Athropos, Band XXXlll, (1938), hal 1-58, diindonesiakan Paul Sabon Nama “Demon dan Paji, Dua Bersaudara yang Bermusuhan di Kepulauan Solor, (2002), yang terwaris sampai kekinian sebagai “pengulangan konflik Dua Bersaudara dalam Kitab Suci”. Tercermati bahwa “Konflik Dua Bersaudara” sesungguhnya pengulangan “Dua Pilar” keterbelahan “Gunung Surga” oleh “Gunung Matahari”. Tertelusuri bahwa DEMON dengan wilayahnya dan PAJI dengan wilayahnya yang DARI AWAL merupakan SATU WILAYAH yakni “HINGA NARA ONE” (wilayah Kanaan/Israel Kuno) sesungguhnya wilayah Kakak-Beradik (Kia Kara Bau-Kia Lali Tokan) berayahkan Pati Golo Ara Kia-Kia Ile Lolon. Tercermati bahwa wilayah PAJI merupakan wilayah Mesopotamia Kuno (“Suba Nai Leur, Wuring Nai Wotan”) dan Mesir Kuno (“Watan Lema”). Sedangkan wilayah Demon merupaan wilayah Turki/Istambul, Bizantium Kuno (“Pou Suku Lema-Kakang Lewo Pulo”).
Pati Golo Ara Kia-Kia Ile Lolon, Kelake Ado Pehan Beda-Beda Ina Sika Ama Rika masing-masing diturunkan oleh Ara Kia Ile Lolon, semuanya keturunan dari Ola Ile, yang bersumber dari Ola (0), termisterikan dalam “Teti Hadun Tanah Ile Bolen, Ile Bolen Kara Nisa Ola”. Termaknakan Dada bumi yang tidak tenggelam menegaskan simbol dari keabadian sang pencipta, “tempat bersemayam”. Tersimbol melalui gunung Surga dan gunung Matahari yang menjadi pilar tanda keabadian itu. Roh (“0”), Masan Raya, Ola, Allah dalam 3 pribadi : 212 (Bapa-Putra-Roh kudus), sumber harmoni, kedamaian, keselarasan (“5”), semata-mata karena pilar itu, yakni “belaskasih” (“7”) demi keelamatan dan kekuatan hidup kehidupan yang kekal (“10”).
Kehakikian “Teti Hadun Tanah Ile Bolen, Ile Bolen Kara Nisa Ola” menegaskan “Adonara Nuha Nebon” bermakna intisari kehidupan yang tidak tenggelam, “tetap ada”, abadi (“Roh dan Kebenaran”). Dalam bahasa akademis terungkap “dada bumi” yang tidak tenggelam. Ditegaskan dalam Theogony (117), Hesiod menunjuk “bumi yang berlapang dada, fondasi yang senantiasa pasti bagi semua yang abadi”. “Fondasi yang senantiasa pasti bagi semua yang abadi” ini (hedos aspales aici) adalah bagian yang tidak tenggelam dari “bumi Surga yang berlapang dada” (Gai eurusternos) yang tenggelam, dan tempat asal para dewa, pada permulaan zaman. ... Karena itu, ia dinamai “cakrawala” (firmament), yang artinya kurang lebih sama dengan bahasa Latin firmamentum, yang demikian merupakan arti dari ungkapan “pembagi perairan” yang disebutkan dalam tulisan-tulisan pada Kitab Kejadian (bdk. Arysio Santos hal. 616 ).
Maka benar demikianlah Oppenheimer berpendapat, meskipun ada banyak pemindahan teknologi dalam jangka waktu yang lama, berbagai pelajaran baru dari Timur yang paling penting adalah kalimat yang ditulis Marx dalam Das Kapital bahwa bagaimana menggunakan hierarki, politik, sihir, dan agama untuk mengendalikan pekerjaan orang lain. ...melihat pada jejak yang lebih dan persyaratan peradaban, yang diperoleh secara bertahap, bukannya dalam satu paket. ...pengusiran petani dan pelaut (“konflik dua bersaudara”, pen) di Asia Tenggara, yang diikuti serangkai banjir pasca-sungai es, dan mengarah pada perkembangan budaya di seluruh Eurasia. Kitab yang sama masih ditemukan di Barat dalam naskah kuno seperti “The Epic of Gilgamesh” dan sepuluh bab pertama Kitab Kejadian. Tema dari berbagai dongeng ini masih muncul di semua kumpulan karya sastra kuno hingga moderen.
Terpenting “generasi baru manusia” (khususnya manusia lamaholot) dalam hidup kehidupannya menserasi selaraskan kedasyatan keyakinan bertradisi dengan keteguhan iman beragama sebagai jiwa dari segala kemampuan berilmupengetahuan dan ketrampilan berteknologi untuk kemanusiaan manusia melalui kelestarian alam semesta. Dalam konteks kehakikian “Teti Hadun Tanah Ile Bolen, Ile Bolen Kara Nisa Ola” menegaskan “Adonara Nuha Nebon” bermakna intisari kehidupan yang tidak tenggelam, “tetap ada”, abadi (“Roh dan Kebenaran”), sesungguhnya keimanan yang teguh dalam misi “mesias” melalui sosok Yesus Kristus. Terpahami Isa Al Maseh dalam sosok Yesus Kristus yang datang ke bumi secara ilahi “meminjam” darah dan kedagingan wanita si Maryam/Maria bdk. https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/menelusuri-maria-mesias-dari-nini-ke-sode-dalam-berero-berero-soru-wada-gikato-s/2078723532192216/?notif_id=1540521047932565¬if_t=feedback_reaction_generic. Karena sosok Yesus Kristus sesungguhnya ujung titisan darah dari Abraham yang tersirat dalam tersuratnya Kitab Kejadian tentang janji Allah kepada Abraham (si Bapak Bangsa) bahwa “ … dan olehmu semua kaum di muka bumi akan mendapat berkat” (bdk. Kitab Kejadian 12: 1-3). ***
Dataran Oepoi, Kota Karang Kupang, Tanah Timor, hari Jumad, 28 Sepetember 2018.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar