Kamis, 09 April 2020

“Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon, Taman Surga”, “Eva-Ewa- Newa, Nuha Wato Peni”, “Bunda Maria”, misteri “Mesias”

Oleh Chris Boro Tokan
 
Ilustrasi
 
Pendahuluan
Misteri “mesias”, anak manusia “terurapi” dalam penglihatan nabi Daniel 2500 tahun lalu, terkurbankan “darah dan nyawa” seorang anak manusia ilahi tidak bersalah (Daniel 9:24-26) yang menyata dalam diri Yesus 2000 tahun lalu (bdk. Mateus 27: 45-51). Sesungguhnya sebelumnya dalam pencobaan Abraham si Bapa Bangsa untuk diri Ishak anak tunggalnya (bdk. Kejadian 22: 1-19), merupakan pengulangan pengorbanan yang dulu terpurba telah dilakukan si gadis (seorang perawan). Pengorbanan diri seorang perempuan (gadis) tertelusuri dalam Kitab Suci, sesungguhnya bermula dari akibat dosa Eva dalam memakan buah terlarang di taman surga (bdk. Kejadian 3:1-24), taman kehidupan gaib. Dosa Eva itu mengakibat hilangnya keilahian (kegaiban) kehidupan, yakni terusir dari kehidupan gaib (surga) untuk hidup di dunia nyata (bumi).
Kitab Suci hanya menegaskan kehidupan di bumi dilalui dengan susah payah (bdk Kejadian 3:16-19), tidak menegaskan pengorbanan darah melalui diri seorang gadis (perawan). Namun dalam kisah purba tertemukan pengorbanan darah seorang gadis (perempuan) di bumi untuk bahan makanan “duniawi” umat manusia dalam sosok “Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon” di pulau Adonara, Nusa Tenggara Timur. Rupanya kisah purba ini dalam Kitab Suci tersamar terulang melalui diri Maria, (Siti Maryam). Maria mengandung sabda Allah dalam keilahian Roh kudus, melahirkan dalam raga Yesus, melalui kabar gembira yang disampaikan oleh malekat agung Gabriel (Lukas 1:26-38, Mateus 1:18-25). Hubungan logis bahwa secara tidak langsung ikut seorang gadis (sang perawan) dalam misi sang Mesias (Yesus Kristus) menyelamatkan umat manusia. Bahwa Yesus datang ke dunia harus “meminjam darah dan daging” seorang gadis, perempuan yang bernama Maria yakni melalui “rahim”nya. Darah dan daging itu yang dikurbankan Yesus dalam misi mesias-Nya, mempunyai relevansi logis dengan darah daging si gadis “Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon”.
Tertelusuri dalam Kitab Suci menunjuk mengenai sejatinya hakekat Allah sejauh ditampakan oleh karakter-karakternya seperti dalam Perjanjian Lama menegaskan Allah adalah raham (Mzm 116:5) suatu kualitas yang dilukiskan dari rasa kasih sayang seorang keibuan (1Raj 3:26). Belas kasih adalah karakter dasar Allah yang dekat sekali dengan hesed, kasih setia Allah (Mzm 25:6) yang dicurahkan kepada umat manusia karena janjinya. Dalam karakter raham dan hesed itu Allah mengampuni dan menyembuhkan seperti terhadap setiap bangsa yang menolaknya. “Allah itu penyayang dan pengasih, lamban untuk marah dan berlimpah kasih setia-Nya” (Kel.34:6-7). Kehakikian makna raham dan hesed mengejewantah dalam kemauan untuk memaafkan dan menyembuhkan(Mzm 103:3) serta memberi atau melestarikan hidup (Mzm 119:77), terjelaskan dalam misi “mesias” melalui sosok Yesus Kristus yang datang ke bumi.
Kehakikian makna Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon” danTaman Surga

“Sabu Tana Tukan” bermakna lurus “terhampar (tertabur) ditengah-tengah Tanah (daratan)”, “Tukan Tena Lolon” bermakna lurus “tertabur di atas tengah-tengah perahu (air)”. Bermakna seorang gadis yang dikurbankan darahnya di atas poros bumi dan air (“poros dunia”), bertumbuh menjadi pohon yang berbuah untuk makanan ke 7 saudara laki-lakinya.
Kehakikian makna ”Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon” ibu pohon buah-buahan di Pulau Adonara (dalam replikanya dengan “Ina Pare” di Ende Lio, “Tuno Wujo” di Lewo Lema, Flores Timur Daratan, khusus menyebut tanaman Padi, sedangkan Ubi-ubian dalam kisah “Hainuwele” di Seram-Gorum. bdk. dalam Karl-Heinz Kohl. "Raran Tonu Wujo, Aspek-aspek Inti Sebuah Budaya Lokal di Flores Timur", Ledalero 2009, hal. 307-358 ), dengan kiasan untuk surga atlantis yang hilang dikenal dengan Taman Hesperides (atau Atlantides), “Taman Surga”.
Hesperides (“Taman Surga” ) sesungguhnya bermakna taman yang memiliki dua perairan dari bahasa Dravida yang merujuk makna kata dvipa=dvi-ap, berarti memiliki air di kedua sisi (Arysio Santos. “ATLANTIS The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato's Lost Civilization” , 2005. Penerjemah Hikma Ubaidillah: “INDONESIA TERNYATA TEMPAT LAHIR PERADABAN DUNIA”. Jakarta-Ufuk Press, 2009. hal 22-23). Tercermati makna dua perairan dari kata dvipa=dvi-ap (bahasa Dravida) itu merujuk kepada perairan samudra Pasifik menunjuk wilayah Timur yakni Seram-Gorum (Maluku) berlautan Banda. Sedangkan samudra Hindia mengacu kepada wilayah Barat yakni Flores Timur (Nusa Tenggara Timur) berlautan Sawu. Dua perairan yang menjadi gerbang masuk dari Timur menuju Barat atau dari Barat menuju Timur. Gerbang masuk, oleh Plato menegaskan sebagai salah satu indikator geografis terletak benua Atlantis yang hilang. Merujuk keyakinan Buddha Amitabha menandaskan bahwa itu wilayah sesungguhnya Surga Buddha tempat Matahari Terbit, yakni di Barat (bdk Arysio Santos. hal. 36).
Dapat termaklumi bahwa Barat yang dimaksudkan sebagai tempat Surga Budha itu, sesungguhnya Barat Terjauh (Kepulauan Nusa Tenggara Timur) dengan Lautan Sawu terusan ke Samudera Hindia. Di situ juga terletak Timur Terjauh (Kepulauan Maluku) dengan Lautan Banda terusan ke Samudera Pasifik. Kedua wialayah ini terletak pada poros bumi, dua ujung terjauh dunia bertemu: yakni “penyatuan ujung Timur dan ujung Barat dari Bumi”. Timur Terjauh dan Barat Terjauh menunjuk kepada satu wilayah/ satu lokasi dalam pengertian purba. Mengingat Bumi berbentuk bulat, sehingga ujung Timur Terjauh dan ujung Barat Terjauh itu menyatu menjadi satu tempat/satu wilayah (Arysio Santos, hal.27-28). Wilayah itu adalah terbit dan terbenamnya Matahari, lokasi surga empirik yang hilang, tempat Taman Eden, Kebun Firdaus yang hilang. Timur Terjauh menjadi wilayah kepulauan Maluku penghasil rempah-rempah (Cengkeh dan Pala), komoditi yang tidak ada duanya di bumi. Barat Terjauh dalam hal ini Nusa Tenggara Timur wilayah penghasil Kayu Cendana yang kualitas kewangiannya sampai kekinian tidak tertandingi di dunia. Wilayah penghasil rempah-rempah dan bahan wewangian antara lain menjadi bagian fakta flora penegasan gagasan Plato tentang ciri Benua Atlantis yang Hilang (bdk Arysio Santos,hal. 134).
Dalam Kitab Suci Kehakikian makna ”Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon ” menunjuk kehidupan di Taman Firdaus, yakni Tuhan Allah menumbuhkan berbagai-bagai pohon dari bumi, yang menarik dan yang baik untuk dimakan buahnya; dan pohon kehidupan di tengah-tengah taman itu, serta pohon pengetahuan yang baik dan jahat. Ada suatu sungai mengalir dari Eden untuk membasahi taman itu, dan dari situ sungai itu mengalir menjadi empat cabang (Kejadian 2:8-10). Mengulang dalam ”peta baru” Kerajaan 1000 tahun bahwa “Lalu Ia menunjukan kepadaku sungai air kehidupan, yang jernih bagaikan kristal , dan mengalir keluar dari tahkta Allah dan takhta Anak Domba itu. Di tengah-tegnah jalan kota itu, yaitu di seberang menyeberang sungai itu, ada pohon-pohon kehidupan yang berbuah dua belas kali; dan daun pohon-pohon itu dipakai untuk menyembuhkan bangsa-bangsa” (Wahyu 22:1-20).
Penegasan Kitab Wahyu Yohanes (Wahyu 22:1-20) mngenai keadaan Kerajaan 1000 tahun sebagai pengulangan keadaan Taman Firdaus (Kejadian 2:8-10), telah diingatkan oleh nabi-nabi sebelumnya seperti Yesaya tentang kesejahteraan kesehatan bahwa “Pada waktu itu orang-orang tuli akan mendengar perkataan-perkataan sebuah kitab, dan lepas dari kekelaman dan kegelapan mata orang-orang buta akan melihat (Yesaya 29:18). Berikut gambaran indah Zakharia mengenai negeri 1000 tahun, bahwa “Pada waktu itu akan mengalir air kehidupan dari Yerusalem; setengahnya mengalir ke laut timur, dan setengahnya lagi menaglir ke laut barat; Hal itu akan terus berlangsung dalam musim panas dan musim dingin …(Zakharia 14:8).
Gambaran keadaan Kerajaan 1000 Tahun demikian, paling kurang di wilayah awal penciptaan yakni dalam kisah Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon seperti makna hakikinya, telah terelaborasi sebagai pertemuan Timur Terjauh dengan Barat Terjauh dalam istilah Plato sebagai wilayah “antipoda”. Wilayah itu terletak "poros" sesungguhnya yang menjadi misteri selama ini, yang dijelajahi garis wallace weber, disinggung pula oleh Karl Heins Kohl dengan mengutip Gilberto Freyre, "Le Portugais et Les Tropiques", (dalam Karl-Heinz Kohl. "Raran Tonu Wujo, Aspek-aspek Inti Sebuah Budaya Lokal di Flores Timur", Ledalero 2009), hal 25. Wilayah Flores terletak disebelah timur garis Wallace, daerah peralihan flora dan fauna Euroasia dan Australia, kedua kontinen saling mempengaruhi. Begitu juga manusianya (bercampurbaurnya unsur Melayu, Papua dan Eropa) tampak pada raut muka, warna kulit, rambut, dan bentuk tubuh yang ditemukan dalam sebuah kampung, bahkan dalam sebuah keluarga yang sama.Suatu varietas manusia yang sangat menarik, yang tidak ditemukan dimanapun dimuka bumi ini, kecuali barangkali di Brasil, dimana ditemukan suatu tipe manusia berbudaya sinkretis yang harmonis jenis "luso-tropis". Menurut pendapat sosiolog Brasil, Gilberto Freye, ini merupakan keadaan, yang harus dicapai umat manusia sebagai keseluruhan.
Dengan demikian mengoreksi Arysio Santos yang menunjuk air lautan purba itu Lautan Pasifik (hal. 89-92), namun sesungguhnya Lautan Pasifik itu dari terusan Lautan Banda, yang bersumber dari arus Watowoko-ile Boleng (Timur Terjauh). Seperti Lautan Hindia yang terusan ke Lautan Atlantik, yang sesungguhnya dari Lautan Sawu bersumber dari arus Gonsalu-bukit Seburi (Barat Terjauh). Sekaligus meneguhkan Oppenheimer dalam pembuktiannya bahwa gen nenek, ibu, anak perempuan di dunia ini tersentral di wilayah Nusa Tenggara-Maluku ( Stephen Oppenheimer. “EDEN IN THE EAST The Drowned Continent of Southeast Asia”, 1998. Penerjemah Iryani Syahrir, dkk. “EDEN IN THE EAST, SURGA DI TIMUR, Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara”. Jakarta-Ufuk Press, 2010), hal. 276-278.
sosok Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon” ujung replikanya “Bunda Maria”
Kisah terpurba tentang kasih seorang gadis dan pengorbanan darahnya dalam sosok “Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon”. Satu-satunya perempuan yang bersaudarakan laki-laki tujuh orang, kehabisan buah-buahan sebagai satu-satunya jenis makanan mereka saat itu. Dalam kehabisan/ketiadaan buah-buahan, tiba-tiba saat tengah malam ada suara yang terdengar dari langit. Suara itu memerintahkan untuk mereka mengorbankan satu-satunya saudari perempuan mereka, demi tumbuh berbagai pohon dengan berjenis-jenis buahnya sebagai makanan mereka yang baru dan tidak akan habis. Ketujuh saudara itu menjalankan perintah dari langit, dengan mengorbankan/membunuh saudarinya. Lalu sekejap muncul berbagai pohon dan berjenis-jenis buahnya yang menjadi makanan mereka.
Kini kisah itu menjadi warisah ceritra mistik bagi para turunan yang meyakininya yang kini tersebar di Pulau Adonara dan Pulau Flores wilayah Timur bagian Tanjung Bunga. Karena meyakini maka di wilayah ini mereka mengetahui letak kerangka tulang si perempuan yang telah dikurbankan itu. Ujung kisah ini bahwa suatu saat karena terlalu melimpah makanan buah-buahan, mereka mengumpulkan yang tidak dapat dimakan lalu membakar seluruhnya sampai hangus, yang tersisakan kini dikenal dengan sebutan Nuha Mas (Pulau Emas). Nuha Mas terletak di antara selat yang memisahkan Pulau Adonara dengan Pulau Flores bagian Timur, wilayah Tanjung Bunga. Kisah ini sedikitnya mengingatkan akan makanan pokok dalam kehidupan di Taman Firdaus yakni Allah membolehkan Adam dan Eva sebagai sepasang manusia nyata awal, memakan buah apa saja yang ada di taman itu, namun buah dari pohon yang tumbuh di tengah-tengah taman itu, tidak boleh kamu makan (Kejadian 2:16-17 ).
Pengulangan kisah terpurba itu (replikanya) seperti dikisah kan Karl-Heins Kohl , yang terinspirasi dari Ernst Vater dengan “Ata Kiwan” 1932. Bahwa melalui dewi padi di seluruh pulau Flores, antara lain dalam mitos Raran Tonu Wujo, tentang asal mula Padi sebagai pohon kehidupan di wilayah Lewo Lema, Tanjung Bunga, Flores Timur. Kisah bermula dari pengurbanan seorang gadis yang bernama lengkap “Tonu Wujo Nogo Gunu Ema Hingi”. Juga P. Saren Orin Bao tentang Tata berladang tradisional dan pertanian rasional suku bangsa Lio, 1992, menunjuk asal-usul padi di sebuah kampong Titi Poi Mage Lio, melalui mitos tentang pembunuhan seorang gadis padi yang semi ilahi, yang dihormati dalam berbagai upacara agraris dan dalam tradisi lisan dikenal sebagai “Ine Pare”. Berikut Adolf Ellegard Jensen dalam “Mythos und Kult bei Naturvolken, Religionwissenschaftliche Betrachtungen, Wiesbaden” 1951, menunjuk di pulau Seram, Maluku mengenai mitos “Hainuwele” yang berkisah tentang pembunuhan ritual seorang gadis ilahi. Jasad gadis itu dipotong oleh ayahnya dan dikuburkan beberapa tempat di dalam tanah, yang kemudian menjadi buah umbi yang tumbuh ketika itu (bdk. Karl-Heins Kohl, hal. 307-358).
Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon ” dalam pengulangan ungkapan lain yang tersamar di pulau Adonara seperti “Kribe Tilung Wuan”, kisah “Nuha Wato Peni”, kisah “Ema Hingi Lama Doan-Tuto Heri Kehin”. Kisah “KribeTilung Wuan” sebagai sosok gadis awal di gunung Boleng dalam posisi di lokasi “Nobo -Namang” sesuai kisah dari seorang turunan “Kelen Lewo 5-Keda Lewo 7” di Lamahelan. Tercermati kata “Wuan” dari nama akhir sang gadis itu bermakna “buah-buahan”. Sedangkan kisah “Nuha Wato Peni” bermula dari seorang isteri yang berbuat jahat terhadap suaminya melalui pemberian makanan. Makanan “kanibal” yang disulap menjadi lauk ikan. Sulapan makanan yan aslinya “daging manusia” melalui “sihir” isterinya “Peni” itu suatu hari diketahui suaminya. Maka suaminya mengambil sikap “mengasingkan”, membuangnya di pulau (“Nuha”) yang sama sekali tidak ada penghuninya. Tidak ada sama sekali makanan di “Nuha” itu, hanya ada tumbuh pohon “Bidara” dengan buah-buahnya. Si “Peni” setiap hari memakan buah pohon itu, daun, ranting-ranting, sampai batang.
Berikut kisah “Ema Hingi Lama Doan-Tuto Heri Kehin” disingkat “Ema Hingi” atau “Hingi-Tuto” sangat tersamar, senantiasa sebagai “sepasang putri gaib kanibal” terhadap setiap orang “berdosa”. Kisah yang terwaris dari leluhur “Lega-Key”, yakni Lega dan Key dengan turunan dikenal “gawe-balik” dari “timur” (Seram-Gorom) menempati wilayah purba“Hinga Nara 0”, awalnya menunjuk kediaman purba “Kia Lali Tokan putra “Pati Golo Ara Kia”. Leluhur Key yang mendiami wilayah selatan agak ke timur memberikan kedua gadis itu atas permintaan Lega yang mendiami wilayah utara agak ke barat. Tertelusuri dari nama “Ema Hingi Lama Doan” bermakna tersurat “Bunda perantara tempat yang jauh”, “Tuto Heri Kehin” bermakna tersurat “kisah penadah, penampung sabda”. Ungkapan nama ini amat berkorespondensi dengan “Pati Lau Tadon madaken Bala-Beda weli seri meriken Patola” di singkat “Pati-Beda”. Sebutan nama “Pati-Beda” sesungguhnya leluhur dari masing-masing “Kelen Lewo 5-Keda Lewo 7”, “Hinga Nara 0-Bahi Lewo 8”, “Nele Lewo 5-Laka Lewo 10”.
Makna “Pati Lau Tadon madaken Bala-Beda weli seri meriken Patola”, tercermati maknanya yang hakiki sebagai “Penegasan identitas sebagai yang awal mula, alpha -Pernyataan eksistensi sebagai yang akhir, omega”. Makna dari “madaken Bala” berarti “Identitasnya gading”, sedangkan “meriken Patola” bermakna “Keberadaan yang agung”. Tertelusuri “identitas gading” bagi Pati lau Tadon (“Pati, pembesar Adonara”) tidak terlepas dengan penjelasan hewan “Gajah” yang bergigi “gading” (“Bala”) oleh Arysio Santos antara lain abjad “a”, “aleph”, (atau alpha dsbnya). Kata ini sangat mengingatkan kita pada istilah “gajah” (nama fauna), elephant (bhs inggris), elephos (bhs yunani), dan kepada dewa Ganesha yang sosoknya seperti gajah, yang namanya disebut orang hindu pada saat memulai apapun. Begitupun anak sapi emas yang di sembah bangsa Israel di saat kejenuhan menunggu kembalinya Musa dari pertemuannya dengan Allah di puncak gunung Sinai (hal 25).
Sosok ”Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon” di belahan dunia lain yang ujung replikanya dalam sosok keperawanan Bunda Agung Maria, dapat tercermati melalui penandasan Arysio Santos. Bahwa seperti Pallas Athena (Dewi hebat dari Athena Yunani), adalah nama lain dari dewi Hindu yang dikenal secara lokal sebagai Kanya Kumari (Putri Perawan) pelindung seluruh wilayah. Pallas Athena disebutkan berasal dari Rawa-rawa Tritona, suatu tempat yang sejak lama dikaitkan dengan Atlantis dalam tradisi-tradisi Yunani. Juga dikaitkan dengan Emas dan Gading, seperti diperlihatkan oleh patung gading raksasa di Parthenon yang dibuat oleh Phidias, seniman terhebat Yunani. Patung ini seluruhnya terbuat dari Emas dan Gading (chyselephantine), hal. 240.
Tercermati pengurbanan darah dan nyawa sosok perawan “Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon” di atas poros bumi, poros dunia (“Taman Hesperides” atau “Atlantides”, “Taman Surga”) bertumbuh menjadi pohon yang berbuah untuk makanan “keselamatan duniawi” ke 7 saudara laki-lakinya dan turunan mereka di seluruh dunia purba. Maka keperawanan “Bunda Agung Maria” (“Siti Maryam”) dikurbankan di Timur Tengah (replika poros dunia) secara ilahi terpinjam rahimnya untuk mengandung dan melahirkan “Sang Mesias”, “Isa Al Maseh” ke dunia. “Mesias” yang telah mengorbankan darah dan nyawa-Nya untuk “keselamatan llahi-duniawi” turunan ke 12 suku turunan Jacob anak Ishak cucu si Bapa Bangsa (Abraham), juga untuk keselamatan semua “orang pemercaya”, orang “beriman” . Kemudian Jacob (yang mempunyai anak 12, turunan, suku) mengubah namanya menjadi “Israel” sekaligus nama itu mengubah tempat/wilayah purba “Kanaan” menjadi “Israel” sampai sekarang. Apa yang dibuat Jacob itu persis seperti di lakukan oleh arus balik (“gawe balik”) si petualangan leluhur “Kelake Ado Pehan” (dengan ke 7 suku turunannya) yang mengubah nama purba “Nuha Tadon” menjadi “Ado Nara”.
Isteri dari “Kelake Ado Pehan” si “Kewae Sode Boleng” gadis titisan Ile Boleng (berlokasi di “Bao Kenire”) sebagai pengulangan dari putri “Kribe Tilu Wuan” (berlokasi di “Nobo-Namang”). Menjelaskan si “Eva” dalam Kitab Suci, sebagai pemaknaan tersurat “ewa-newa” dalam bahasa Lamaholot menyebutkan “wilayah pertanian, tanah perkebunan untuk kehidupan duniawi”. Makna tersurat demikian dapat terpahami secara tersirat dalam pengubarnan sosok “Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon”. Sedangkan makna “Eva” dalam Kitab Suci secara tersirat dapat terpahami dalam kisah “Nuha Wato Peni”. Berikut, sepertinya sangat tersamar namun sesungguhnya sangat dekat dengan “pengulangan” dalam kisah “Bunda Maria” dan “Sang Mesias, Isa Al Maseh adalah kisah “Ema Hingi” dan kisah “Pati-Beda”. Nama “Pati-Beda” sesungguhnya leluhur dari masing-masing “Kelen Lewo 5-Keda Lewo 7”, “Hinga Nara 0-Bahi Lewo 8”, “Nele Lewo 5-Laka Lewo 10”.
"Re’kan wu’un" , "Re’kan keni’rek", dan “Bua Hira”, misteri “Mesias
Pengungkapan lebih nyata banyak hal, antara lain sejumlah kebiasaan ("re’kan wu’un", "re’kan keni’rek" dan “bua hira”) dan pranata serta struktur sosial asli (“Lewo Tanah”) yang terus bertahan hingga kini, merupakan hal yang menarik. Karena senantiasa telah menjadi alam berpikir kehidupan dan cara pengorganisasian masyarakat secara semi gaib. Sekaligus sesungguhnya mendukung penandasan pembuktian (Arysio Santos, hal.306-311) bahwa Salib Atlantis sebagai Peradaban Bangsa Atlantis. Salib Atlantis merupakan simbol Ibu Kandung Peradaban Dunia, sesungguhnya kekinian merupakan wilayah Bangsa Indonesia, ufuk Barat Terjauh-Timur Terjauh dunia, belahan paling Selatan Garis Khatulistiwa arah Tenggara, yakni wilayah Nusa Tenggara Timur-Maluku.
Spirit kedaulatan pangan rakyat di era terpurba telah ditunjukan melalui buah-buahan dalam kerahiman seorang gadis “Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon” di Pulau Adonara. Melalui Padi mengulang dalam sosok “Tonu Wujo Nogo Gunu Ema Hingi ” di Lewo Lema, Tanjung Bunga, replika diri “Ina Pare” di Ende Lio, Pulau Flores. Sedangkan pengulangan dalam Ubi-ubian melalui kisah “Hainuwele” di Seram-Gorum, Maluku. Secara ilahi pengulangan dalam diri Yesus terjadi 2000 tahun lalu, terkandung melalui rahim seorang perempuan Maria. Dalam nyata Yesus telah mengorbankan darah dan nyawa-Nya di Kayu Salib, yang selalu dikenang dalam setiap perayaan ekaristi kudus sampai kekinian, akan datang dan selama-lamanya sebagai air kehidupan dan roti yang hidup. Secara keilahian Alam (vertikal) dan Manusia (horisontal) melalui simbol Salib telah diampuni, disembuhkan, dipulihkan, diselamatkan, oleh darah dan nyawa Yesus yang terkurbankan di atas Salib.
Ritus "re’kan wu’un" dan "re’kan keni’rek" sesungguhnya menegaskan identitas perempuan sebagai seorang gadis buah-buahan (tersimbol dalam padi, ubi-ubian) yang semi ilahi, memberi hidup keduniaan kepada umat manusia, bumi dengan segala isinya. Maka sesungguhnya perempuan dalam keibuan dihormati melalui berbagai upacara agraris dan dalam tradisi penegasan identitas sekaligus kedasyatan ketahanan ekonomi (“kedaulatan pangan”), bersubstansi pengampunan, penyembuhan dan pemulihan hidup kehidupan bagi umat manusia dan semesta. Relevansi logis dengan pengampunan, penyembuhan dan pemulihan hidup ilahi yang mengulang dalam diri Yesus dengan mengorbankan darah dan nyawa-Nya yang mulia di Kayu Salib. Makna Kayu salib sebagai lambang dialektika kehidupan makrokosmos (peradaban), vertikal, alam dengan mikrokosmos (kebudayaan), horisontal, manusia. Melalui lambang itu dan di atasnya (salib), Yesus telah menderita dan wafat. Maka secara keilahian alam dan manusia telah diampuni, disembuhkan, dipulihkan diselamatkan, oleh darah Yesus (bdk. Galatia 2:16, 19-21).
Kalau "waha-uwe", “padi-ubi” dalam kisah mistisnya sampai menjadi makanan pokok umat manusia, awalnya dari pengorbanan/dikorbankan diri seorang wanita, Ina Wae. Penyebutan Ina Pare menurut P. Sareng Orin Bao dan Tuno Wujo menurut Ernst Vater dan Karl-Heinz Kohl. Ina Pare di Ende Lio, Tuno Wujo di Lewo Lema, Flores Timur Daratan, khusus penamaan buah Padi. Sedangkan ubi-ubian di Seram-Gorum dalam kajian Karl-Heinz Kohl melalui kisah Hainuwele. Jadi "re’kan keni’rek" adalah penegasan identitas perempuan yang memberi makan keduniaan kepada umat manusia di bumi/dunia. Sedangkan "re’kan wu’un" adalah pembaruan spirit/semangat kewanitaan/keperempuan dalam ketahanan kedasyatan pengorbanan diri demi penyelamatan manusia di dunia/bumi. "Re’kan keni’rek" adalah penegasan identitas perempuan dan "re’kan wu’un" adalah pembaruan spirit keperempuan dalam ketahanan kedasyatan pengorbanan diri seperti sejak dari awal mula kehidupan telah ditegaskan dan dinyatakan oleh sosok gadis “Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon”.
Bua Hira”, sebuah ritus yang biasa dilakukan dalam keluarga setelah panenan hasil pertanian untuk bersyukur dan berterimakasih sekaligus mengenang kepada semua leluhur atas kesuburan dan hasil pertanian yang telah dipanen. Dalam Kitab Suci sewaktu “Malam Perjamuan Terakhir”, Yesus mengambil roti , mengucap syukur, memecah-mecahkannya dan memberikan kepada murid-muridNya, kataNya: “Inilah tubuh-Ku yang diserahkan bagi kamu; perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku”. Demikian juga dibuatNya dengan cawan sesudah makan; Ia berkata: “Cawan ini adalah perjanjian baru oleh darah-Ku, yang ditumpahkan bagi kamu …” (Lukas 22:19-20). Kata-kata “peringatan” Yesus “perbuatlah ini menjadi peringatan akan Aku”, dalam ungkapan Lamaholot: ”Gon peten-Menu kepae”. 
 
Menunjuk wilayah asal kedamaian
Wilayah Maluku sebagai wilayah tertimur dunia dan wilayah Nusa Tenggara Timur sebagai wilayah terbarat dunia, struktur sosial purba dalam kajian F.A.E. van Wouden mengistilahkan Dualisme Kosmos (Peradaban) untuk Langit dan Bumi, sedangkan Dualisme Fungsi Sosial (Kebudayaan) untuk peran Laki-laki (Langit) dan peran Perempuan (Bumi). Dualisme peran ini saling memotong, yakni vertikal dan horinsontal (bdk. F.A.E. van Wouden .“Sociale Structuurtypen in de Groote Oost”.1935. Diindonesiakan Grafiti Pers. “KLEN, MITOS, DAN KEKUASAAN, Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur”. Jakarta- Grafiti Pers. 1985.hal.25-92) ), Arysio Santos menyebut dengan “Salib Atlantis”, “Kosmogram Atlantis” sebagai hasil elaborasi dari gagasan Filosof besar Plato tentang Tata Peradaban Sipil yang sudah sangat maju yang menjadi ibu kandung peradaban dunia. (bdk Arysio Santos hal.126-128, 162-278).
Sampai kekinian Simbol “Salib Atlantis”, “Kosmogram Atlantis” terpraktekan dalam Peradaban dan Kebudayaan Lamaholot di Nusa Tenggara Timur dengan sebutan “LEWOTANAH”. Tentang LewoTanah sebagai Peradaban dan Kebuayaan Lamaholot (Kepulauan Solor: Adonara, Solor, Lembata) di Nusa Tenggara Timur, replika Salib Atlantis dan Kosmogram Atlantis itu, sesungguhnya Peradaban/keyakinan Dataran Tengah=POROS (NTT, NTB, MALUKU, SULAWESI) sebagai sumbernya kedamaian, asal kemuliaan dan ketentraman. Terpahami dalam Peta Purba Indonesia, yang menempatkan wilayah-wilayah ini dalam satu DATARAN TENGAH (POROS). Sedangkan Dataran Sunda (JAWA, BALI, KALIMANTAN, SUMATRA yang menyatu dengan Benua ASIA) itu BARAT. Berikut Dataran Sahul (Kepulauan Aru, Papua/Irian menyatu dengan Benua AUSTRALIA) itu TIMUR (Garis Wallace-Weber). Bandingkan dengan Peta buatan Dr. Harold K. Voris, Kurator dan Kepala Departemen Zoologi pada Field Museum, Chicago, Illinois, (bdk Arysio Santos hal. 104 dan 150).
Dalam filsafat terpahami wilayah sumber kedamaian, asal kemuliaan dan ketentraman itu sebagai “Estetika” (“asal dan berdiamnya ROH) yang menciptakan, mendialektikakan “Etika”, RAGA di TIMUR (Kebaikan untuk Kebenaran” ) menyatu “Logika”, JIWA (“Kebenaran untuk Kebaikan”) di BARAT. ROH menjelma dalam sabda, doa (“KODA”) terumus melalui "Kata-kata yang memiliki kekuatan rahasia dan tersembunyi untuk membentuk dan mencetak realitas fisik”. Betapa sedikit orang memahami kekuatan ini dan begitu jarang menggunakannya untuk memberikan manfaat bagi kemuliaan ROH itu sendiri". Tercermarti Pancasila sebagai rumusan kesempurnaan bahasa Roh, dalam kelima silanya Ketuhanan (sila 1)supaya semakin nyata berwujud dalam makna kemanusiaan (sila 2), peradaban, vertikal. Keadilan sosial (sila 5) senantiasa semakin nyata tercapai dalam kerakyatan yang berdemokrasi (sila 4), kebudayaan, horisontal. Saling dialektik terintegralistik (Persatuan) supaya sinergik (sila 3): “CintaKasih”, sebagai poros salib!!!, Allah Tri Tunggal maha pencipta (ROH), penguasa, pelindung, pengasih makrokosmos-miskrokosmos (alam semesta: langit bumi-manusia: laki perempuan). ROH mendialektikakan, yakni cross alam semesta (makrokosmos) vertikal dengan manusia (mikrokosmis) horisontal: SALIB !!!, “Salib Atlantis”, “Kosmogram Atlantis” Salib hidup kehidupan !!!

Melalui data tertulis yang dijadikan kajian, van Wouden terkesima dengan Ciri-ciri Utama Sistem Sosio-Kekerabatan (hal. 82-92), yang terbentuk dari filosofi Dualisme Kosmos dalam praktek Kepemimpinan Purba dengan Dualisme Fungsi Sosial yang mewujud menjadi Trinitas Kepemimpinan Purba (hal.25-81). Terkesima karena Trinitas Kepemimpinan (dalam Peradaban- Kebudayaan Lamaholot dikenal: KEPUHUNEN=POROS(“Ua’ken tukan waimatan karopuken-timumatan leragere”), TARAN NEKI=PILAR TIMUR (“Timumatan leragere“), TARAN WANAN=PILAR BARAT(“waimatan karopuken”) ternyata menyebar dalam daerah yang luas, satu sama lain saling berhubungan. Terbentang dari Pulau Timor, Pulau Sumba, Pulau Sabu, Pulau Rote dan Pulau Flores sampai ke Kepulaun Kai dan Tanimbar, serta juga mencakup Pulau Seram dan Pulau Ambon. Dengan demikian tercermati bahwa wilayah ini yang sesungguhnya berasal kedamaian, ketentraman, kemuliaan (ROH) bersumber di “Ua’ken tukan waimatan karopuken-timumatan leragere”, Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon”. 
 
Penutup
Tercermati pengurbanan darah dan nyawa sosok Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon dengan replikanya di berbagai belahan dunia, mengulang dalam Darah dan Nyawa Kristus yang dikorbankan dan tersalib di Kayu Salib. Menggambarkan sesungguhnya pemulihan peradaban (Langit-Bumi) yang dimediasi, dipilari oleh gunung Calvary (simbol gunung-gunung sejagat), sekaligus menyelamatkan kebudayaan (Laki-Perempuan) dengan segala turunannya yang menyakini dalam­­ ketangguhan iman dan kepenuhan hati sejak 2000 tahun lalu dan sampai kapanpun (era kekinian dan akan datang). Dalam konteks pemulihan Peradaban dan penyelamatan Kebudayaan Dunia, sesungguhnya menyelamatkan kosmos dengan segala isinya, makhluk hidup (terkhusus seluruh umat manusia) yang tersimbolkan melalui Salib (Salib Atlantis, Lewo-Tanah).
Dengan demikian dialektik Peradaban (vertikal) dengan Kebudayaan (horizontal), SALIB: yang membangun-merusak, memulihkan-menyempurnahkan secara ilahi dapat diserasi-selaras-seimbangkan melalui penyatuan Dua Ratu (Lautan dan Daratan) sesungguhnya berawal satu keastuan dalam sosok Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon , mengulang dalam diri, sosok MARIA pada 2000 tahun lalu. Logikanya bahwa turunan Dua Ratu tempo dulu (manusia lautan/dalam sosok Tiga Raja dari Timur dan manusia daratan/tersimbol dalam sosok para Gembala) saling dialektik dalam “membangun- merusak, memulihkan-menyempurnahkan” alam semesta. Maka dalam diri Maria merupakan jelmaan diri Dua Gen Ratu itu menyatu. Secara Ilahi Bunda Maria mengandung-melahirkan Sabda ALLAH yang menjelma dalam diri Sang PUTRA, sang MESIAS. Melalui Sabda Ilahi yang dikandung-dilahirkan MARIA (jelmaan Dua Ratu: Lautan dan Daratan dalam sosok awal ratu Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon ) itu: yakhi YESUS dengan Keilahian dan Keinsanian telah dengan tuntas menunjukan TERANG, CAHAYA, SINAR pelayanan dan pengabdian melalui wafat di kayu salib sebagai pemulihan Salib Atlantis, Lewotanah, Dunia.
Yesus Kristus yang sesungguhnya meminjam darah dan daging Bunda Agung Perawan Maria yang merahimiNya secara ilahi. Bunda Agung Perawan Maria sesungguhnya ujung replika sosok gadis Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon. Bunda Maria mengandung dan melahirkan bayi Yesus 2000 tahun lalu menjadi simbol Atlantis Lemuria, Mu yang berakhir 75.000 tahun lalu, beserta misi pemulihan terhadap Atlantis Lemuria hingga kini sampai akan datang dan selama-lamanya. Sedangkan kelahiran Yesus simbol Atlantis Sang Putra, berlanjut kepahlawanan yang ditampilkan Sang Putra (Kristus) dengan pengorbanan Darah dan Nyawa di Kayu salib untuk menyelamatkan umat manusia dan seluruh isi alam semesta 2000 tahun lalu sebagai pemulihan Atlantis Sang Putra yang berakhir 11.000 tahun lalu, sekaligus Atlantis Lemuria tersimbol melekat dalam diri Yesus melalui “darah” dan “kedagingan” yang dipinjam melalui rahim Bunda Maria. Semuanya sesungguhnya menegaskan misi pemurnian terhadap umat manusia dengan seluruh isi alam semesta kekinian, akan datang dan selama-lamanya. Terpahami, teryakini bahwa sesunggunya Atlantis Lemuria, Mu (Peradaban, vertikal) dialektik (cross) Atalantis Sang Putra (Kebudayaan, horizontal) bermakna Salib Atlantis, Lewotanah, Dunia*** 
 
Dataran Oepoi-Kota Karang Kupang, Tanah Timor, Sabtu 19 Mei 2018.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar