Kamis, 09 April 2020

Ina “PENI” “WATO PENI” (“WATO KORKE”), Ina SABU-Ama “YESUS” mengurbankan “DARAH” (“MEI GOKA”), mengisi “KORKE ALLAH”!


Ilustrasi

Pendahuluan

Ina "Wae" memakan "karowua" (buah terlarang) di "Dua Tukan" (“Hutan Firdaus”) dan meminta Ama "lake" hode ga'n ne" (laki-laki Adam ikut memakannya) Kejadian 3, menjelaskan kehidupan lama "Adam Lama" (“Adan –Eva) dalam Kitab Suci, (era Paleozoikum, zaman hidup tua). Maka “Adam Baru” Ama Yesus memurnikan kembali kehidupan semesta dan manusia di zaman Masehi dengan dengan “darah” nya kudus-“nyawa”nya yang mulia dikorbankan di Kayu Salib (Lukas 23:33-49). Sebelumnya pengisian “korke Allah” ole INA Peni (feminine) dengan berubah menjadi “Batu” (“wato Peni”) di zaman Paleozoikum, mengulang dalam “pengurbanan darah” simbol AMA oleh Abel (makulin) Kejadian 4, simbol INA oleh Sabu (feminine). Pengurbanan darah AMA oleh Abel (maskulin)- INA oleh Sabu (feminine), sekaligus memulai era baru zaman Mesozoikum (Hidup Menengah) dengan terbelahnya gunung Surga oleh gunung Batu Allah. Pengrurbanan darah terus berlangsung di setiap zaman melalaui perang, bencana, wabah (“Nu’un Maran”), sampai “puncak pengurbanan darah” sebagai tanda pergantian setiap zaman. Kemudian di ujungnya yakni zaman Masehi dimulai 2000 tahun lalu dengan pengurbanan darah AMA Yesus (ATAN DIKEN DA’AN). Namun “tanda” untuk pengisian korke Allah melalui pengrubanan “darah” manusia sepertinya tidak berhenti.
Alla'pet MENUTUP "keilahian, kegaiban kekekalan" hidup kehidupan mereka di "Dua Tukan", menjadi "fana dan kesementaraan" di bumi. Memperingatkan mereka hidup berusaha dengan "susah payah" di bumi untuk dapat melangsungkan kehidupan mereka. Namun "Ina Wae" ("Peni Utan Lolon") masih menggunakan kegaiban ("sihir") yang tersisa dalam dirinya mengolah makanan "kanibal" menjadi lauk ikan untuk makanan suaminya: "Ama Lake" ("La Asa"). Suaminya "Ama Lake" mengetahui itu, lalu mengasingkan "Ina Wae" itu, di "Nuha" ("Nuha", :"Wato") di laut, kini di sebut Nuha "Wato Peni" di pantai utara arah timur pulau Adonara. Kisah Nuha "Wato Peni" bergaya ekstrim "maskulin", demi menunjuk kesalahan "Ina Wae" (feminin).Sedangkan kisah yang moderat gaya "feminin" demi kesalahan "Ama Lake" (maskulin) terungkap dalam "Pati Kopon Nama (Ama Lake" dengan "Peni Kebukak Tapo Lolon". Gambaran kisah INA Peni dalam logika Kitab Suci tanda penutupan pintu Surga, diikuti kisah pengurbanan darah AMA oleh Abel (maskulin)- INA oleh Sabu (feminine) “Sabu Tana Tukan-Tukan Tana Lolon” sebagai tanda pemulihan kehidupan semesta dan manusia memasuki zaman Mesoxoikum (Hidup Menengah). Berakhir zaman Mesozoikum dengan terbelahnya gunung Surga, hilangnya surga (tenggelamnya benua Atlantis) untuk memasuki awal zaman Neozoikum Tertier, di zaman ini terbentuk kekaiseran Atlantis. Kekaiseran Atlantis hilang saat bencana banjir Nuh untuk memulai zaman Neozoikum Kuartier era Pleitosen.
Korke Allah
Tertelusuri kata “Korke” sesungguhnya bermula dari kisah “Pati Kopon Nama” (“Pati”) AMA dan “Peni Buka Tapo Lolon” (“Peni”) INA. Kisahnya bahwa seorang suami “Pati Kopon Nama” (“Pati”) di “dunia” berusaha mendapatkan kembali isterinya “Peni Buka Tapo Lolon” (“Peni”) yang lari pulang kerumah orangtuanya “Doni Belen” di “surga” (bdk. Paul Arndt SVD,Demon und Padzi, Die Feindlichen Bruder Des Solor-Archipels”, Athropos, Band XXXlll, 1938, hal 1-58. Diindonesiakan Paul Sabon NamaDemon dan Paji, Dua Bersaudara yang Bermusuhan di Kepulauan Solor”. Maumere-Flores: Puslit Candraditya .2002. hal. 29-30). Pati dapat sampai ke surga berkat bantuan 6 orang bidadari yang sesungguhnya bertujuh (7) saudari dengan Peni isteri Pati. Kisah awalnya bahwa Peni “disandera” olen “Wae Belek” penguasa mata air saat ketujuh bidadari dari surga datang mengambil air dan mandi.
Penyanderaan Wae Belek dilakukan dengan cara “menyembunyikan” sayap bidadari Peni saat dilepaskan waktu mereka mandi. Kemudian Peni dinikahkan dengan Pati dan memperoleh seorang putra bernama “Uhe Lapo”. Walaupun sudah berputera namun Peni si isteri tetap merahasiakan namanya kepada Pati suaminya. Pati menjadi penasaran untuk mengetahui nama isterinya, maka berpura-pura meninggal dengan jatuh dari pohon tuak (lontar). Isterinya Peni “terjebak” menangisi “kematian pura-pura” suaminya Pati, sambil mengungkap nama aslinya “Peni Buka Tapo Lolon”. Maka suaminya Pati langsung bangun dari kematian pura-puranya sambil bersorak kegirangan karena mengetahui nama asli isterinya itu. Kekecewaan Peni atas ulah kematian pura-pura suaminya itu, diwujudkan dengan diam-diam mengambil sayapnya yang disimpan wae Belek, lalu terbang kembali ke surga rumah orang tuanya.
Upaya Pati untuk mendapatkan kembali isterinya yang kembali ke Surga melalui bantuan ke 6 bidadari yang datang mengambil air, berhasil mempertemukan Pati dengan Doni Belen. Di tempat Doni Belen ada sebuah “korke” (rumah kurban) dan di sampingnya ada pohon kelapa. Sebelum dapat membawa isterinya kembali ke bumi, Pati harus melakukan beberapa pekerjaan yang sulit dengan bantuan hewan. Saat kembali ke bumi bersama isterinya, maka isterinya masuk dalam “korke”, bersama dengan “korke” itu mereka turun ke bumi. Ketika Pati tiba di bumi bersama isterinya dan “korke” itu, berubahlan sosok isterinya menjadi bongkah batu.
Bongkah batu ( “nuha wato peni”) simbol diri “Ina” Peni dalam “korke Allah” saat turun dari surga bersama “Ama” Pati. Batu itu menjadi batu kekuatan untuk “menghidupkan” kerajaan Allah di Bumi. Tersimbol dalam “Nobo Naman”, (“Nobo ReraWulan) di belahan timur gunung Surga (“Ile Bore”). Demi menata kehidupan “baru” di bumi, tersimbol dalam “gatu-gatan” melalui “kemoti” di Ile Bore. Kehidupan baru (zaman mesozoikum, “hidup menengah”) dimulai dengan dikurbankan dara InaSabu” (Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon”) untuk mengakhiri era kehidupan paleozoikum (“Hidup Tua”), bdk. https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/sabu-tana-tukan-tukan-tena-lolon-taman-surga-eva-ewa-newa-nuha-wato-peni-bunda-m/1840598706004701/.
Spirit mitos ini sangat penting menurut Paul Arndt, SVD, terlebih dalam kaitannya dengan korke, rumah kurban yang telah diberikan oleh Doni Belen (Lera Wulan), Wujud Tertinggi sendiri. Seperti gudang (“lumbung”) untuk manusia dipenuhi dengan jagung, padi dengan hasil ladang lainnya, demikian pula korke harus dipenuhi tengkorak manusia untuk Lera Wulan. Dengan demikian tercermati bahwa penyebutan “korke puken” menjadi “keroko puken” sesungguhnya menunjuk tempat/rumah kurban surga yang diturunkan ke bumi, sangat berhubungan dengan gunung Surga (Ile Olak: “woka Sanga Burak-ile Tobang Dua”) dan gunung Matahari (Ile Bolen: “woka Bolen-Ile Hadun”) dan gunung Mandiri (Ile Mandiri: “woka Tanah Lolon-Ile Mandiri”). Pembelahan gunung Surga oleh gunung Matahari sebagai “isyarat hilangnya Surga” (“hilangnya benua Atlantis”) akibat dosai “Eva” si perempuan awal yang tercipta dari tulang rusuk laki-laki awal si “Adam” (bdk. Kejadian 2:8-26), sehingga mereka terusir dari taman Surga (bdk. Kejadian 3:1-24) untuk menjalani kehidupan nyata di “Wato Rain-Tanah Adam” yakni “woka Tanah Lolon-Ile Mandiri”, sebagai pengulangan melalui Sem putra sulung Nuh. (bdk.https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/menelusuri-koda-kirin-isa-al-maseh-yesus-kristus-melalui-gunung-surga-woka-sanga/2030200543711182/).
Misteri “Korke Allah”, “Korke Puken”, “Karo Puken” (“Pohon Kehidupan”)
Tercermati bahwa kata “Keroko Puken” dari “Korke Puken” bermula dari “Karo Puken” (“Pohon Kehidupan”) melalui kisah berbagai mitos, menyiratkan gambaran hidup kehidupan yang wajib disyukuri oleh setiap insan kepada sang Sumber hidup kehidupan. Terpahami bahwa “Sang Sumber” hidup kehidupan itu adalah “Allah, Tuhan” bagi setiap penziarah spiritual, khususnya untuk suku bangsa Lamaholot sehari-hari dalam alegori “waimatan-karopuken” (“mata air sumber kehidupan-pohon kehidupan”). Maka sesungguhnya kata “keroko puken” berawal dari kata “korke puken” kehakikian alegori “karo puken” (“pohon kehidupan”), “Ama” yang tidak dapat dipisahlepaskan dengan “wai matan” (“mata air sumber kehidupan”) “Ina”. Lokasi “wai Matan Karo Puken” kekinian di “Wai Raya”, sedangkan lokasi “Korke Puken” di “Nobo Namang”, masing-masing dalam wilayah gunung Surga Belahan Timur (“Ile Bore”).
Kalau “pengurbanan darah” InaSabu” (Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon”) untuk mengakhiri era kehidupan paleozoikum (“Hidup Tua”, zaman Adam). Demi memasuki era kehidupan mesozoikum (“Hidup Menengah”) sampai berakhir dengan “Terbelahnya gunung Surga” oleh gunung Batu Allah (Ile Bolen). Berakhir zaman mesozoikum dengan hilangnya Surga (“Dua Tukan”) seiring tenggelamnya benua Atlantis, meninggalkan daratan baru (listofer) “Adonara Nuha Nebon” untuk memasuki “zaman Neozoikum terseier” . Listofer (“daratan baru benua”) “Adonara Nuha Nebon”, sepertinya masih tergabung dengan pulau-pulau di wilayah Nusa Tenggara- Maluku, minus Bali dan Kepulauan Aru selama zaman Neozoikum terseier.
Di mulai zaman Neozoikum terseier terindikasikan dalam “Dialog Plato”. Tercermati pada zaman Neozoikum terseier ini sebagai era terbentuknya “Kekaiseran Atlantis”, “Tata Peradaban Tinggi masyarakat sipil yang menjadi Ibu kandung Peradaban Dunia”, menurut filsuf Plato. Dielaborasi oleh Arysio Santossebagai “Salib Atlantis” (Arysio Santos.. “ATLANTIS The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato's Lost Civilization” , 2005. Penerjemah Hikma Ubaidillah: “INDONESIA TERNYATA TEMPAT LAHIR PERADABAN DUNIA”. Jakarta-Ufuk Press, 2009 hal. 126-128, 162-278) . Tentu menempatkan kajian F.A .E van Wouden dalam relevansi logisnya yang mengemukakan konsep Dualisme Komsos dan konsep Dualisme Sosial sebagai konsep Kelangitan (Laki-laki)yang vertikal saling memotong dengan Konsep Kebumian (Perempuan) yang horizontal, membentuk Salib. Konsep kehidupan ini terbentang dari Pulau Timor, Pulau Sumba, Pulau Sabu, Pulau Rote dan Pulau Flores sampai ke Kepulaun Kai dan Tanimbar, serta juga mencakup Pulau Seram dan Pulau Ambon (F.A.E. van Wouden .“Sociale Structuurtypen in de Groote Oost”.1935. Diindonesiakan Grafiti Pers. “KLEN, MITOS, DAN KEKUASAAN, Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur”. Jakarta- Grafiti Pers. 1985 ) hal. 25-81 .
Sesungguhnya tercermati sebagai “Lewotanah” awal (“Hinga Nara 0-Bahi Lewo 8: Kelen Lewo 5-Keda Lewo 5, Nele Lewo 5-Laka Lewo 10”) berlokasi di gunung Surga (“Belahan Timur gunung Surga”: “Ile Bore”) dan gunung Batu Allah (“gunung Bolen”), oleh Mesir kuno menyebut dengan “Pira Mida”. Dalam “Tata kehidupan masyarakat adat Lamaholot” di Nusa Tenggara Timur sampai kekinian di sebut “Lewo Tanah”. Hilangnya “Kekaiseran Atlantis” karena banjir Nuh (Kejadian 7:1-24, 8: 1-22) akibat meletusnya “Belahan Barat gunung Surga” (“Rian Wale”), mengakhiri zaman Neozoikum terseier. Banjir Nuh menghilangkan kekaiseran Atlantis, menaikan pula permukaan air laut sehingga meletakan “Adonara Nuha Nebon” beserta pulau-pulau di sekitarnya dalam posisi seperti sekarang.
Dialog Plato: Surga yang hilang dan tenggelamnya Kekaiseran Atalantis
Kekaiseran Atlantis menjadi “ibu kandung peradaban dunia” dalam “Dialog Plato”, tata Atlantis sebagai Replika Dunia terelaborasi oleh Arysio Santos sebagai “Salib Atalntis”, “Kosmogram Atlantis” (bdk.Arysio Santos. hal. 200-203 ). Tercermati dalam posisi Adonara sebagai “Dada Bumi yang Tidak Tenggelam” menjadi pijakan kaki Allah, dengan taktahNya di Kawah Ile Boleng “Ira Bura” (bdk. Yesaya 66:1, Matius psl 5-psl 7, Matius 5:34-37), dapat tergambarkan kekaiseran Atlantis di wilayah Lamaholot sebagai “gambaran ibu kandung peradaban dunia” dalam gambaran Plato.
Posisi gunung berapi dalam kitab suci menyebut sebagai alegori dari malekat penjaga/pelindung (bdk. Aryo Santos, hal.515-518). Dalam pemaknaan gunung api menjadi pilar penanda untuk masuk dalam wilayah surga yang telah “tertutup”, juga menjadi tanda larangan untuk tidak boleh memasuki wilayah itu (bdk. Kejadian 3:24). Karena setiap orang yang memasuki wilayah itu tidak akan selamat, selain mujizat dari Sang Pemilik kehidupan (bdk. Aryo Santos, hal. 662-663). Dengan demikian posisi “Ile Batu Tara” menjadi penanda untuk orang tidak boleh memasuki wilayah surga dari Timur arah Utara untuk sampai di “Meko-Lewo 8”, terus arah Selatan sisi Timur letak Kekaiseran Awololon (bdk. Arysio Santos, hal. 664) sebelum hilang kekaiseran itu dalam bencana banjir Nuh yang meninggalkan puing-puing kekinian di pulau Pasir Putih.
Sedangkan dari arah Barat jalur Selatan menuju “Kekaiseran Lian Lolong” melalui penunjuk pasangan “Ile Ape Lewotobi Laki-Wanita”, sebelum Lianlolong hilang dan menjebak terbentuknya “Danau Asmara” di Tanjung Bunga. Menempatkan Awololong dan Lianlolong dalam mengelaborasi “Dialog Plato” tentang “Kekaiseran Atlantis” yang dibangun oleh Poseideon (dewa air) dari barat menyelamatkan Putri di Timur saat benua tenggelam (surga hilang), mereka kawinmawin mempunyai anak 5 pasang laki. Melalui ke 5 pasang laki itu didirikan kekaiseran atlantis memulai zaman Neozoikum (zaman Hidup Baru) menggantikan zaman Meozoikum (zaman Hidup Menengah).
Kekaiseran itu terbentuk dalam 3 kanal. Tercermati dari dialog Plato itu, maka teramati "Kanal pertama" itu mengelilngi Adonara sebagai poros dengan pilar utama ile Boleng. Kanal ke 2 dengan pilar “Ile Ape Lewo Tolok” di timur dan “Ile Lewo Tobi Laki-Wanita” di Barat. Dipinggir kanal 1 dan 2 di Timur itu letak “Kekaiseran Awo Lolong”, di Barat menjadi lokasi “Kekaiseran “Lian Lolong”. Tepi luar kanal ke 2 arah Timur berbatas Lembata dengan Alor Bara Nusa. Tepi luar kanal 2 sisi Barat berbatasan di cekungan Dataran Tinggi Nita yang menjadi pemisah antara daerah pengunungan di Maumere Tengah, yakni “Selat” (Petu Sareng Orin Bao, “NUSA NIPA WARISAN PURBA” .Ende-Flores, Nusa Indah, 1969, hal, 174. berdasarkan data gunung api dokumentasi Belanda). Kanal 3 itu di sisi Barat ada air panas, dibuat sawah, pertanian, batas luarnya Manggarai dengan Sumbawa-Lombok (selat Sape) . Di Timur kanal ke 3 itu batas luarnya tidak berpilar karena hilangnya benua itu (antara Alor Bara Nusa dengan Aru-Irian listofer Benua Australia). Teramati Tata Kekaiseran Atlantis sebagai “Replika Dunia” dalam “Salib Atlantis” ( bdk. Arysio Santos, hal. 200-203) bdk. https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/gada-besi-dalam-kitab-suci-gala-rera-wulan-eken-matan-pito-ilen-boleng-kara-nisa/2406987922699107/.
Tercermarti bahwa sesungguhnya “Kekaiseran Atlantis” yang dibangun oleh Poseidon dan Putri di Timur dipinggir luar kanal 1 yang berbatasan dengan kanal 2, di Timur dikenal ”Awo Lolong” sedangkan di Barat dikenal dengan “Lian Lolon”. Di poros kanal 1 yakni pilar utama berdiri pilar “Ile Boleng” (“woka Bolen-ile Hadun”) menjadi kediaman Poseidon dan Putri di Timur. Sekalian lokasi pusat pembahasan hal-hal kekaiseran disebuah gunung di bagian Utara kanal 1 itu (dalam Dialog Plato). Terpahami wilayah utara itu, tentu termasuk wilayah "Meko" sebagai wilayah Hinga Nara 0 dengan segala kegaibannya itu. Kekaiseran atlantis ini hilang saat bencana Nuh dalam kitab suci (bdk, Kejadian 7, 8 ).
Tersimpulkan “Ile Mandiri-woka Tanah Lolon” menjadi penunjuk pengulangan gunung Batu Allah “Ile Hadun-Woka Bolen” setelah Banjir Nuh melalui “Sem” putra sulung Nuh (bdk. Taum, hal.49-51 ) untuk memasuki era Tertier zaman Neozikum Sedangkan “Ile Laba Lekan” di Lembata kelak menjadi penunjuk bencana hujan api di kitab suci, yakni keluarnya Abraham dari wilayah asal melalui bencana Lepanbatang. Dalam Mahabrata terlukis orang yang kalah judi ("main dadu") meninggalkan wilayah itu (bdk. Oppenheimer hal. 391, 392, 407). versi banjir ikan manu di India berasal dari wilayah Matahari terbit (Nusa Tenggara dan Maluku). Permainan Lempar Dadu (“Judi”) versi India, sedangkan pemaknaan sekarang sebagai sebuah kompetisi (adu kehebatan). Di zaman purba adu kehebatan dalam ketangkasan memanah di kenal dengan “Laba Lekang”.
“Pou Suku 5-Kakan Lewo 10” di “woka Tana Lolon-ile Mandiri”
Di mulai zaman Neozoikum kuarter era pleistosen untuk mengakhiri zaman Neozoikum terseier ditandai dengan “Replika Salib Atlantis” di “woka tana lolon-ile Mandiri” rarantuka (“Larantuka”) oleh Pati Golo Arakia Hinga, yakni membentuk “Pou Suku 5-Kakan Lewo 10”), (bdk. Yos Tapi Taum Yoseph Yapi Taum. “KISAH WATO WELE –LIA NURAT Dalam Tradisi Puisi Lisan Flores Timur”. Jakarta-Yayasan Obor Indonesia dan Yayasan Asosiasi Tradisi Lisan, 1997.hal. 49-51). Dalam zaman Neozoikum kuarter era pleistosen ini dikenal dalam Kitab Suci “Abraham” keluar dari negeri asalnya (bdk. Kejadian 12:1-9) terindikasi mengembangkan replika “Salib Atlantis” di India dengan “Sepasang pilar di Timur-sepasang pilar di Barat, pilar ke lima Poros” dalam keyakinan Hindu, oleh Arysio Santos menyebutnya dengan “Replika Sang Putra” (bdk. Arysiosantos 3 siklus Peradaban Dunia hal 96 -100 hal 577- 583).
Zaman Neozoikum kuarter era pleistosen berawal di “woka Tana Lolon-ile Mandiri meliputi pula wilayah “Ile Laba Lekang” seperti dalam tuturan masyarakat bahwa “Ile Mandiri sesungguhnya Ile Labalekang-Ile Labalekang sesungguhnya Ile Mandiri”(bdk. B. Mikael Beding & S. Indah Lestari Beding, “LENSA FLORES TIMUR”. Pemda Tingkat II Flores Timur, 1998, hal.2-3). Seperti tersurat dan tersirat dalam “Kisah asal-usul orang Lama Lera” sebelum sampai di kediaman mereka sekarang (“Lama Lera”), seperti suku Bata Ona, Blikololong (Gregorius Keraf, Disertasi Morfologi Dialek Lamalera, UI, Jakarta, 1978, hal.227-239).
Di mulai zaman Neozoikum kuarter era holosen untuk mengakhiri zaman Neozoikum kuarter era pleistosen dengan meletusnya gunung Lompomenenggelamkan pulau Batan. Sesungguhnya di era ini terjadi penyebaran suku-suku yang memulai pembentukan komunitas baru kediaman mereka yang baru dengan kata “Lama”. Seperti Lamalera, Lamakera, Lamahala, Lamawolo, Lamahelan, Lamapaha, Lamakremek, Lamatokan, Lama Ile, Lama Hoda, Lama Nepa. Penggunaan, penyebutan kata “Lamaholot” sesungguhnya di mulai dari era ini.
Zaman Neozoikum kuarter berlangsung dari akhir zaman Neozoikum terseier hingga sekarang, yang dibagi ke dalam kala pleistosen (600.000-10.000 tahun yang lalu), dan kala holosen (10.000 tahun yang lalu-sekarang). Terpahami bahwa kehidupan semesta dan manusianya sejak tertutup “Dua Tukan” (“Taman Firdaus”) di zaman Paleozoikum (“Hidup Tua”) ditandai sosok INA Peni batu (“wato peni”, “Batu Korke”) symbol sosok Eva yang melakukan “dosa” dalam Kitab Suci (Kejadian …). Dilanjutkan dengan zaman Mesozoikum (“Hidup Menengah”) pengurbanan darah INA Sabu (“Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon”) memulihkan kehidupan alam dan manusia di bumi.
Pengurbanan darah INA Sabu tidak menyadarkan kehidupan setiap manusia di eranya dalam “bersyukur-berterimakasih” sampai bencana terbelahnya gunung Surga tanda kemurkaan Allah memulai zaman berikut (zaman Neozoikum terseier) “terbentuknya Kekaiseran Atalantis”. Kemudian bencana banjir Nuh untuk memulai zaman Neozoikum kuarter era pleistosen dengan terbentuknya “replika Salib Atlantis” di “Woka Tana Lolon-Ile Mandiri” Rarantuka, di India terbentuk “replika Sang Putra”.
“Hilangnya Benua Atlantis” (“Surga yang Hilang”), terpahami melalui berbagai “kepunahan massal”. Teriktisarkan kepunahan massal 1, yang menutup/mengakhiri zaman hidup menengah (akhir zaman mezosoikum), yakni akhir dari siklus kehidupan pertama sekitar 80 ribu – 75 ribu tahun lalu di dalam Kitab Kejadian terjelaskan sebagai Konflik Kain dan Abel. Arisyo Santos mengklasifikasinya sebagai berakhirnya Atlantis Lemuria, yang tercermati sebagai era berakhirnya dominasi Peradaban. Sedangkan kepunahan massal 2 mengakhiri zaman hidup baru, akhir zaman es, yakni akhir dari siklus kehidupan kedua sekitar 11.000 tahun lalu dikenal dengan banjir nabi Nuh dalam Kitab Suci, yang mengakhiri Zaman Neozoikum (akhir zaman Es atau akhir zaman Hidup Baru) 11.000 tahun lalu. Arysio Santos mengklasifikasinya sebagai berakhirnya Atlantis Sang Putra, yang tercermati sebagai era berakirnya dominasi Kebudayaan.
Menyusul kepunahan massal 3 setelah akhir zaman es menempatkan India dengan “Maha Meru” sebagai wilayah Poros, Timur di Cina dengan “Yin-Yan”, Barat di Mesir dengan “Piramida”, Arysio Santos memperkenalkannya sebagai era Replika Atlantis. Replika Surga yang Hilang (replika Salib Atlantis) di India sebagai Poros (keyakinan sepasang pilar di timur dan sepasang pilar di barat, pilar ke lima adalah poros), Timur di Cina (Yin-Yan), Barat di Mesir (Piramida), berakhir 7000 tahun lalu. Kemudian Replika Surga yang Hilang (Salib Atlantis) bergeser ke Israeli (“10 Perintah Allah-Dua Loh Batu”) sebagai Poros, Timur di Arab, Barat di Roma. Israel dengan Sepuluh Perintah Allah/Salib Yahudi, dikembangkan Yunani dengan filsafatnya “Logika-Estetika-Etika”, Roma dengan filsafat barat, salib Kristus, Arab dengan filsafat Timur, kosmogram Atlantis. Tepatnya 2000 tahun lalu sebagai penegasan replika “Surga yang Hilang” berporos di Israel dengan Salib Yahudi, Barat di Roma dengan Salib Kristus. Sedangkan Timur di Arab dengan “Bulan-Bintang” sekitar 1500 tahun yang lalu bdk. https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/salib-atlantis-lewo-tanah-sepasang-pilar-piramida-yin-yan-dua-loh-batu-filsafat-/1790287664369139/.
Di ujungnya yakni “zaman Masehi” baru pengurbanan darah INA Sabu (“Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon”) memulihkan kehidupan alam dan manusia di bumi (sejak zaman Mesozoikum) dimurnikan oleh AMA Yesus (replika ATAN DIKEN DA’AN”) dengan mengurbankan “darah & nyawa” di Kayu Salib. Maka “pengurbanan darah” AmaAtan Diken Da’an” untuk mengakhiri “perjanjian lama” (“zaman hukum Taurat”) era keselamatan “Dua Loh Batu” ( simbol “gunung Surga Terbelah”) memasuki perjanjian baru (zaman hukum injil) era keselamatan “Dua Kayu Palang” (“Salib”).
Pengurbanan darah Ina Sabu-Ama Yesus demi “mengisi korke Allah”
Menariknya bahwa kisah mitos “Pati Kopong Nama dan Peni Kebukak Tapo lolon” telusuran Paul Arndt, SVD yang terjadi di Paman Kayo, Pulau Solor menggambarkan kesalahan laki-laki “Pati Kopon Nama” (Pati), substansinya sama dengan kisah mitos “Tuto Besen” di Horowura, Pulau Adonara. Tentunya berbeda dengan kisah mitos “Tuto Kepa Lolon” di pantai Lewo Kelen dan kisah mitos “Wato Peni” di pantai Meko, masing-masing di Pulau Adonara yang menggambarkan kesalahan si perempuan (bdk. https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/menelusuri-maria-mesias-dari-nini-ke-sode-dalam-berero-berero-soru-wada-gikato). Dengan demikian terpahami bahwa kesalahan/dosa yang terjadi di “Taman Firdaus” (“Dua Tukan”) itu karena kesalahan bersama Eva (“perempuan”) dan Adam (“laki-laki”) (bdk. Kejadian 3:1-24). Kesalahan bersama Adam dan Eva menodai kemurnian kehidupan surga (“Taman Firdaus”), maka itu kehidupan baru di dunia dengan susah payah bekerja (bdk. Kejadian 3:16-24), bukan dengan jalan “sihir” seperti mitos Wato Peni, atau “lupa bersyukur” seperti orang tua “Tuto Besen”, maupun seperti si suami Pati yang “licik” tersirat dalam mitos dengan mengelabui isterinya Peni dalam kisah “Pati Kopon Nama” (“Pati”) dan “Peni Buka Tapo Lolon” (“Peni”).
Tercermati kehakikian makna setiap mitos bersinggungan dengan “Tuto” dan “Peni”, senantiasa mengajarkan kepada setiap insan untuk “sadar, tau bersyukur dan berterimakasih” dalam hidup kehidupan atas seluruh anugerah, berkat yang dilimpahkan oleh “Allah” (“Doni Belen”). Sadar, tau bersyukur dan berterimaksih mengisi “korke manusia” dengan jagung, padi dan hasil panen lainnya sebagai antara lain simbol perbuatan kebaikan di antara sesama saling mengasihi (bdk. Keluaran 6:5). Karena akibat dari lupa atau ketidaksadaran untuk tau bersyukur dan berterimakasih, maka harus dibayar mengisi “korke Allah” dengan “tengkorak, kepala manusia” yakni melalui pengurbanan darah manusia. Konteks mengisi “korke Allah” ini, bagi Paul Arndt sebagai penyebab utama “Dua Bersaudara yang bermusuhan di Kepulauan Solor” yakni “Demon dan Paji”, sehingga permusuhan “Dua Bersaudara” ini bukan problem politis melainkan mistik religius ( bdk. Paul Arndt,SVD hal.57-66 ).
Tentang “Dua Bersaudara yang bermusuhan di Kepulauan Solor” yakni “Demon dan Paji”, sesungguhnya spirit kisah konflik “Dua Bersaudara dalam Kitab Suci, Kain dan Abel” sebagai akibat tidak tau bersyukur dan berterimaksih dari si Kain dalam simbol persembahan hasil panenannya yang “buruk”, gambaran tidak dengan sepenuh hati kepada Allah. Jika dibandingkan adiknya Abel mempersembahkan hasil ternaknya yang “tambun” sebagai lambang kepenuhan hatinya. Dengan demikian persembahan Kain di tolak Allah, dengan hanya menerima persembahan Abel. Maka Kain menjadi irih dan marah kepada adiknya Abel lalu membunuh adiknya (bdk. Kejadian 4: 1-16). Makna pengurbanan “darah” Abel untuk “korke Allah” sesungguhnya terpahami sebagai bentuk pengisian “korke Allah” atas silih dosa yang dilakukan oleh kedua orang tua mereka (Adam dan Eva) di “Taman Firdaus” (bdk. Kejadian 3: 1-26).

Konteks mengisi “korke Allah” ole INA Peni (feminine) dengan berubah menjadi “Batu” (“wato Peni”) di era Paleozoikum, mengulang dalam “pengurbanan darah” simbol AMA oleh Abel (makulin) Kejadian …., simbol INA oleh Sabu (feminine) sekaligus memulai era baru zaman Mesozoikum (Hidup Menengah) dengan terbelahnya gunung Surga oleh gunung Batu Allah. Pengrurbanan darah terus berlangsung di setiap zaman melalaui perang, bencana, wabah (“Nu’un Maran”), sampai “puncak pengurbanan darah” sebagai tanda pergantian setiap zaman. Kemudian di ujungnya yakni Zaman Masehi dimulai 2000 tahun lalu dengan pengurbanan darah AMA Yesus (ATAN DIKEN DA’AN).
AMA Yesus (ATAN DIKEN DA’AN) tiada menghilangkan yang lama (taurat) namun menyempurnahkan dengan “darah” nya kudus-“nyawa”nya yang mulia dikorbankan di Kayu Salib. Diikuti era pencerahan pada tahun 1600-1800 sebagai dimulainya era Moderen yang menandakan tampilnya Ilmu Pengetahuan dan teknologi (iptek) mengoreksi kegelapan zaman pertengahan. Kemudian mendekat petengahan abad 20 (1945) terumuskan replika Salib Atlantis melalui ideologi postmoderen, terihlam oleh Bung Karno, di Ende, Flores yang terumuskan dan terkenal dengan “Pancasila” bdk. https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/kedatangan-yesus-svd-dan-jejak-peradaban-yang-hilang/629928023738448.
Penutup
Bermula dari generasi Nuh terwaris ke generasi Abraham yang “mencampuradukan” penyembahan dan penghormatan. Hal itu membuat murka Allah, karena sesungguhnya yang disembah itu hanya satu-satuNya, yakni Allah sendiri. Murka Allah itu melalui bencana banjir dasyat (Nuh) dan hujan api (Abraham). Juga generasi Musa yang menyembah anak lembu di padang gurun, sehingga semua mereka yang keluar dari Mesir tidak diperkenankan menginjakan kaki mereka di Kanaan, tanah terjanji. Hanya anak cucu mereka yang dilahirkan selama pengembaraan 40 tahun di padang gurun, berhak memasuki Kanaan. Tidak luput di zaman akhir sebelum masehi buat generasi yang diperbudaki Assyria dan ditawan Babilonia, karena kelakuan mereka menyembah allah yang lain selain Allah yang satu-satuNya itu (monotheisme). Maka semua itu mewariskan persoalan yang semakin kusut sampai kekinian bagi sebagian besar umat manusia. Kekusutan persoalan dalam “menyembah dan menghormat”, berkaitan Yesus adalah “Mesias” sebagai “keilahian” Allah dengan “kedagingan ujung titisan darah” Abraham si Bapak Bangsa.
Dalam pandangan Lewo-Tanah (“Salib Atlantis”, “Kosmogram Atlantis”), rera-wulan (matahari-bulan), kelen (“keleten” di langit) dan tanah-ekan (tanah-lingkungan), nele (“raran” di bumi). Kelen dan Nele, hanya bisa ada (“tercipta”) semata-mata keilahian seorang anak manusia , nara (“ana atadiken”) dalam mencipta. Nara (“ana atadiken”) peten liwo (mengingat) one nimun (hati sejati)-hukut hipuk (menimbang) uhun tukan (nurani) sehingga mampu menjadi poros, sumber ciptaan, yang menciptakan langit dan bumi dengan segala isinya. Maka Langit (kelen, keleten) melindungi (“lewo”, “ewo”, “newon”) Bumi (nele, raran tanah ekan) dapat terjadi, semata-mata menjalankan kehendak nara (“ana atadiken”) yang menjadi poros, sumber segala yang terjadi (tercipta).
Maka langit (kelen, keleten) menjadi tangga yang “bermata tangga tujuh” (“keda, keda’an mata pito”) ke bumi untuk mensinergiskan, mendialektikan setiap ciptaan anak manusia, “ana ba’hi” (menjadi manusia ilahi langit-manusia ilahi bumi). Manusia ilahi (langit-bumi) menjadi petualangan, penziarahan, “laka” setiap anak manusia “peradaban”, “vertikal” untuk mencapai kesempurnaan hidup, hidup kekal. Dialektika hidup-kehidupan peradaban demikian dapat terpahami melalui penandasan filsuf Pythagoras, bahwa “untuk memahami alam sesmesta melalui makna angka-angka”. Tercermati melalui “Hinga Nara One (0)-Bahi Lewo Buto (8)”, “Kelen Lewo Lema (5)-Keda Lewo Pito (7)”, “Nele Lewo Lema (5)-Laka Lewo Pulo (10)”: “Koda Pulo (10)-Kirin Lema (5)”.
Pengulangan manusia “peradaban”, “vertikal” (makrokosmos) dalam manusia “kebudayaan”, “horizontal” (mikrokosmis), maka penyebutan “Hinga Nara One (0)” diungkap dalam “Uak Tuka-Wai Mata-Karo Puke” (poros/sumber “air kehidupan” dan “pohon kehidupan”). Sedangkan “Kelen Lewo Lema (5)” dimaknakan sebagai “Geleten Helan Wai-Geraran Keru Baki Buran” (kehidupan “putih”, kebaikan). Berikut ungkapan “Nele Lewo Lema (5)” dikenal dengan “Pelate Ape Rera-Gike Sili Lia Mean” (kehidupan “merah”, kebenaran). Memahami melalui Kitab Suci “Hinga Nara One (0)” sebagai tempat berdiamnya “Roh” (“I’ ke kwa’at”, “e’on me’kit”), yakni Roh Allah, sebagai poros, sumber (“uak tuka”) dari air kehidupan (“wai matan”) dan pohon kehidupan (“karo puke”). Poros, sumber kehidupan “Roh(“I’ ke kwa’at”) berdialektika (“Hinga Nara One (0)”) dalam cahaya kebaikan (“nelon’ne”), yakni (“Kelen Lewo Lema (5)” dimaknakan pula sebagai “Geleten Helan Wai-Geraran Keru Baki Buran” sebagai “jiwa”, “tuben-mangen dan terang kebenaran (“lain’ne”) yakni (“Nele Lewo Lema (5)” dikenal pula dengan “Pelate Ape Rera-Gike Sili Lia Mean” sebagai “raga”, ”kakon-nawak”.
Mencapai langit ke tujuh (“kelen wade pito”) sebagai penyebutan peradaban yang merujuk kepada proses dialektika Jiwa (“tuben-mangen”) melalui “Keda Lewo Pito (7)”, keda’an pito (7)(“tangga beranak tangga tujuh”). Proses dialektika kehidupan dalam “kebaikan-kebenaran=kelen lewo 5-nele lewo5” oleh setiap “manusia” ciptaanNya, “ana bahi” (“Bahi Lewo Buto (8)”) kelen lewo 5-nele lewo5 . Dialektika “kebaikan-kebenaran= kelen lewo 5-nele lewo 5” dalam petualangan, penziarahan melalui “langit 7 lapisan=keda lewo 7” menuju “kesempurnaan kehidupan” (“Laka Lewo Pulo (10)”) kekal. Kehidupan yang berdialektika(“kebaikan-kebenaran=kelen lewo 5-nele lewo5 “): “kasihilah Allah Tuhanmu dengan segenap hati, segenap jiwa, segenap akal budi”. Dialektika peradaban (vertikal) demikian mengulang dalam kebudayaan (horisontal) “kasih dan pengampunan”, yakni “mengasihi sesama seperti dirimu sendiri”, “ampunilah musuhmu tujuh kali tujuh puluh kali …” (“Keda Lewo 7”), sebuah penziarahan, pertualangan demi menggapai kehidupan kekal (“Laka Lewo 10”).
Roh ilahi (“eon-mekit”, “I’ke kwa’at”) mendialektikakan Peradaban, vertikal-Kebudayaan, horizontal (“tube-mangen”), cross, (salib atlantis, kosmogram atlantis), menyata pada tubuh-raga, (“kakon-nawak”) sang “Mesias” sosok Yesus Kristus. Mesias dalam penglihatan nabi Daniel sewaktu zaman akhir sebelum masehi yang kelak tampil setelah 70 minggu keilahian (490 tahun keduniaan), yakni di zaman awal masehi. Kenyataan sejarah sang Mesias diingkari Yerusalem simbol Israel “tanah terjanji” yang menanti kedatanganNya (replika dari Hinga Nara One (0)-Bahi Lewo Buto (8), di utara terletak Mesopotamia (replika dari Kelen Lewo Lema (5)-Keda Lewo Pito (7)), di selatan terletak Mesir (replika dari Nele Lewo Lema (5)-Laka Lewo Pulo (10)). Bangsa Mesopotamia dan Mesir Kuno menggambarkan wilayah mereka masing-masing jauh melintasi perairan menuju terbitnya Matahari, yaitu di Timur (bdk. Stephen Oppenheimer. “EDEN IN THE EAST The Drowned Continent of Southeast Asia”, 1998. Penerjemah Iryani Syahrir, dkk. “EDEN IN THE EAST, SURGA DI TIMUR, Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara”. Jakarta-Ufuk Press, 2010, hal. 622).***
Dataran Oepoi, Kota Karang Kupang, Tanah Timor, o7 Maret 2020

Tidak ada komentar:

Posting Komentar