Oleh Chris
Boro Tokan
Foto Ilustrasi : Tarian Liang dari Adonara |
Pendahuluan
Awalnya,
IDENTITAS ditegaskan dalam berbagai mitos yang magic-religius. Suatu model
hidup purba yang dituangkan dalam Keyakinan (tertulis dalam nurani) dan
dilaksanakan dalam ritus-ritus. Kemudian disyairkan para pujangga, diperdalam
dalam diskusi dan melalui dialog filosofis. Belakangan diwariskan dalam
formulasi ajaran agama yang didokumenkan (Kitab Suci). Ajaran Kitab Suci
terdalami dalam kisah sejarah setiap umat manusia yang terus berdinamika
melalui dialektika peradaban dan kebudayaan. Dialektika yang senantiasa
mengguratkan kerinduan untuk menggamit keinginan setiap insan manusia
mengkonfirmasi melalui Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek). Keinginan
mempertanyakan masa lampau sebagai sebuah penegasan kembali identitas dan
pernyataan eksistensi di tengah-tengah arus globalisasi informasi, tidak luput
informasi global tentang sejarah peradaban dan kebudayaan. “Religio Omnium
Sciantiarum Anima” (ROSA) semboyan dari St Thomas Aquinas bermakna “Agama
adalah Jiwa dari Ilmu Pengetahuan”. Terumus dalam konteks kekinian dan akan
datang menjadi: kedasyatan Keyakinan Bertradisi selaras keteguhan Iman Beragama
menjadi jiwa Berilmu Pengetahuan dan Ketrampilan Berteknologi untuk semakin
memanusiakan Manusia dalam pelestarian Alam Semesta.
Alam
semesta sebagai makrokosmos, manusia sebagai mikrokosmis, yang dapat dikaji
dalam hubungan sebab akibat, saling dialektik. Pengkajiannya tentu melalui
kegiatan manusia: perenungan tentang keberadaannya dalam relasionalnya dengan
sesama manusia dan alam semesta. Berproses pengetahuan manusia, termunculkan
melalui kekuatan daya ingat, demi kemampuan berabstraksi, yang puncaknya
bertrasendensi, yakni berTUHAN (ber ALLAH). Dengan demikian pengetahuan manusia
didapatkan melalui daya ingat dan kemampuan berabstraksi, terbantu pula melalui
perpustakaan dalam berbagai bentuknya. Karena perpustakaan itu sendiri
sesungguhnya sisi lain keberadaan dunia ide dalam relevansi logis dengan
gagasan Plato tentang setiap kehidupan nyata manusia adalah pengulangan saja
dari dunia ide. Ide itu menurut Plato sesungguhnya sebagai suatu dunia yang
sempurna dari alam sana (alam lain: alam jiwa, alam keilahian).
Dunia
ide itu sesungguhnya sisi lain keberadaan Tuhan dalam diri manusia dan dalam
alam raya, yang ditemukan manusia dalam kesadaran berpengetahuan (daya ingat),
yakni anamese menurut filsuf Plato, kemampuan berdaya abstraksi menurut filsuf
Aristoteles. Dengan perkataan lain terus bergumul dan mempertanyakan dalam diri
dan berdialog dengan keadaan di luar diri. Bagi para filsuf melalui perenungan.
Bergumul dalam doa dan puasa bagi orang-orang saleh. Bertapa dan mati raga bagi
kaum mistikus. Tangguh dan sabar bagi rakyat kecil dalam riak kehidupan
menghadapi kefasikan dunia. Melakukan observasi dan pengkajian melalui berbagai
methode bagi kalangan ilmuwan. Tidak puas dengan hasil karya dan terus berusaha
menyempurnahkan bagi para praktisi.
Kesatriaan kaum laki-laki (simbol
“Hedung”)
Manusia
mempersonifikasi Tuhan dalam Matahari-Bulan (Rera-Wulan), seperti orang adonara
dan lamaholot umumnya di provinsi Nusa Tenggara Timur dalam ungkapan: “Ama Ata
Rera Wulan - Ina Tua Tanah Ekan, Koda Ama Rera-Wulan kirin Ina Tanah Ekan”.
Kemudian terjebak menyembah simbol (seperti Matahari-Bulan) sebagai Tuhan,
Allah maka membuat murka Tuhan. Dalam arti simbol-simbol itu dihormati untuk
membantu proses daya ingat dan membentuk proses abstaraksi kepada yang disembah
yakni Allah, Tuhan. Karena hanya satu-satunya Tuhan, Allah yang disembah di
muka bumi ini.
Murka
Tuhan menghilangkan surga, taman firdaus secara ilahi dari kehidupan awal
manusia menuju hilangnya surga secara nyata (tenggelamnya benua) melalui simbol
konflik dua bersaudara (Kain vs Abel). Waktu itu Adam dan Eva lebih terjebak
rayuan ular (simbol matahari) dari pada mendengar/ menyembah Allah dengan
mentaati perintahNya. Begitupun si Kain anak sulung Adam dan Eva, lebih utama
menyembah materi/hartanya untuk dirinya dan menomorduakan persembahan hartanya
kepada Allah dibandingkan dengan adiknya Abel (bdk. Kejadian 4:3-16). Murka
Tuhan menenggelamkan benua melalui mitos Penghacuran Benua oleh “Tombak
Geografis Mistik” dan kibasan “Ekor Ikan Raksasa” (bdk. Stephen Oppenheimer. “EDEN
IN THE EAST The Drowned Continent of Southeast Asia”, 1998. Penerjemah Iryani
Syahrir, dkk. “EDEN IN THE EAST, SURGA DI TIMUR, Benua yang Tenggelam di Asia
Tenggara”. Jakarta-Ufuk Press, 2010. hal. 405-410).
Mitos
tersebut dapat terkaji dalam tarian “Perang Tanding” bersenjatakan
“Parang-Tombak” oleh orang Adonara khususnya dan mayarakat Lamaholot
umumnyasebagai suatu kemampuan berabstraksi dalam atraksi bersenjata:
1.
TOMBAK menegaskan makna sesungguhnya
mengenai anak-anak dari "Mannus", dari kata "Manu", sebutan
Nabi Nuh untuk bangsa India dalam Rig Veda. Dalam bahasa Inggris menjadi
Man=Manusia. Jerman: Mann. Bergabung dengan senjata yang paling sakral untuk
berkuasa: Ger (TOMBAK), jadilah nama suku bangsa GERMAN (Padre Yoseph Muda.
“Ata Lama Holot dalam Sorotan Budaya Dunia”. Yogyakarta-Kanisius, 2016. hal.
387). Melalui simbol “Tombak”, dapat tertelusuri si Hitler dengan gerakan Nazi
Jerman (mewarisi Kakak) begitu semangat menghabisi orang-orang Israel (mewasisi
Adik), sebagai pengulangan Konflik Dua Bersaudara. Kemudian kekalahan Jerman
dalam Perang Dunia I (1914-1918) dengan sendirinya menghentikan kekejaman Nazi.
Sekaligus mengakhiri jajahan Turki Ottoman (mewarisi Kakak) atas Israel
(mewarisi “Poros”) selama empat abad (1517-1918), karena dalam Perang Dunia I,
Turki berpihak kepada Jerman(bdk. Gary M.Burge. “Palestina Milik Siapa” (Judul
asli: “Whose Land, Whose Promise?”. Jakarta: BPK GunungMulia, 2014, hal. 43-
45).
2.
PARANG/Kapak: tertelusuri menegaskan
Manco Capac, keluarga raja Inka di Cina. Dalam bahasa Jepang bermakna Mata
Merah, (mata yang berkuasa). Telusuran mendalam "Mata Ular Naga",
karena Manco Kapak bermunculan dari dalam air danau Titikaka. Dengan demikian
manco capac/PARANG/Kapak: sebagai simbol penegasan identitas manusia yang punya
kekuasaan(berkapak/mempunyai parang), “manusia kapak” (Yoseph Muda. hal. 330,
368-369, 370). “Kenube” (Parang), “Soru” (Kapak) Tanah Ekan, sarana untuk
terbelahnya gunung Surga oleh gunung Matahari (bdk. Bdk. Arysio Santos.
“ATLANTIS The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of
Plato's Lost
Civilization” , 2005. Penerjemah Hikma Ubaidillah: “INDONESIA TERNYATA TEMPAT LAHIR PERADABAN
DUNIA”. Jakarta-Ufuk Press, 2009. hal. 500=503 ).
Civilization” , 2005. Penerjemah Hikma Ubaidillah: “INDONESIA TERNYATA TEMPAT LAHIR PERADABAN
DUNIA”. Jakarta-Ufuk Press, 2009. hal. 500=503 ).
3.
Ikatan DAUN KELAPA (“Kenobo”) di
kepala para penari “hedung”: menegaskan manusia-manusia asal MATAHARI terbit
dan terbenam (Kepulauan SOLOR purba=Kepulauan MATAHARI, wilayah “Daratan Baru”
dari benua Atlantis yang hilang). Seperti penjelasan Aryo Santos “Kedua tanduk
atau bulu pada hiasan kepala bangsa Orang Laut pada akhirnya melambangkan dua
Pilar Herkules. Dan, “matahari” yang bersinar di antara dua tanduk menyimbolkan
letusan gunung api yang berapi-api, bersinar laksana bintang siang (hari) itu
sendiri. Bangsa Orang Laut lainnya (Peleshet atau Palestina) memakai hiasan
kepala dengan bulu-bulu besar yang simbolismenya lagi-lagi persis sama.
Bulu-bulu penuh warna yang mereka pakai dengan gamblang menggambarkan letusan
vulkanis raksasa dan bulu (asap) berapinya. ... Pastilah lebih dari sekedar
kebetulan bahwa sebagian dewa bangsa Mesir seperti Bes juga menggunakan hiasan
kepala berbulu. Dan Bes dianggap berasal dari Punt, Pulau-pulau yang Terberkati
versi Mesir, yang didiami para pahlawan dan para Firaun setelah kematiannya.
Bangsa Orang Laut juga mencakup bangsa Teresh (atau Tursha atau Tyrshenoi atau
Tyrrhenya), yaitu bangsa Ertruria. ... Fakta ini mengungkapkan hubungan dengan
Hindia Timur dan bangsa Dravida, sebagaimana diungkap oleh bahasa Dravida yang
mereka gunakan”(hal. 656-657).
Dengan
demikian TARIAN HEDUNG bukan hanya sekedar sebuah tarian, namun memiliki makna
yang mendalam tentang PENEGASAN sebuah INDETITAS (jati diri) dan PERNYATAAN
sebuah EKSISTENSI (keberadaan) dari “ATA DIKEN” Adonara khususnya dan suku
bangsa LAMAHOLOT umumnya. Mitos penghancuran benua yang hilang, antara lain
melalui senjata geografis TOMBAK (TOMBAK sebagai senjata geografis) terjelaskan
secara akademis sebagai bencana vulkanik/letusan gunung di daratan
(“dulhi/kiwan”). Sedangkan bencana vulkanik lautan melalui EKOR IKAN RAKSASA
yang menhancurkan pantai (“watan”) BENUA YANG HILANG, sebagai bencana di dalam
laut/di dalam air sebagai simbol parang geografis, kapak. Kedua jenis bencana
ini yang menghancurkan benua ATLANTIS, memunculkan listofer (daratan baru) yang
sekarang membentuk KEPULAUAN MATAHARI (Solor) Purba: Nusa Tenggara (minus
Bali), Sulawesi, Maluku, Kepulauan Filipina, berbagai Kepulauan di Pasifik,
Mada Gaskar, Selandia Baru (bdk. bdk. Arysio Santos, hal. 256).
Kasih Sayang Seorang Perempuan
(simbol “Tonu Wujo”)
Kisah
terpurba tentang kasih sayang seorang perempuan (keibuan) dalam sosok Sabu Tana
Tukan-Tukan Tena Lolon.Satu-satunya perempuan yang bersaudarakan laki-laki
tujuh orang, kehabisan buah-buahan sebagai satu-satunya jenis makanan mereka
saat itu. Dalam kehabisan/ketiadaan buah-buahan, tiba-tiba saat tengah malam
ada suara yang terdengar dari langit. Suara itu memerintahkan untuk mereka
mengorbankan satu-satunya saudari perempuan mereka, demi tumbuh berbagai pohon
dengan berjenis-jenis buahnya sebagai makanan mereka yang baru dan tidak akan
habis. Ketujuh saudara itu menjalankan perintah dari langit, dengan
mengorbankan/membunuh saudarinya. Lalu sekejap muncul berbagai pohon dan
berjenis-jenis buahnya yang menjadi makanan mereka.
Kini
kisah itu menjadi warisah ceritra mistik bagi para turunan yang meyakininya
yang kini tersebar di Pulau Adonara dan Pulau Flores wilayah Timur bagian
Tanjung Bunga. Karena meyakini maka di wilayah ini mereka mengetahui letak
kerangka tulang si perempuan yang telah dikurbankan itu. Ujung kisah ini bahwa
suatu saat karena terlalu melimpah makanan buah-buahan, mereka mengumpulkan
yang tidak dapat dimakan lalu membakar seluruhnya sampai hangus, yang
tersisakan kini dikenal dengan sebutan Nuha Mas (Pulau Emas). Nuha Mas terletak
di antara selat yang memisahkan Pulau Adonara dengan Pulau Flores bagian Timur,
wilayah Tanjung Bunga. Kisah ini sedikitnya mengingatkan akan makanan pokok
dalam kehidupan di Taman Firdaus yakni Allah membolehkan Adam dan Eva sebagai
sepasang manusia nyata awal, memakan buah apa saja yang ada di taman itu, namun
buah dari pohon yang tumbuh di tengah-tengah taman itu, tidak boleh kamu makan
(Kejadian 2:16-17 ).
Pengulangan
kisah terpurba itu seperti ditunjukan Karl-Heins Kohl dalam karya-nya “Der Tod
der Reisjungfrau, Mythen, Kulte und Alianzen in einer Ostindonesischen
Lokalkultur”, di Indonesiakan oleh Paul Sabon Nama “RARAN TONU WUJO Aspek-Aspek
Inti Sebuah Budaya Lokal di Flores Timur” (2009), yang terinspirasi dari Ernst
Vater dengan “Ata Kiwan” 1932. Bahwa melalui dewi padi di seluruh pulau Flores,
antara lain dalam mitos Raran Tonu Wujo, tentang asal mula Padi sebagai pohon
kehidupan di wilayah Lewo Lema, Tanjung Bunga, Flores Timur. Kisah bermula dari
pengurbanan seorang gadis yang bernama lengkap Tonu Wujo Nogo Gunu Ema Hingi.
Juga P. Saren Orin Baotentang Tata berladang tradisional dan pertanian rasional
suku bangsa Lio, 1992, menunjuk asal-usul padi di sebuah kampong Titi Poi Mage
Lio, melalui mitos tentang pembunuhan seorang gadis padi yang semi ilahi, yang
dihormati dalam berbagai upacara agraris dan dalam tradisi lisan dikenal
sebagai Ine Pare. Berikut Adolf Ellegard Jensendalam “Mythos und Kult bei
Naturvolken, Religionwissenschaftliche Betrachtungen, Wiesbaden” 1951, menunjuk
di pulau Seram, Maluku mengenai mitos Hainuweleyang berkisah tentang pembunuhan
ritual seorang gadis ilahi. Jasad gadis itu dipotong oleh ayahnya dan
dikuburkan beberapa tempat di dalam tanah, yang kemudian menjadi buah umbi yang
tumbuh ketika itu (bdk Karl-Heins Kohl, hal. 307-358).
Kaitan
”Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon ” di Pulau Adonara dalam replikanya dengan
“Tuno Wujo” di Lewo Lema, Flores Timur Daratan, “Ina Pare” di Ende Lio, khusus
menyebut tanaman Padi. Sedangkan ubi-ubian dalam kisah “Hainuwele” di
Seram-Gorum, dengan kiasan untuk surga atalantis yang hilang dikenal dengan
Taman Hesperides (atau Atlantides). Hesperides sesungguhnya bermakna taman yang
memiliki dua perairan dari bahasa Dravida yang merujuk makna kata dvipa=dvi-ap,
berarti memiliki air di kedua sisi (Arysio Santos, hal 22-23). Tercermati makna
dua perairan dari kata dvipa=dvi-ap (bahasa Dravida) itu merujuk kepada
perairan samudra Pasifik menunjuk wilayah Timur yakni Seram-Gorum (Maluku)
dengan samudra Hindia mengacu kepada wilayah Barat yakni Flores Timur (Nusa
Tenggara Timur). Dua perairan yang menjadi gerbang masuk dari Timur menuju
Barat atau dari Barat menuju Timur. Gerbang masuk, oleh Plato menegaskan
sebagai salah satu indikator geografis terletak benua Atlantis yang hilang.
Merujuk keyakinan Buddha Amitabha menandaskan bahwa itu wilayah sesungguhnya
Surga Buddha tempat Matahari Terbit, yakni di Barat(bdk Arysio Santos, hal.
36).
Dapat
termaklumi bahwa Barat yang dimaksudkan sebagai tempat Surga Budha itu,
sesungguhnya Barat Terjauh (Kepulauan Nusa Tenggara Timur) dengan Lautan Sawu
terusan ke Samudera Hindia. Di situ juga Timur Terjauh (Kepulauan Maluku)
dengan Lautan Banda terusan ke Samudera Pasifik. Kedua wialayah ini terletak
pada poros bumi, dua ujung terjauh dunia bertemu: yakni “penyatuan ujung Timur
dan ujung Barat dari Bumi”. Timur Terjauh dan Barat Terjauh menunjuk kepada
satu wilayah/ satu lokasi dalam pengertian purba. Mengingat Bumi berbentuk
bulat, sehingga ujung Timur Terjauh dan ujung Barat Terjauh itu menyatu menjadi
satu tempat/satu wilayah (Arysio Santos, hal.27-28). Wilayah itu adalah terbit
dan terbenamnya Matahari, lokasi surga empirik yang hilang, tempat Taman Eden,
Kebun Firdaus yang hilang. Timur Terjauh menjadi wilayah kepulauan Maluku
penghasil rempah-rempah (Cengkeh dan Pala), komoditi yang tidak ada duanya di
bumi. Barat Terjauh dalam hal ini Nusa Tenggara Timur wilayah penghasil Kayu
Cendana yang kualitas kewangiannya sampai kekinian tidak tertandingi di dunia.
Wilayah penghasil rempah-rempah dan bahan wewangian antara lain menjadi bagian
fakta flora penegasan gagasan Plato tentang ciri Benua Atlantis yang Hilang
(bdk Arysio Santos,hal. 134).
Lokasi
“Barat terjauh-Timur Terjauh” menyatu menjadi satu tempat/satu wilayah (Arysio
Santos, hal.27-28). Wilayah itu adalah terbit dan terbenamnya Matahari, lokasi
surga empirik yang hilang, tempat Taman Eden, Kebun Firdaus yang hilang, yakni
“Poros” makna tersirat dalam penyebutan nama “Sabu Tanah Tukan-Tukan Tena
Lolon”. Tertelusuri “Sabu Tana Tukan” bermakna “terhampar (tertabur) ditengah-tengah
Tanah (daratan)”, “Tukan Tena Lolon” bermakna “tertabur di atas tengah-tengah
perahu (air)”. Bermakna seorang gadis yang dikurbankan darahnya di atas poros
bumi dan air (“poros dunia”), bertumbuh menjadi pohon yang berbuah untuk
makanan ke 7 saudara laki-lakinya bdk. https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/sabu-tana-tukan-tukan-tena-lolon-taman-surga-eva-ewa-newa-nuha-wato-peni-bunda-m/1840598706004701/.
Kisah
“Tonuwijo” (“Tonu Wujo Nogo Gunu Ema Hingi”) sesugguhnya penegasan
“pengulangan” filosofi kisah “Sabu” (“Sabu Tanah Tukan, Tukan Tena Lolon”) yang
memulai era baru dengan “pemulihan hidup” dan “pemurnian kehidupan” yang
ternoda dalam “taman surga” (mengakhiri era “kanibalisme” karena kesulitan
makanan). Dalam makna geografis “hilangnya taman surga” melalui tenggelamnya
benua Atalntis, yakni peristiwa geologis terbelahnya gunung Surga (“woka Sanga
Burak-Ile Tobang Dua”)oleh gunung Matahari (“woka Bolen-Ile Hadung”).
Berikut
kisah “Ema Hingi Lama Doan-Tuto Heri Kehin” disingkat “Ema-Hingi” atau
“Hingi-Tuto” sangat tersamar, senantiasa sebagai “sepasang putri gaib kanibal”
terhadap setiap orang “berdosa”. Kisah yang terwaris dari leluhur “Lega-Key”,
yakni Lega dan Key dengan turunan dikenal “gawe-balik” dari “timur”
(Seram-Gorom) menempati wilayah purba“Hinga Nara 0”, awalnya menunjuk kediaman
purba “Kia Lali Tokan” putra “Pati Golo Ara Kia-Kia Ile Lolon”. Leluhur Key
yang mendiami wilayah selatan agak ke timur memberikan kedua gadis itu atas
permintaan Lega yang mendiami wilayah utara agak ke barat. Tertelusuri dari
nama “Ema Hingi Lama Doan” bermakna tersurat “Bunda perantara tempat yang jauh”,
“Tuto Heri Kehin” bermakna tersurat “kisah penadah, penampung sabda”.
Ujung
dari sosok wanita yang menegaskan kehadiran Bunda Maria 2000 lebih tahun lalu
di Israel, adalah sosok misteri patung Renya Rosary di Larantuka sekitar awal
abad ke 16 (tahun 1510). Sebelum kehadiran misionaris Portugis Pastor Manuel de
Kagas yang memastikan itu patung Bunda Maria (tahun 1617), maka Raja Larantuka
dengan rakyatnya menyebut “Tonuwidjo” sebagai “ibu padi”, “Ibu Kelimpahan”,
“Ibu Kesuburan” di bidang pertanian (“Tonu Wujo”) bdk. https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/menelusuri-maria-mesias-dari-nini-ke-sode-dalam-berero-berero-soru-wada-gikato-s/2078723532192216/? .
Ketunggalan Budaya meredam
“Radikalisme”
Tercermati
Samuel P. Huntington dalam “The Clash of Civilization and The Remaking of the
World Order”, “Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia”. Benturan
peradaban atau clash of civilizations adalah teori bahwa identitasbudaya dan agama seseorang akan menjadi sumber konflik utama
di dunia pasca-Perang Dingin. Teori ini dipaparkan oleh ilmuwan politik Samuel P. Huntington dalam pidatonya tahun 1992. di American Enterprise
Institute, lalu dikembangkan dalam artikel Foreign Affairs tahun 1993 berjudul "The Clash of
Civilizations?",[2]sebagai tanggapan atas buku karya mahasiswanya, Francis Fukuyama, berjudul The End of History and
the Last Man(1992). Huntington kemudian
mengembangkan tesisnya dalam buku The Clash of Civilizations and the Remaking
of World Order (1996).
“Radikalisme”
dalam isyarat Huntington sebagai “benturan peradaban” (“clash of
civilizations”) sesungguhnya dapat terminimalisir melalui “keanekaragaman
budaya” dan “agama” dalam pemahaman sesungguhnya tentang “ketunggalan budaya”
yang “asali”. Relatif dalam kehidupan suku bangsa Lamaholot di provinsi Nusa
Tenggara Timur telah menunjukan dengan baik kebersamaan “ketunggalan budaya”
yang “asali” dalam kebersamaan keanekaragaman hidup beragama. Hal itu sadar
atau tidak sadar karena sebagian besar umat beragama (Katolik-Islam) sering
penganutnya dalam sebuah komunitas suku dan terjadi kawin-mawin. Lebih dari itu
setiap insan manusia Lamaholot mepunyai satu keyakinan nilai “Lewo Tanah”:
“Rerawulan/Koten-Tanahekan/Lein” (Vertikal) berdialektik dengan “Ata Diken: Ama
Lake/Taran Wana-Ina Wae/Taran Neki” (Horisontal). Keyakinan “Lewo Tanah”
tercermati melalui pendapat Arysio Santos sebagai “Salib Atlantis”, “Kosmogram
Atlantis”, mengelaborasi pendapat filsuf Plato tentang “Tata Peradaban
masyarakat sipil yang sangat tinggi sebagai ibu kandung peradaban dunia”
(Arysio Santos, hal. 183-203 ).
Nampaknya
Sang Guru Ilahi (YESUS KRISTUS) mempunyai pandangan bahwa “Dia sendiri yang
menjadi pusat tempat suci” dalam “Perjanjian Baru”. Sepertinya “Tanah”, tujuan
dari “Perjanjian Lama” adalah “tanah perjanjian”: “Yerusalem Lama” itu
“ditiadakan” oleh Yesus. Kekinian dan akan datang, tujuan (“jalan”, “terang”,
”api”) bdk. Yohanes 8: 12-20, “ape rera” (“taran neki”, “rie hiku lima neki”), “Timur”
dan tanah (“air”) bdk. Yohanes 4:6-14 , “helan wai” (“taran wanan”, “rie hiku
lima wanan”), “Barat” dalam “Koda Lewotanah”, senantiasa dalamdiri pribadi
Yesus Kristus. Baik Timur dan Barat itu pada (“diri”: “Atan Dike Da’a”) Yesus
Kristus, sebagai tanah “Perjanjian Baru”, (“Kerajaan 1000 Tahun/Zaman Akhir”
& kelak “Yerusalem Baru-Lewotanah Baru/Akhir Zaman”), “Uma Tukan Wai
Matan-Karo Puken” menurut “Koda Lewotanah”, yakni “Poros” bermakna “sumber Air
kehidupan” (bdk. Yohanes 7:37-44, bdk. Kitab Wahyu 21:6, 22:1, 17) dan “Pohon
Kehidupan” (bdk. Kitab Wahyu 22:2, 19). Karena itu “Bait Allah” di Yerusalem
nilainya turun dibandingkan dengan “Yesus” (“Sang Guru Ilahi”), yang tubuh-Nya
adalah “bait suci” itu sendiri (Yohanes 2: 21-22), yakni yang “Awal“ dan
“Akhir”, “Alpha-Omega” (bdk. Kitab Wahyu 21:6-7), “Asa-Usu” dalam kehakikian
pemahaman “Koda Lewo Tanah”.
Sesungguhnya
semua Manusia di bumi ini berasal dari Satu dari yang Esa itu (satu kosong/0
yang "menetaskan"). Terjelaskan dalam berbagai bahasa tradisi,
keyakinan budaya, filsafat, dan firman dari setiap agama, terkonform dalam
perkembangan ilmu pengetahuan ! Keyakinan suku bangsa Lamaholot di prov NTT
yang mentradisi dengan "LewoTanah" terpahamami melalui setiap diri
manusia Lamaholot. Bahwa sesunggunya dalam diri, pribadi “Ata Diken” (“Anak
Manusia”) mengalir sekian aliran darah leluhur dari generasi ke generasi yang
berujung setiap raga kekinian, terwariskan dari keyakinan leluhur yang
mentradisi: "Lewotanah!".
Kajian
tentang Lewotanah sebagai kedasyatan keyakinan yang mentradisi, dan
sesungguhnya keyakinan di “Dataran Poros” (“Ua’ken Tukan Wai Matan Karo Puken”:
Nusa Tenggara Timur - Maluku ) dunia dapat terpahami melalui kajianF.A.E. van
Wouden (“Sociale Structuurtypen in de Groote Oost”.1935. Diindonesiakan Grafiti
Pers. “KLEN, MITOS, DAN KEKUASAAN, Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur”.
Jakarta- Grafiti Pers. 1985.) dalam relevansi logisnya yang mengemukakan konsep
Dualisme Komsos dan konsep Dualisme Sosial sebagai konsep Kelangitan (Laki-laki)yang
vertikal saling memotong dengan Konsep Kebumian (Perempuan) yang horizontal,
membentuk Salib, sehinnga terjadi perkawinan cross cousin ("kemeta aken
geto") dari generasi ke generasi (bdk. hal. 82-159).
Simbol
“Salib Atlantis” (“Kosmogram Atlantis”) dalam petunjuk “Koda” Lamaholot dikenal
dengan “Lewo Tanah”, termaktub antara lain ritus-ritus yang dalam “tanda petik”
sering juga disiniskan sebagai “Kafir” (“Ata Kiwan”) bdk Ernst Vatter. “Ata
Kiwan”, Bibiliographisches Institut Ag/Leipzig, 1932. Penerjemah Ny. S.D. Syah.
“Ata Kiwan”. Ende-Nusa Indah, 1984. Semuanya di elaborasi secara sistematis
oleh Paul Arndt. “Religion auf Ostflores, Adonare und Solor”,1951. Penerjemah
Paul Sabon Nama. “Agama Asli Di Kepulauan Solor”, Seri Etnologi Candraditya,
No.4. Puslit Candraditya-Maumere, Flores, Cet. Ke- 2, 2009. “Falsafah dan
Aktivitas Hidup Manusia di Kepulauan Solor”,Seri Etnologi Candraditya, No. 5.
Puslit Candraditya-Maumere, Flores, Cet. Ke- 1, 2003.
Dari
dataran Poros (“Ua’ken Tukan Wai Matan Karo Puken”: Nusa Tenggara Timur -
Maluku) dunia (kelak membagi ke Timur dunia/dataran Sahul: kep Aru dan Papua
dan ke Barat dunia/dataran Sunda: jawa purba mencakup jawa-kalimantan-sumatra)
dalam kaitan flora-fauna melalui pembuktian garis wallacea-Weber, yang diperbaiki
dengan garis Thomas Huxley menambah dataran Filipina. Dalam kaitan manusia (Ata
Diken) sangat berhubungan tatanan "Lewotanah" sesungguhnya substansi
"Surga di Timur" menurut Stephen Oppenheimer("Eden is the
East") yang membuktikan antara lain dengan penyebaran Manusia awal di
dunia (“EDEN IN THE EAST The Drowned Continent of Southeast Asia”, 1998.
Penerjemah Iryani Syahrir, dkk. “EDEN IN THE EAST, SURGA DI TIMUR, Benua yang
Tenggelam di Asia Tenggara”. Jakarta-Ufuk Press, 2010).
Oppenheimer
membuktikan penyebaran manusia AWAL dari wilayah Poros (Nusa Tenggara-Maluku)
itu melalui kajian GEN orang Asli ((bab 2 hal. 53-96) dan penyebaran Bahasa
Austronesia sebagai sumber Asli berbagai Bahasa di Dunia bab 5 hal. 191-244) ke
Timur, Barat, Utara, selatan. Sedangkan Aryo Santos menyebut "Salib
Atlantis", "Kosmogram Atlantis", dengan mengelaborasi pendapat
filsuf Plato mengenai "Tata peradaban masyarakat sipil yang tinggi,
sesungguhnya ibu kandung peradaban dunia" (“ATLANTIS The Lost Continent
Finally Found, The Definitive Localization of Plato's Lost Civilization” ,
2005. Penerjemah Hikma Ubaidillah: “INDONESIA TERNYATA TEMPAT LAHIR
PERADABANDUNIA”. Jakarta-Ufuk Press, 2009) bdk. hal. 163-278.
Semuanya
tentang Lewotanah (replika Salib Atlantis & Kosmogram Atlantis) terwariskan
melalui mitos-mitos yang mentradisi kepada setiap turunan, yang sesungguhnya
berkembang menjadi sumber keyakinan dunia melalui ajaran Hindu/India, Ra/Mesir,
Budha: Yin-Yan/Cina sekitar 12- 11 ribu tahun lalu. Berujung kepada “Dua Loh
Batu” Musa/Israel skitar 7- 6 ribu tahun lalu . Kemudian terdalami secara
filsafat di Yunani sekitar 3 ribu tahun lalu, dan berkembang ke Barat menjadi
filsafat barat/Roma dan 2000 tahun lalu menjadi Salib Kristus (replika Salib
Atlantis), ke Timur menjadi filsafat timur/Arab dan 1500 tahun lalu menjadi
Bulan Bintang (replika Kosmogram Atlantis). Dalam akhir abad 17-18 berkembang
dalam ilmu pengetahuan. Pertengahan abad 20 (1945) terumuskan dalam Pancasila.
Salib
Atlants, Kosmogram Atlantis, Lewotanah sesungguhnya Pancasila Lamaholot
terpahami melalui Ketuhanan (sila 1)supaya semakin nyata berwujud dalam makna
kemanusiaan (sila 2), peradaban, vertikal. Keadilan sosial (sila 5) senantiasa
semakin nyata tercapai dalam kerakyatan yang berdemokrasi (sila 4), kebudayaan,
horisontal. Saling dialektik terintegralistik (Persatuan) supaya sinergik (sila
3): CintaKasih, sebagai poros salib!!!, Allah Tri Tunggal maha pencipta,
penguasa, pelindung, pengasih makrokosmos-miskrokosmos (alam semesta-manusia).
Cross alam semesta (makrokosmos) vertikal dengan manusia (mikrokosmis)
horisontal: SALIB!!! Salib hidup kehidupan !
Adat, Agama, Ilmu Pengetahuan
Adat,
Agama, Ilmu Pengtehuan teknologi: "ua'ken telo ka'han ehan"!, menjadi
sosok "Atadiken" kekinian ("Hanya Atadiken sesungguhnya kekinian
yang menyadari dan memahami", sehingga menjaga dan merawat diri untuk
"tidak terjebak setan dan tidak teperangkap iblis")!
... dan akan datang dalam "one ehan-kirin tou" yang menjadi "Satu-satu-Nya" mutlak benar "ATAN DIKEN DA'A"!, "YESUS KRISTUS ISA AL MASEH!" dalam "Kerajaan 1000 Tahun BAPA" jadi NYATA di Bumi. Maka "Atan Diken yang sesungguhnya" itu berziarah, bergumul dalam "diken da'an" di bumi ini untuk menjadi terang "ATAN DIKEN DA'AN"! bdk. Matius 8:18-20.
... dan akan datang dalam "one ehan-kirin tou" yang menjadi "Satu-satu-Nya" mutlak benar "ATAN DIKEN DA'A"!, "YESUS KRISTUS ISA AL MASEH!" dalam "Kerajaan 1000 Tahun BAPA" jadi NYATA di Bumi. Maka "Atan Diken yang sesungguhnya" itu berziarah, bergumul dalam "diken da'an" di bumi ini untuk menjadi terang "ATAN DIKEN DA'AN"! bdk. Matius 8:18-20.
“Ata
Diken” menumbuhkan kembali “daya ingat” (“o’nem peten pe’nuket ni’u nimun
naman”) untuk “kekuatan berabstraksi” (“u’hun nem nuku hu’kut hipuk a’tenem
tuka”). ... "uaken telo ka'han ehan" naku "one ehan-kirin
tou" ! "Berziarah menegakan kebenaran melalui pergumulan perbuatan
kebaikan", "Pelate Ape Rere Gike Sili Lia MEAN-Geleten Helan Wai
Geraran Keru Baki BURAN"! Seperti ATAN DIKEN DA'AN yakni YESUS KRISTUS
menegaskan dalam Injil Matius 5:45 “Karena dengan demikianlah kamu menjadi
anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat
dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang
tidak benar” !
“Pelate
ape rera, Geleten helan wai” menjadi “kasih sejati”; “soron hode” dalam
berlewotanah sesuai spirit injil Matius 5:45, sesungguhnya menjadi “sangat
magis” (“gike sili lia mean”), kekuatan kebenaran, kesatriaan dan “sangat
sakral” (“geraran keru baki buran”), keluhuran kebaikan, kesucian. Karena
“pelate ape rera, gike sili li mean membuat seseorang kokoh, tangguh, kuat,
dasyat (“tuben ne me’kah”) untuk berbuat kebaikan, kelembutan hatinya (“kirin
senaren”) dalam hidup kehidupannya. Sedangkan “geleten helan wai” menjadikan
seseorang selamat, mulia, agung (“niu’ken niu”) karena keteguhan sikap terhadap
kebenaran (“koda’n muren”) dalam penziarahan kehidupannya. Namun sebaliknya
apabila “koda’n nalan” (“bersikukuh dalam ketidakbenaran”) maka “geleten helan
wai” dengan kesakralannya (“geraran keru baki buran”) membekukan alirah darah
kehidupannya (“niu’ke mata’na uhun’ne bolak’ka”). Bertahan dalam ketidakbaikan
(“kirin daten”) maka “pelate ape rera” dengan kemagisan (“gike sili lia mean”)
menghanguskan aliran darah kehidupannya (“tuben ne me’keh, aten putuk’kah”).
Menelusuri
kehakikian kisah Parang, Kapak(“soru wada”) dengan sosok “Sabu” dan sosok “Tonu
Wujo” dalam diri “Maria” dan “Yesus” sebagai “Mesias”, dapat tertelusuri
melalui kepelikan pemahaman terhdap “misteri” kedatangan “mesias” ke bumi.
Tertelusuri bahwa “Mesias” datang ke dunia sebagai Anak Manusia “terurapi”
dalam penglihatan nabi Daniel 2500 tahun lalu, yakni terkurbankan “darah dan
nyawa” seorang anak manusia ilahi tidak bersalah (Daniel 9:24-26). Penglihatan
nabi Daniel menyata dalam diri Yesus 2000 tahun lalu (bdk. Mateus 27: 45-51).
Sesungguhnya sebelumnya dalam pencobaan Abraham si Bapa Bangsa untuk
“pengurbananan” diri “Ishak” putratunggalnya (bdk. Kejadian 22: 1-19).
Pencobaan itu, merupakan pengulangan pengorbanan yang dulu terpurba telah
dilakukan si gadis (seorang perawan) yakni “Sabu” (“Sabu Tanah Tukan, Tukan
Tena Lolon”). Pengorbanan diri seorang perempuan (gadis) secara “tersirat”
tertelusuri dalam Kitab Suci, sesungguhnya bermula dari akibat dosa Eva dalam
memakan buah terlarang di taman surga (bdk. Kejadian 3:1-24), taman kehidupan
gaib. Dosa Eva itu mengakibat hilangnya keilahian (kegaiban) kehidupan, yakni
terusir dari kehidupan gaib (surga) untuk hidup di dunia nyata (bumi). Untuk
pemulihan hidup pemurnian kehidupan di alam nyata, maka menjadi terpahami
pengurbanan diri “Sabu”.
Pengurbanan
diri “Sabu” yang mengulang melalui sosok “Tonu Wujo” terpahami tersirat dalam
diri “Maria” yang dipimjam darah dan rahimnya oleh Yesusuntuk datang ke bumi
sebagai “mesias” 2000 lebih tahun lalu dan mengurbankan “darah” dan “nyawa”-Nya
di kayu salib. Pengurbanan “Sode”dalam simbol warisan “bulu badan, kuku tangan
dan kaki” untuk dipinjamkan “kapak mistis” dalam tragedi “bolen me’tan”
terpahami melalui kedatangan “mesias” memulai hari keilahian 3 (bdk. Korintus
15:20-26; bdk. Matius 16:21, 17:22-23, 20:17-19; bdk. Lukas 9:22, ), “kerajaan
1000 tahun keduniaan” (bdk. Kitab Wahyu 20: 1-6). Mesias datang menunggang kuda
putih dan keluar pedang tajam dari mulut-Nya untuk memukul segala bangsa (bdk.
Kitab Wahyu 19: 11-16). “Pedang” yang keluar dari mulut-Nya ini sesungguhnya
replika senjata mistis “soru” yang digunakan untuk pembelahan gunung surga oleh
gunung matahari, juga yang dipinjamkan saat mengatasi tragedi “bolen me’tan”.
“Pedang
tajam” replika dari “Kapak mistis” (“soru wada”) yang keluar dari mulut,
sesungguhnya simbol dari “Sabda” , “Koda”: (“Koda 10-kirin 5”) sesungguhnya
diri ilahi “Mesias” dalam raga “Yesus Kristus” datang ke dunia dengan meminjam
darah, rahim, kedagingan “Maria”. Sosok “Maria” sendiri merupakan replika dari
sosok “Nini”, “Sabu” dan “Sode”, juga “Tonu Wujo”, “Ine Pare”, “Hainuwele”.
Seperti sosok “Sabu” yakni “” mnggambarkan kesempurnaan (10) diri sebagai poros
bumi (“Tanah-Air”), dari namanya “Tana Tuka” (5)-Tuka Tena Lolon (5).
Kesempurnaan ini mengulang dalam sosok “Sode” melalui warisan seluruh “Bulu
Badan” dan “kuku kaki-tangan” (10), masing-masing pasangan “kuku kaki”
(5)-“kuku tangan” (5). Se.dangkan sosok kesempurnaan (10) “Edo” dalam
kedasyatan ketahanan diri seorang diri dari bencana tenggelamnya benua, yang
terulang dalam diri “Sedo-Barek” sosok penghuni-penunggu “Batu Karang” bdk. https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/menelusuri-maria-mesias-dari-nini-ke-sode-dalam-berero-berero-soru-wada-gikato-s/2078723532192216/?.
Dengan
demikian "Ata Diken sesungguhnya", maka sesungguhnya tidak boleh
mempertentangkan kedasyatan keyakinan tradisi terhadap “Lewo Tanah”, “Eken
Matan Pito-Nuba” (sebagai simbol tombak “mistik” geografis) dengan keteguhan
iman kepada “Yesus Kristus”, ” Isa Al Maseh” sebagai “Batu Penjuru”. Perlu
penegasan bahwa keyakinan tradisi itu sebatas “penghormatan” untuk meneguhkan
kaum beriman, umat, setiap “Atadiken sesungguhnya” untuk fokus kepada
“penyembahan Allah yang Esa” melalui Putra Tunggal-Nya Yesus Kristus, Isa Al
Maseh. Seperti perintah Allah kepada nabi Musa untuk menolong umat Israel dari
sengtan ular berbisa sebagai jalan antara untuk bertobat, foKus menyembah
kepada Allah yang Esa demi keselamatan mereka (Bilangan 21:4-9); Maka
berfirmanlah TUHAN kepada Musa: "Buatlah ular tedung dan taruhlah itu pada
sebuah tiang; maka setiap orang yang terpagut, jika ia melihatnya, akan tetap
hidup". Sedangkan Yohanes 3:14, 15 menegaskan: “Dan sama seperti Musa
meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan,
supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal” bdk. https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/gada-besi-dalam-kitab-suci-gala-rera-wulan-eken-matan-pito-ilen-boleng-kara-nisa/2406987922699107/.
Penutup
"ATA
DIKEN sesungguhnya"! dalam ziarah hidup dan pergumulan kehidupannya di
bumi senantiasa menumbuhkan dan merawat "kedasayatan keyakinan bertradisi
diteguhkan iman beragama sesungguhnya jiwa berilmupengetahuan dan ketrampilan
bertenologi" untuk "kelestarian alam semesta" demi menyelamatkan
"kemanusiaan manusia" ! Semuanya dapat diperoleh dan tetap termiliki
melalui menumbuhkan dan merawat “daya ingat” untuk tetap “hidup” dalam
“kebenaran” dengan selalu “berdoa, berpuasa, bertobat (“hidup baru”)”. Supaya berkemampuan
membangun “daya abstraksi” melalui setiap perbuatan “kebaikan” dalam kehidupan
sehari-hari. Berdoa melalui simbol “lodang” (“kontas, Rosario, tasbih”)
khususnya untuk “bersyukur dan berterimakasih” dengan menghormati hari ke 7
sebagai hari Tuhan seperti antara lain tercermarti dalam makna tersirat kisah
masing-masing gadis dalam mitos mengenai “Tuto” di Lamaholot bdk. . https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/menelusuri-maria-mesias-dari-nini-ke-sode-dalam-berero-berero-soru-wada-gikato-s/2078723532192216/?. .
Menumbuhkan
dan merawat “daya ingat” untuk tetap “hidup” dalam “kebenaran” antara lain
melalui pertunjukan tarian “hedung”. Aspek nilai tarian “hedung” yakni
kesatriaan kaum pria memperjuangkan dan mempetahankan kebenaran yang diyakini
sebagai kemuliaan hidup kehidupa sebuah keluarga, komnitas dengan pertaruhan
nyawa. Tercermati bahwa “perang tanding” dalam simbol tarian “hedung”,
sejatinya berawal dari membela “kehormatan perempuan” secara langsung, maupun
tidak langsung seperti “soal tanah” yang melambangkan sosok perempuan.
Sedangkan “Tonu Wujo” dalam tarian, teater mengandung nilai kasih sayang
seorang perempuan (“keibuan”) yakni berbuat kebaikan untuk keselamatan
keluarga, komunitas. Menggugah setiap insan untuk mampu membangun “daya
abstraksi” untuk tetap mempertahankan hidup kehidupan suatu komunitas dengan
berbuat baik dalam membiasakan hal-hal yang benar, walaupun nyawa menjadi
taruhan.
Merawat
“daya ingat” untuk membangun “daya abstraksi” antara lain melalui “tarian
hedung” dan “drama tonuwujo” sesungguhnya menegaskan Koda Lamaholot tentang
“Kramek Ola Ama-Kmea Ola Ina” yakni “sumber kemuliaan, keagungan, keadilan”.
Terpahami “Ola”, “Allah” (“0”) dalam bahasa Inggris “All” bermakna “Semua”,
bdk. Daniel 2:47: Berkatalah raja (Nebukadnezar) kepada Daniel:
"sesungguhnyalah, Allahmu itu Allah yang mengatasi segala allah dan yang
berkuasa atas segala raja, dan Yang menyingkapkan rahasia-rahasia, sebab engkau
telah dapat menyingkapkan rahasia itu”. Bdk. Surat Paulus kepada Umat di
Korintus 15:28: “… ,supaya Allah menjadi semua di dalam semua”. Tercermati
dalam koda lamaholot: “Kra'mek Ola Ama-K'mea Ola Ina”, bermakna Sumber
keluhuran, kemuliaan, kesatriaan, keagungan tergambarkan dalam “keberanian”,
“keperkasaan” (“kra'mek, kra'ma”) dan Induk (“sumber”) keadilan, kebenaran
terlambangkan dalam warna “merah” (“k'mea, me'an”).
“Ile”
dalam bahasa Solor (Lamaholot) bermakna “Gunung”, “Pilar”, “Gunung Batu-Ku“,
tersirat bermakna juga “keilahian”, “kekuatan”, bdk. Samuel: 22:47: “Tuhan
hidup! Terpujilah Gunung Batu-ku, dan ditinggikanlah kiranya Allah Gunung Batu
keselamatanku”. Penamaan “Ola Ile” yang berdiam di gunung Boleng di Pulau
Adonara bermakna “Allah Yang Ilahi”, “Allah Gunung Batu keselamatanku”, Tuhan
Gunung Batu-ku.
Mengetahui,
menghayati, mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam “tarian hedung” dan
“drama tonuwujo” senantiasa meredam “radikalisme” dalam kehidupan
bermasyarakat, beragama, berpemerintahan, berbangsa. Radikalisme yang telah
diperingatkan Samuel P. Huntington (1992) sebagai benturan peradaban atau clash
of civilizations yakni identitasbudaya dan agama seseorang akan menjadi sumber konflik utama
di dunia pasca-Perang Dingin. Peringatan Huntington kekinian sedang menjadi kenyataan
melalui konflik gelobal dalam “terorisme dunia”, yang juga melanda Indonesia
berakibat kepada konflik-konflik bagai “api dalam sekam” menyelimuti kehidupan
bermasyarakat, beragama, berpemerintahan, berbangsa dan bernegara. Sesungguhnya
kehidupan bersama bagai “api dalam sekam” dapat ternetralisir, terpadamkan
dalam proses kehidupan kultural. Seperti atraksi “tarian hedung” dan “drama
tonu wujo” serta model kebersamaan antar masyarakat, antar agama, dalam
pemerintahan dan bernegara yang mengutamakan aspek kultural yang integrative.
Sesungguhnya
nilai positf yang diambil dalam pementasan “tarian hedung” dan “drama tonu
wujo” yakni menjaga, merawat keluhuran, kemuliaan, keagungan kebersamaan
kehidupan antar suku, masyarakat, agama , pemerintahan dalam berbangsa dan
bernegara. Menjaga dan merawatnya melalui perbuatan baik dalam kehidupan
bersama demi membiasakan hal-hal yang benar. Dengan demikian setiap bentuk
kelakuan individu dan atau kolektiv dalam kehidupan bermasyarakat, beragama,
berpemerintaha yang baik namun tidak membiasakan hal yang benar harus dengan
sadar dihentikan. Karena kebiasaan berbuat baik yang membenarkan kebiasaan yang
salah (seperti KKN, pembodohan, pemiskinan) senantiasa memungkinkan tumbuh dan
berkembangnya “benih” radikalisme . Karena KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme)
sesungguhnya menjadi sumber pembodohan dan pemiskinan suatu kehidupan komunitas
masyarakat, agama, bangsa yang memungkinkan tumbuh subur “benih” radikalisme.
KKN
yang menggelobal & melokal sesungguhnya dunia belantara kemunafikan
kapitalisme berselimut sosialisme, juga padang sabana keparisian sosialisme
berbaju kapitalisme. Ibarat kemunafiikan berkapitalisme itu sosok para ahli
taurat sedangkan keparisian bersosialisme itu sosok kaum parisi dalam gambaran
kitab suci. Masing-masing mereka “mentamengkan” kepentingan publik (rakyat)
sebagai alasan untuk membunuh Yesus Kristus, di saat Dia (Yesus Kristus)
menyuarakan kebenaran dan berbuat baik untuk kemuliaan dan keselamatan hidup
kehidupan rakyat. Karena masing-masing mereka berpradugasalah terhadap diri
Yesus Kristus yang menginginkan kekuasaan dunia. Tentu tidak diharapkan adanya
pradugasalah di antara oknum-oknum tertentu elit sosial, elit politik, elit
pemerintahan dalam kalkulasi kepentingan “dunia” mereka saat pegelaran setiap
pesta “budaya rakyat”. Pengutamaan kalkulasi “kepentingan dunia” di kalangan
oknum elit (sosial, politik, pemerintahan) senantiasa mengabaikan pengutamaan
pemahaman dan penghayatan akan nilai-nilai yang di kandung dan menjadi pesan
dalam suatu pentas budaya seperti “tarian hedung” dan “drama tonu wujo”.
Seandainya terjadi demikian, kasihan rakyat dengan “kemurnian hatinya &
kepolosan kehidupannya” berpesta budaya.***
Dataran
Opepoi, Kota Karang Kupang, Tanah Timor, Jumad 20 September 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar