Kamis, 09 April 2020

Kesakralan kesatriaan Pria (“Hedung”) dan kasih sayang Perempuan (“Tonuwujo”) meredam “Radikalisme”!


Oleh Chris Boro Tokan

Foto Ilustrasi : Tarian Liang dari Adonara
Pendahuluan
Awalnya, IDENTITAS ditegaskan dalam berbagai mitos yang magic-religius. Suatu model hidup purba yang dituangkan dalam Keyakinan (tertulis dalam nurani) dan dilaksanakan dalam ritus-ritus. Kemudian disyairkan para pujangga, diperdalam dalam diskusi dan melalui dialog filosofis. Belakangan diwariskan dalam formulasi ajaran agama yang didokumenkan (Kitab Suci). Ajaran Kitab Suci terdalami dalam kisah sejarah setiap umat manusia yang terus berdinamika melalui dialektika peradaban dan kebudayaan. Dialektika yang senantiasa mengguratkan kerinduan untuk menggamit keinginan setiap insan manusia mengkonfirmasi melalui Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (Iptek). Keinginan mempertanyakan masa lampau sebagai sebuah penegasan kembali identitas dan pernyataan eksistensi di tengah-tengah arus globalisasi informasi, tidak luput informasi global tentang sejarah peradaban dan kebudayaan. “Religio Omnium Sciantiarum Anima” (ROSA) semboyan dari St Thomas Aquinas bermakna “Agama adalah Jiwa dari Ilmu Pengetahuan”. Terumus dalam konteks kekinian dan akan datang menjadi: kedasyatan Keyakinan Bertradisi selaras keteguhan Iman Beragama menjadi jiwa Berilmu Pengetahuan dan Ketrampilan Berteknologi untuk semakin memanusiakan Manusia dalam pelestarian Alam Semesta.

Alam semesta sebagai makrokosmos, manusia sebagai mikrokosmis, yang dapat dikaji dalam hubungan sebab akibat, saling dialektik. Pengkajiannya tentu melalui kegiatan manusia: perenungan tentang keberadaannya dalam relasionalnya dengan sesama manusia dan alam semesta. Berproses pengetahuan manusia, termunculkan melalui kekuatan daya ingat, demi kemampuan berabstraksi, yang puncaknya bertrasendensi, yakni berTUHAN (ber ALLAH). Dengan demikian pengetahuan manusia didapatkan melalui daya ingat dan kemampuan berabstraksi, terbantu pula melalui perpustakaan dalam berbagai bentuknya. Karena perpustakaan itu sendiri sesungguhnya sisi lain keberadaan dunia ide dalam relevansi logis dengan gagasan Plato tentang setiap kehidupan nyata manusia adalah pengulangan saja dari dunia ide. Ide itu menurut Plato sesungguhnya sebagai suatu dunia yang sempurna dari alam sana (alam lain: alam jiwa, alam keilahian).

Dunia ide itu sesungguhnya sisi lain keberadaan Tuhan dalam diri manusia dan dalam alam raya, yang ditemukan manusia dalam kesadaran berpengetahuan (daya ingat), yakni anamese menurut filsuf Plato, kemampuan berdaya abstraksi menurut filsuf Aristoteles. Dengan perkataan lain terus bergumul dan mempertanyakan dalam diri dan berdialog dengan keadaan di luar diri. Bagi para filsuf melalui perenungan. Bergumul dalam doa dan puasa bagi orang-orang saleh. Bertapa dan mati raga bagi kaum mistikus. Tangguh dan sabar bagi rakyat kecil dalam riak kehidupan menghadapi kefasikan dunia. Melakukan observasi dan pengkajian melalui berbagai methode bagi kalangan ilmuwan. Tidak puas dengan hasil karya dan terus berusaha menyempurnahkan bagi para praktisi.

Kesatriaan kaum laki-laki (simbol “Hedung”)
Manusia mempersonifikasi Tuhan dalam Matahari-Bulan (Rera-Wulan), seperti orang adonara dan lamaholot umumnya di provinsi Nusa Tenggara Timur dalam ungkapan: “Ama Ata Rera Wulan - Ina Tua Tanah Ekan, Koda Ama Rera-Wulan kirin Ina Tanah Ekan”. Kemudian terjebak menyembah simbol (seperti Matahari-Bulan) sebagai Tuhan, Allah maka membuat murka Tuhan. Dalam arti simbol-simbol itu dihormati untuk membantu proses daya ingat dan membentuk proses abstaraksi kepada yang disembah yakni Allah, Tuhan. Karena hanya satu-satunya Tuhan, Allah yang disembah di muka bumi ini.

Murka Tuhan menghilangkan surga, taman firdaus secara ilahi dari kehidupan awal manusia menuju hilangnya surga secara nyata (tenggelamnya benua) melalui simbol konflik dua bersaudara (Kain vs Abel). Waktu itu Adam dan Eva lebih terjebak rayuan ular (simbol matahari) dari pada mendengar/ menyembah Allah dengan mentaati perintahNya. Begitupun si Kain anak sulung Adam dan Eva, lebih utama menyembah materi/hartanya untuk dirinya dan menomorduakan persembahan hartanya kepada Allah dibandingkan dengan adiknya Abel (bdk. Kejadian 4:3-16). Murka Tuhan menenggelamkan benua melalui mitos Penghacuran Benua oleh “Tombak Geografis Mistik” dan kibasan “Ekor Ikan Raksasa” (bdk. Stephen Oppenheimer. “EDEN IN THE EAST The Drowned Continent of Southeast Asia”, 1998. Penerjemah Iryani Syahrir, dkk. “EDEN IN THE EAST, SURGA DI TIMUR, Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara”. Jakarta-Ufuk Press, 2010. hal. 405-410).

Mitos tersebut dapat terkaji dalam tarian “Perang Tanding” bersenjatakan “Parang-Tombak” oleh orang Adonara khususnya dan mayarakat Lamaholot umumnyasebagai suatu kemampuan berabstraksi dalam atraksi bersenjata:
1.      TOMBAK menegaskan makna sesungguhnya mengenai anak-anak dari "Mannus", dari kata "Manu", sebutan Nabi Nuh untuk bangsa India dalam Rig Veda. Dalam bahasa Inggris menjadi Man=Manusia. Jerman: Mann. Bergabung dengan senjata yang paling sakral untuk berkuasa: Ger (TOMBAK), jadilah nama suku bangsa GERMAN (Padre Yoseph Muda. “Ata Lama Holot dalam Sorotan Budaya Dunia”. Yogyakarta-Kanisius, 2016. hal. 387). Melalui simbol “Tombak”, dapat tertelusuri si Hitler dengan gerakan Nazi Jerman (mewarisi Kakak) begitu semangat menghabisi orang-orang Israel (mewasisi Adik), sebagai pengulangan Konflik Dua Bersaudara. Kemudian kekalahan Jerman dalam Perang Dunia I (1914-1918) dengan sendirinya menghentikan kekejaman Nazi. Sekaligus mengakhiri jajahan Turki Ottoman (mewarisi Kakak) atas Israel (mewarisi “Poros”) selama empat abad (1517-1918), karena dalam Perang Dunia I, Turki berpihak kepada Jerman(bdk. Gary M.Burge. “Palestina Milik Siapa” (Judul asli: “Whose Land, Whose Promise?”. Jakarta: BPK GunungMulia, 2014, hal. 43- 45).
2.      PARANG/Kapak: tertelusuri menegaskan Manco Capac, keluarga raja Inka di Cina. Dalam bahasa Jepang bermakna Mata Merah, (mata yang berkuasa). Telusuran mendalam "Mata Ular Naga", karena Manco Kapak bermunculan dari dalam air danau Titikaka. Dengan demikian manco capac/PARANG/Kapak: sebagai simbol penegasan identitas manusia yang punya kekuasaan(berkapak/mempunyai parang), “manusia kapak” (Yoseph Muda. hal. 330, 368-369, 370). “Kenube” (Parang), “Soru” (Kapak) Tanah Ekan, sarana untuk terbelahnya gunung Surga oleh gunung Matahari (bdk. Bdk. Arysio Santos. “ATLANTIS The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato's Lost
Civilization” , 2005. Penerjemah Hikma Ubaidillah: “INDONESIA TERNYATA TEMPAT LAHIR PERADABAN
DUNIA”. Jakarta-Ufuk Press, 2009. hal. 500=503 ).
3.      Ikatan DAUN KELAPA (“Kenobo”) di kepala para penari “hedung”: menegaskan manusia-manusia asal MATAHARI terbit dan terbenam (Kepulauan SOLOR purba=Kepulauan MATAHARI, wilayah “Daratan Baru” dari benua Atlantis yang hilang). Seperti penjelasan Aryo Santos “Kedua tanduk atau bulu pada hiasan kepala bangsa Orang Laut pada akhirnya melambangkan dua Pilar Herkules. Dan, “matahari” yang bersinar di antara dua tanduk menyimbolkan letusan gunung api yang berapi-api, bersinar laksana bintang siang (hari) itu sendiri. Bangsa Orang Laut lainnya (Peleshet atau Palestina) memakai hiasan kepala dengan bulu-bulu besar yang simbolismenya lagi-lagi persis sama. Bulu-bulu penuh warna yang mereka pakai dengan gamblang menggambarkan letusan vulkanis raksasa dan bulu (asap) berapinya. ... Pastilah lebih dari sekedar kebetulan bahwa sebagian dewa bangsa Mesir seperti Bes juga menggunakan hiasan kepala berbulu. Dan Bes dianggap berasal dari Punt, Pulau-pulau yang Terberkati versi Mesir, yang didiami para pahlawan dan para Firaun setelah kematiannya. Bangsa Orang Laut juga mencakup bangsa Teresh (atau Tursha atau Tyrshenoi atau Tyrrhenya), yaitu bangsa Ertruria. ... Fakta ini mengungkapkan hubungan dengan Hindia Timur dan bangsa Dravida, sebagaimana diungkap oleh bahasa Dravida yang mereka gunakan”(hal. 656-657).

Dengan demikian TARIAN HEDUNG bukan hanya sekedar sebuah tarian, namun memiliki makna yang mendalam tentang PENEGASAN sebuah INDETITAS (jati diri) dan PERNYATAAN sebuah EKSISTENSI (keberadaan) dari “ATA DIKEN” Adonara khususnya dan suku bangsa LAMAHOLOT umumnya. Mitos penghancuran benua yang hilang, antara lain melalui senjata geografis TOMBAK (TOMBAK sebagai senjata geografis) terjelaskan secara akademis sebagai bencana vulkanik/letusan gunung di daratan (“dulhi/kiwan”). Sedangkan bencana vulkanik lautan melalui EKOR IKAN RAKSASA yang menhancurkan pantai (“watan”) BENUA YANG HILANG, sebagai bencana di dalam laut/di dalam air sebagai simbol parang geografis, kapak. Kedua jenis bencana ini yang menghancurkan benua ATLANTIS, memunculkan listofer (daratan baru) yang sekarang membentuk KEPULAUAN MATAHARI (Solor) Purba: Nusa Tenggara (minus Bali), Sulawesi, Maluku, Kepulauan Filipina, berbagai Kepulauan di Pasifik, Mada Gaskar, Selandia Baru (bdk. bdk. Arysio Santos, hal. 256).

Kasih Sayang Seorang Perempuan (simbol “Tonu Wujo”)
Kisah terpurba tentang kasih sayang seorang perempuan (keibuan) dalam sosok Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon.Satu-satunya perempuan yang bersaudarakan laki-laki tujuh orang, kehabisan buah-buahan sebagai satu-satunya jenis makanan mereka saat itu. Dalam kehabisan/ketiadaan buah-buahan, tiba-tiba saat tengah malam ada suara yang terdengar dari langit. Suara itu memerintahkan untuk mereka mengorbankan satu-satunya saudari perempuan mereka, demi tumbuh berbagai pohon dengan berjenis-jenis buahnya sebagai makanan mereka yang baru dan tidak akan habis. Ketujuh saudara itu menjalankan perintah dari langit, dengan mengorbankan/membunuh saudarinya. Lalu sekejap muncul berbagai pohon dan berjenis-jenis buahnya yang menjadi makanan mereka.

Kini kisah itu menjadi warisah ceritra mistik bagi para turunan yang meyakininya yang kini tersebar di Pulau Adonara dan Pulau Flores wilayah Timur bagian Tanjung Bunga. Karena meyakini maka di wilayah ini mereka mengetahui letak kerangka tulang si perempuan yang telah dikurbankan itu. Ujung kisah ini bahwa suatu saat karena terlalu melimpah makanan buah-buahan, mereka mengumpulkan yang tidak dapat dimakan lalu membakar seluruhnya sampai hangus, yang tersisakan kini dikenal dengan sebutan Nuha Mas (Pulau Emas). Nuha Mas terletak di antara selat yang memisahkan Pulau Adonara dengan Pulau Flores bagian Timur, wilayah Tanjung Bunga. Kisah ini sedikitnya mengingatkan akan makanan pokok dalam kehidupan di Taman Firdaus yakni Allah membolehkan Adam dan Eva sebagai sepasang manusia nyata awal, memakan buah apa saja yang ada di taman itu, namun buah dari pohon yang tumbuh di tengah-tengah taman itu, tidak boleh kamu makan (Kejadian 2:16-17 ).

Pengulangan kisah terpurba itu seperti ditunjukan Karl-Heins Kohl dalam karya-nya “Der Tod der Reisjungfrau, Mythen, Kulte und Alianzen in einer Ostindonesischen Lokalkultur”, di Indonesiakan oleh Paul Sabon Nama “RARAN TONU WUJO Aspek-Aspek Inti Sebuah Budaya Lokal di Flores Timur” (2009), yang terinspirasi dari Ernst Vater dengan “Ata Kiwan” 1932. Bahwa melalui dewi padi di seluruh pulau Flores, antara lain dalam mitos Raran Tonu Wujo, tentang asal mula Padi sebagai pohon kehidupan di wilayah Lewo Lema, Tanjung Bunga, Flores Timur. Kisah bermula dari pengurbanan seorang gadis yang bernama lengkap Tonu Wujo Nogo Gunu Ema Hingi. Juga P. Saren Orin Baotentang Tata berladang tradisional dan pertanian rasional suku bangsa Lio, 1992, menunjuk asal-usul padi di sebuah kampong Titi Poi Mage Lio, melalui mitos tentang pembunuhan seorang gadis padi yang semi ilahi, yang dihormati dalam berbagai upacara agraris dan dalam tradisi lisan dikenal sebagai Ine Pare. Berikut Adolf Ellegard Jensendalam “Mythos und Kult bei Naturvolken, Religionwissenschaftliche Betrachtungen, Wiesbaden” 1951, menunjuk di pulau Seram, Maluku mengenai mitos Hainuweleyang berkisah tentang pembunuhan ritual seorang gadis ilahi. Jasad gadis itu dipotong oleh ayahnya dan dikuburkan beberapa tempat di dalam tanah, yang kemudian menjadi buah umbi yang tumbuh ketika itu (bdk Karl-Heins Kohl, hal. 307-358).

Kaitan ”Sabu Tana Tukan-Tukan Tena Lolon ” di Pulau Adonara dalam replikanya dengan “Tuno Wujo” di Lewo Lema, Flores Timur Daratan, “Ina Pare” di Ende Lio, khusus menyebut tanaman Padi. Sedangkan ubi-ubian dalam kisah “Hainuwele” di Seram-Gorum, dengan kiasan untuk surga atalantis yang hilang dikenal dengan Taman Hesperides (atau Atlantides). Hesperides sesungguhnya bermakna taman yang memiliki dua perairan dari bahasa Dravida yang merujuk makna kata dvipa=dvi-ap, berarti memiliki air di kedua sisi (Arysio Santos, hal 22-23). Tercermati makna dua perairan dari kata dvipa=dvi-ap (bahasa Dravida) itu merujuk kepada perairan samudra Pasifik menunjuk wilayah Timur yakni Seram-Gorum (Maluku) dengan samudra Hindia mengacu kepada wilayah Barat yakni Flores Timur (Nusa Tenggara Timur). Dua perairan yang menjadi gerbang masuk dari Timur menuju Barat atau dari Barat menuju Timur. Gerbang masuk, oleh Plato menegaskan sebagai salah satu indikator geografis terletak benua Atlantis yang hilang. Merujuk keyakinan Buddha Amitabha menandaskan bahwa itu wilayah sesungguhnya Surga Buddha tempat Matahari Terbit, yakni di Barat(bdk Arysio Santos, hal. 36).

Dapat termaklumi bahwa Barat yang dimaksudkan sebagai tempat Surga Budha itu, sesungguhnya Barat Terjauh (Kepulauan Nusa Tenggara Timur) dengan Lautan Sawu terusan ke Samudera Hindia. Di situ juga Timur Terjauh (Kepulauan Maluku) dengan Lautan Banda terusan ke Samudera Pasifik. Kedua wialayah ini terletak pada poros bumi, dua ujung terjauh dunia bertemu: yakni “penyatuan ujung Timur dan ujung Barat dari Bumi”. Timur Terjauh dan Barat Terjauh menunjuk kepada satu wilayah/ satu lokasi dalam pengertian purba. Mengingat Bumi berbentuk bulat, sehingga ujung Timur Terjauh dan ujung Barat Terjauh itu menyatu menjadi satu tempat/satu wilayah (Arysio Santos, hal.27-28). Wilayah itu adalah terbit dan terbenamnya Matahari, lokasi surga empirik yang hilang, tempat Taman Eden, Kebun Firdaus yang hilang. Timur Terjauh menjadi wilayah kepulauan Maluku penghasil rempah-rempah (Cengkeh dan Pala), komoditi yang tidak ada duanya di bumi. Barat Terjauh dalam hal ini Nusa Tenggara Timur wilayah penghasil Kayu Cendana yang kualitas kewangiannya sampai kekinian tidak tertandingi di dunia. Wilayah penghasil rempah-rempah dan bahan wewangian antara lain menjadi bagian fakta flora penegasan gagasan Plato tentang ciri Benua Atlantis yang Hilang (bdk Arysio Santos,hal. 134).

Lokasi “Barat terjauh-Timur Terjauh” menyatu menjadi satu tempat/satu wilayah (Arysio Santos, hal.27-28). Wilayah itu adalah terbit dan terbenamnya Matahari, lokasi surga empirik yang hilang, tempat Taman Eden, Kebun Firdaus yang hilang, yakni “Poros” makna tersirat dalam penyebutan nama “Sabu Tanah Tukan-Tukan Tena Lolon”. Tertelusuri “Sabu Tana Tukan” bermakna “terhampar (tertabur) ditengah-tengah Tanah (daratan)”, “Tukan Tena Lolon” bermakna “tertabur di atas tengah-tengah perahu (air)”. Bermakna seorang gadis yang dikurbankan darahnya di atas poros bumi dan air (“poros dunia”), bertumbuh menjadi pohon yang berbuah untuk makanan ke 7 saudara laki-lakinya bdk. https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/sabu-tana-tukan-tukan-tena-lolon-taman-surga-eva-ewa-newa-nuha-wato-peni-bunda-m/1840598706004701/.
Kisah “Tonuwijo” (“Tonu Wujo Nogo Gunu Ema Hingi”) sesugguhnya penegasan “pengulangan” filosofi kisah “Sabu” (“Sabu Tanah Tukan, Tukan Tena Lolon”) yang memulai era baru dengan “pemulihan hidup” dan “pemurnian kehidupan” yang ternoda dalam “taman surga” (mengakhiri era “kanibalisme” karena kesulitan makanan). Dalam makna geografis “hilangnya taman surga” melalui tenggelamnya benua Atalntis, yakni peristiwa geologis terbelahnya gunung Surga (“woka Sanga Burak-Ile Tobang Dua”)oleh gunung Matahari (“woka Bolen-Ile Hadung”).

Berikut kisah “Ema Hingi Lama Doan-Tuto Heri Kehin” disingkat “Ema-Hingi” atau “Hingi-Tuto” sangat tersamar, senantiasa sebagai “sepasang putri gaib kanibal” terhadap setiap orang “berdosa”. Kisah yang terwaris dari leluhur “Lega-Key”, yakni Lega dan Key dengan turunan dikenal “gawe-balik” dari “timur” (Seram-Gorom) menempati wilayah purba“Hinga Nara 0”, awalnya menunjuk kediaman purba “Kia Lali Tokan” putra “Pati Golo Ara Kia-Kia Ile Lolon”. Leluhur Key yang mendiami wilayah selatan agak ke timur memberikan kedua gadis itu atas permintaan Lega yang mendiami wilayah utara agak ke barat. Tertelusuri dari nama “Ema Hingi Lama Doan” bermakna tersurat “Bunda perantara tempat yang jauh”, “Tuto Heri Kehin” bermakna tersurat “kisah penadah, penampung sabda”.
Ujung dari sosok wanita yang menegaskan kehadiran Bunda Maria 2000 lebih tahun lalu di Israel, adalah sosok misteri patung Renya Rosary di Larantuka sekitar awal abad ke 16 (tahun 1510). Sebelum kehadiran misionaris Portugis Pastor Manuel de Kagas yang memastikan itu patung Bunda Maria (tahun 1617), maka Raja Larantuka dengan rakyatnya menyebut “Tonuwidjo” sebagai “ibu padi”, “Ibu Kelimpahan”, “Ibu Kesuburan” di bidang pertanian (“Tonu Wujo”) bdk. https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/menelusuri-maria-mesias-dari-nini-ke-sode-dalam-berero-berero-soru-wada-gikato-s/2078723532192216/? .
Ketunggalan Budaya meredam “Radikalisme”
Tercermati Samuel P. Huntington dalam “The Clash of Civilization and The Remaking of the World Order”, “Benturan Antar Peradaban dan Masa Depan Politik Dunia”. Benturan peradaban atau clash of civilizations adalah teori bahwa identitasbudaya dan agama seseorang akan menjadi sumber konflik utama di dunia pasca-Perang Dingin. Teori ini dipaparkan oleh ilmuwan politik Samuel P. Huntington dalam pidatonya tahun 1992. di American Enterprise Institute, lalu dikembangkan dalam artikel Foreign Affairs tahun 1993 berjudul "The Clash of Civilizations?",[2]sebagai tanggapan atas buku karya mahasiswanya, Francis Fukuyama, berjudul The End of History and the Last Man(1992). Huntington kemudian mengembangkan tesisnya dalam buku The Clash of Civilizations and the Remaking of World Order (1996).
“Radikalisme” dalam isyarat Huntington sebagai “benturan peradaban” (“clash of civilizations”) sesungguhnya dapat terminimalisir melalui “keanekaragaman budaya” dan “agama” dalam pemahaman sesungguhnya tentang “ketunggalan budaya” yang “asali”. Relatif dalam kehidupan suku bangsa Lamaholot di provinsi Nusa Tenggara Timur telah menunjukan dengan baik kebersamaan “ketunggalan budaya” yang “asali” dalam kebersamaan keanekaragaman hidup beragama. Hal itu sadar atau tidak sadar karena sebagian besar umat beragama (Katolik-Islam) sering penganutnya dalam sebuah komunitas suku dan terjadi kawin-mawin. Lebih dari itu setiap insan manusia Lamaholot mepunyai satu keyakinan nilai “Lewo Tanah”: “Rerawulan/Koten-Tanahekan/Lein” (Vertikal) berdialektik dengan “Ata Diken: Ama Lake/Taran Wana-Ina Wae/Taran Neki” (Horisontal). Keyakinan “Lewo Tanah” tercermati melalui pendapat Arysio Santos sebagai “Salib Atlantis”, “Kosmogram Atlantis”, mengelaborasi pendapat filsuf Plato tentang “Tata Peradaban masyarakat sipil yang sangat tinggi sebagai ibu kandung peradaban dunia” (Arysio Santos, hal. 183-203 ).

Nampaknya Sang Guru Ilahi (YESUS KRISTUS) mempunyai pandangan bahwa “Dia sendiri yang menjadi pusat tempat suci” dalam “Perjanjian Baru”. Sepertinya “Tanah”, tujuan dari “Perjanjian Lama” adalah “tanah perjanjian”: “Yerusalem Lama” itu “ditiadakan” oleh Yesus. Kekinian dan akan datang, tujuan (“jalan”, “terang”, ”api”) bdk. Yohanes 8: 12-20, “ape rera” (“taran neki”, “rie hiku lima neki”), “Timur” dan tanah (“air”) bdk. Yohanes 4:6-14 , “helan wai” (“taran wanan”, “rie hiku lima wanan”), “Barat” dalam “Koda Lewotanah”, senantiasa dalamdiri pribadi Yesus Kristus. Baik Timur dan Barat itu pada (“diri”: “Atan Dike Da’a”) Yesus Kristus, sebagai tanah “Perjanjian Baru”, (“Kerajaan 1000 Tahun/Zaman Akhir” & kelak “Yerusalem Baru-Lewotanah Baru/Akhir Zaman”), “Uma Tukan Wai Matan-Karo Puken” menurut “Koda Lewotanah”, yakni “Poros” bermakna “sumber Air kehidupan” (bdk. Yohanes 7:37-44, bdk. Kitab Wahyu 21:6, 22:1, 17) dan “Pohon Kehidupan” (bdk. Kitab Wahyu 22:2, 19). Karena itu “Bait Allah” di Yerusalem nilainya turun dibandingkan dengan “Yesus” (“Sang Guru Ilahi”), yang tubuh-Nya adalah “bait suci” itu sendiri (Yohanes 2: 21-22), yakni yang “Awal“ dan “Akhir”, “Alpha-Omega” (bdk. Kitab Wahyu 21:6-7), “Asa-Usu” dalam kehakikian pemahaman “Koda Lewo Tanah”.

Sesungguhnya semua Manusia di bumi ini berasal dari Satu dari yang Esa itu (satu kosong/0 yang "menetaskan"). Terjelaskan dalam berbagai bahasa tradisi, keyakinan budaya, filsafat, dan firman dari setiap agama, terkonform dalam perkembangan ilmu pengetahuan ! Keyakinan suku bangsa Lamaholot di prov NTT yang mentradisi dengan "LewoTanah" terpahamami melalui setiap diri manusia Lamaholot. Bahwa sesunggunya dalam diri, pribadi “Ata Diken” (“Anak Manusia”) mengalir sekian aliran darah leluhur dari generasi ke generasi yang berujung setiap raga kekinian, terwariskan dari keyakinan leluhur yang mentradisi: "Lewotanah!".
Kajian tentang Lewotanah sebagai kedasyatan keyakinan yang mentradisi, dan sesungguhnya keyakinan di “Dataran Poros” (“Ua’ken Tukan Wai Matan Karo Puken”: Nusa Tenggara Timur - Maluku ) dunia dapat terpahami melalui kajianF.A.E. van Wouden (“Sociale Structuurtypen in de Groote Oost”.1935. Diindonesiakan Grafiti Pers. “KLEN, MITOS, DAN KEKUASAAN, Struktur Sosial Indonesia Bagian Timur”. Jakarta- Grafiti Pers. 1985.) dalam relevansi logisnya yang mengemukakan konsep Dualisme Komsos dan konsep Dualisme Sosial sebagai konsep Kelangitan (Laki-laki)yang vertikal saling memotong dengan Konsep Kebumian (Perempuan) yang horizontal, membentuk Salib, sehinnga terjadi perkawinan cross cousin ("kemeta aken geto") dari generasi ke generasi (bdk. hal. 82-159).

Simbol “Salib Atlantis” (“Kosmogram Atlantis”) dalam petunjuk “Koda” Lamaholot dikenal dengan “Lewo Tanah”, termaktub antara lain ritus-ritus yang dalam “tanda petik” sering juga disiniskan sebagai “Kafir” (“Ata Kiwan”) bdk Ernst Vatter. “Ata Kiwan”, Bibiliographisches Institut Ag/Leipzig, 1932. Penerjemah Ny. S.D. Syah. “Ata Kiwan”. Ende-Nusa Indah, 1984. Semuanya di elaborasi secara sistematis oleh Paul Arndt. “Religion auf Ostflores, Adonare und Solor”,1951. Penerjemah Paul Sabon Nama. “Agama Asli Di Kepulauan Solor”, Seri Etnologi Candraditya, No.4. Puslit Candraditya-Maumere, Flores, Cet. Ke- 2, 2009. “Falsafah dan Aktivitas Hidup Manusia di Kepulauan Solor”,Seri Etnologi Candraditya, No. 5. Puslit Candraditya-Maumere, Flores, Cet. Ke- 1, 2003.

Dari dataran Poros (“Ua’ken Tukan Wai Matan Karo Puken”: Nusa Tenggara Timur - Maluku) dunia (kelak membagi ke Timur dunia/dataran Sahul: kep Aru dan Papua dan ke Barat dunia/dataran Sunda: jawa purba mencakup jawa-kalimantan-sumatra) dalam kaitan flora-fauna melalui pembuktian garis wallacea-Weber, yang diperbaiki dengan garis Thomas Huxley menambah dataran Filipina. Dalam kaitan manusia (Ata Diken) sangat berhubungan tatanan "Lewotanah" sesungguhnya substansi "Surga di Timur" menurut Stephen Oppenheimer("Eden is the East") yang membuktikan antara lain dengan penyebaran Manusia awal di dunia (“EDEN IN THE EAST The Drowned Continent of Southeast Asia”, 1998. Penerjemah Iryani Syahrir, dkk. “EDEN IN THE EAST, SURGA DI TIMUR, Benua yang Tenggelam di Asia Tenggara”. Jakarta-Ufuk Press, 2010).

Oppenheimer membuktikan penyebaran manusia AWAL dari wilayah Poros (Nusa Tenggara-Maluku) itu melalui kajian GEN orang Asli ((bab 2 hal. 53-96) dan penyebaran Bahasa Austronesia sebagai sumber Asli berbagai Bahasa di Dunia bab 5 hal. 191-244) ke Timur, Barat, Utara, selatan. Sedangkan Aryo Santos menyebut "Salib Atlantis", "Kosmogram Atlantis", dengan mengelaborasi pendapat filsuf Plato mengenai "Tata peradaban masyarakat sipil yang tinggi, sesungguhnya ibu kandung peradaban dunia" (“ATLANTIS The Lost Continent Finally Found, The Definitive Localization of Plato's Lost Civilization” , 2005. Penerjemah Hikma Ubaidillah: “INDONESIA TERNYATA TEMPAT LAHIR PERADABANDUNIA”. Jakarta-Ufuk Press, 2009) bdk. hal. 163-278.

Semuanya tentang Lewotanah (replika Salib Atlantis & Kosmogram Atlantis) terwariskan melalui mitos-mitos yang mentradisi kepada setiap turunan, yang sesungguhnya berkembang menjadi sumber keyakinan dunia melalui ajaran Hindu/India, Ra/Mesir, Budha: Yin-Yan/Cina sekitar 12- 11 ribu tahun lalu. Berujung kepada “Dua Loh Batu” Musa/Israel skitar 7- 6 ribu tahun lalu . Kemudian terdalami secara filsafat di Yunani sekitar 3 ribu tahun lalu, dan berkembang ke Barat menjadi filsafat barat/Roma dan 2000 tahun lalu menjadi Salib Kristus (replika Salib Atlantis), ke Timur menjadi filsafat timur/Arab dan 1500 tahun lalu menjadi Bulan Bintang (replika Kosmogram Atlantis). Dalam akhir abad 17-18 berkembang dalam ilmu pengetahuan. Pertengahan abad 20 (1945) terumuskan dalam Pancasila.

Salib Atlants, Kosmogram Atlantis, Lewotanah sesungguhnya Pancasila Lamaholot terpahami melalui Ketuhanan (sila 1)supaya semakin nyata berwujud dalam makna kemanusiaan (sila 2), peradaban, vertikal. Keadilan sosial (sila 5) senantiasa semakin nyata tercapai dalam kerakyatan yang berdemokrasi (sila 4), kebudayaan, horisontal. Saling dialektik terintegralistik (Persatuan) supaya sinergik (sila 3): CintaKasih, sebagai poros salib!!!, Allah Tri Tunggal maha pencipta, penguasa, pelindung, pengasih makrokosmos-miskrokosmos (alam semesta-manusia). Cross alam semesta (makrokosmos) vertikal dengan manusia (mikrokosmis) horisontal: SALIB!!! Salib hidup kehidupan !

Adat, Agama, Ilmu Pengetahuan
Adat, Agama, Ilmu Pengtehuan teknologi: "ua'ken telo ka'han ehan"!, menjadi sosok "Atadiken" kekinian ("Hanya Atadiken sesungguhnya kekinian yang menyadari dan memahami", sehingga menjaga dan merawat diri untuk "tidak terjebak setan dan tidak teperangkap iblis")!
... dan akan datang dalam "one ehan-kirin tou" yang menjadi "Satu-satu-Nya" mutlak benar "ATAN DIKEN DA'A"!, "YESUS KRISTUS ISA AL MASEH!" dalam "Kerajaan 1000 Tahun BAPA" jadi NYATA di Bumi. Maka "Atan Diken yang sesungguhnya" itu berziarah, bergumul dalam "diken da'an" di bumi ini untuk menjadi terang "ATAN DIKEN DA'AN"! bdk. Matius 8:18-20.

“Ata Diken” menumbuhkan kembali “daya ingat” (“o’nem peten pe’nuket ni’u nimun naman”) untuk “kekuatan berabstraksi” (“u’hun nem nuku hu’kut hipuk a’tenem tuka”). ... "uaken telo ka'han ehan" naku "one ehan-kirin tou" ! "Berziarah menegakan kebenaran melalui pergumulan perbuatan kebaikan", "Pelate Ape Rere Gike Sili Lia MEAN-Geleten Helan Wai Geraran Keru Baki BURAN"! Seperti ATAN DIKEN DA'AN yakni YESUS KRISTUS menegaskan dalam Injil Matius 5:45 “Karena dengan demikianlah kamu menjadi anak-anak Bapamu yang di sorga, yang menerbitkan matahari bagi orang yang jahat dan orang yang baik dan menurunkan hujan bagi orang yang benar dan orang yang tidak benar” !
“Pelate ape rera, Geleten helan wai” menjadi “kasih sejati”; “soron hode” dalam berlewotanah sesuai spirit injil Matius 5:45, sesungguhnya menjadi “sangat magis” (“gike sili lia mean”), kekuatan kebenaran, kesatriaan dan “sangat sakral” (“geraran keru baki buran”), keluhuran kebaikan, kesucian. Karena “pelate ape rera, gike sili li mean membuat seseorang kokoh, tangguh, kuat, dasyat (“tuben ne me’kah”) untuk berbuat kebaikan, kelembutan hatinya (“kirin senaren”) dalam hidup kehidupannya. Sedangkan “geleten helan wai” menjadikan seseorang selamat, mulia, agung (“niu’ken niu”) karena keteguhan sikap terhadap kebenaran (“koda’n muren”) dalam penziarahan kehidupannya. Namun sebaliknya apabila “koda’n nalan” (“bersikukuh dalam ketidakbenaran”) maka “geleten helan wai” dengan kesakralannya (“geraran keru baki buran”) membekukan alirah darah kehidupannya (“niu’ke mata’na uhun’ne bolak’ka”). Bertahan dalam ketidakbaikan (“kirin daten”) maka “pelate ape rera” dengan kemagisan (“gike sili lia mean”) menghanguskan aliran darah kehidupannya (“tuben ne me’keh, aten putuk’kah”).
Menelusuri kehakikian kisah Parang, Kapak(“soru wada”) dengan sosok “Sabu” dan sosok “Tonu Wujo” dalam diri “Maria” dan “Yesus” sebagai “Mesias”, dapat tertelusuri melalui kepelikan pemahaman terhdap “misteri” kedatangan “mesias” ke bumi. Tertelusuri bahwa “Mesias” datang ke dunia sebagai Anak Manusia “terurapi” dalam penglihatan nabi Daniel 2500 tahun lalu, yakni terkurbankan “darah dan nyawa” seorang anak manusia ilahi tidak bersalah (Daniel 9:24-26). Penglihatan nabi Daniel menyata dalam diri Yesus 2000 tahun lalu (bdk. Mateus 27: 45-51). Sesungguhnya sebelumnya dalam pencobaan Abraham si Bapa Bangsa untuk “pengurbananan” diri “Ishak” putratunggalnya (bdk. Kejadian 22: 1-19). Pencobaan itu, merupakan pengulangan pengorbanan yang dulu terpurba telah dilakukan si gadis (seorang perawan) yakni “Sabu” (“Sabu Tanah Tukan, Tukan Tena Lolon”). Pengorbanan diri seorang perempuan (gadis) secara “tersirat” tertelusuri dalam Kitab Suci, sesungguhnya bermula dari akibat dosa Eva dalam memakan buah terlarang di taman surga (bdk. Kejadian 3:1-24), taman kehidupan gaib. Dosa Eva itu mengakibat hilangnya keilahian (kegaiban) kehidupan, yakni terusir dari kehidupan gaib (surga) untuk hidup di dunia nyata (bumi). Untuk pemulihan hidup pemurnian kehidupan di alam nyata, maka menjadi terpahami pengurbanan diri “Sabu”.

Pengurbanan diri “Sabu” yang mengulang melalui sosok “Tonu Wujo” terpahami tersirat dalam diri “Maria” yang dipimjam darah dan rahimnya oleh Yesusuntuk datang ke bumi sebagai “mesias” 2000 lebih tahun lalu dan mengurbankan “darah” dan “nyawa”-Nya di kayu salib. Pengurbanan “Sode”dalam simbol warisan “bulu badan, kuku tangan dan kaki” untuk dipinjamkan “kapak mistis” dalam tragedi “bolen me’tan” terpahami melalui kedatangan “mesias” memulai hari keilahian 3 (bdk. Korintus 15:20-26; bdk. Matius 16:21, 17:22-23, 20:17-19; bdk. Lukas 9:22, ), “kerajaan 1000 tahun keduniaan” (bdk. Kitab Wahyu 20: 1-6). Mesias datang menunggang kuda putih dan keluar pedang tajam dari mulut-Nya untuk memukul segala bangsa (bdk. Kitab Wahyu 19: 11-16). “Pedang” yang keluar dari mulut-Nya ini sesungguhnya replika senjata mistis “soru” yang digunakan untuk pembelahan gunung surga oleh gunung matahari, juga yang dipinjamkan saat mengatasi tragedi “bolen me’tan”.

“Pedang tajam” replika dari “Kapak mistis” (“soru wada”) yang keluar dari mulut, sesungguhnya simbol dari “Sabda” , “Koda”: (“Koda 10-kirin 5”) sesungguhnya diri ilahi “Mesias” dalam raga “Yesus Kristus” datang ke dunia dengan meminjam darah, rahim, kedagingan “Maria”. Sosok “Maria” sendiri merupakan replika dari sosok “Nini”, “Sabu” dan “Sode”, juga “Tonu Wujo”, “Ine Pare”, “Hainuwele”. Seperti sosok “Sabu” yakni “” mnggambarkan kesempurnaan (10) diri sebagai poros bumi (“Tanah-Air”), dari namanya “Tana Tuka” (5)-Tuka Tena Lolon (5). Kesempurnaan ini mengulang dalam sosok “Sode” melalui warisan seluruh “Bulu Badan” dan “kuku kaki-tangan” (10), masing-masing pasangan “kuku kaki” (5)-“kuku tangan” (5). Se.dangkan sosok kesempurnaan (10) “Edo” dalam kedasyatan ketahanan diri seorang diri dari bencana tenggelamnya benua, yang terulang dalam diri “Sedo-Barek” sosok penghuni-penunggu “Batu Karang” bdk. https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/menelusuri-maria-mesias-dari-nini-ke-sode-dalam-berero-berero-soru-wada-gikato-s/2078723532192216/?.
Dengan demikian "Ata Diken sesungguhnya", maka sesungguhnya tidak boleh mempertentangkan kedasyatan keyakinan tradisi terhadap “Lewo Tanah”, “Eken Matan Pito-Nuba” (sebagai simbol tombak “mistik” geografis) dengan keteguhan iman kepada “Yesus Kristus”, ” Isa Al Maseh” sebagai “Batu Penjuru”. Perlu penegasan bahwa keyakinan tradisi itu sebatas “penghormatan” untuk meneguhkan kaum beriman, umat, setiap “Atadiken sesungguhnya” untuk fokus kepada “penyembahan Allah yang Esa” melalui Putra Tunggal-Nya Yesus Kristus, Isa Al Maseh. Seperti perintah Allah kepada nabi Musa untuk menolong umat Israel dari sengtan ular berbisa sebagai jalan antara untuk bertobat, foKus menyembah kepada Allah yang Esa demi keselamatan mereka (Bilangan 21:4-9); Maka berfirmanlah TUHAN kepada Musa: "Buatlah ular tedung dan taruhlah itu pada sebuah tiang; maka setiap orang yang terpagut, jika ia melihatnya, akan tetap hidup". Sedangkan Yohanes 3:14, 15 menegaskan: “Dan sama seperti Musa meninggikan ular di padang gurun, demikian juga Anak Manusia harus ditinggikan, supaya setiap orang yang percaya kepada-Nya beroleh hidup yang kekal” bdk. https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/gada-besi-dalam-kitab-suci-gala-rera-wulan-eken-matan-pito-ilen-boleng-kara-nisa/2406987922699107/.

Penutup
"ATA DIKEN sesungguhnya"! dalam ziarah hidup dan pergumulan kehidupannya di bumi senantiasa menumbuhkan dan merawat "kedasayatan keyakinan bertradisi diteguhkan iman beragama sesungguhnya jiwa berilmupengetahuan dan ketrampilan bertenologi" untuk "kelestarian alam semesta" demi menyelamatkan "kemanusiaan manusia" ! Semuanya dapat diperoleh dan tetap termiliki melalui menumbuhkan dan merawat “daya ingat” untuk tetap “hidup” dalam “kebenaran” dengan selalu “berdoa, berpuasa, bertobat (“hidup baru”)”. Supaya berkemampuan membangun “daya abstraksi” melalui setiap perbuatan “kebaikan” dalam kehidupan sehari-hari. Berdoa melalui simbol “lodang” (“kontas, Rosario, tasbih”) khususnya untuk “bersyukur dan berterimakasih” dengan menghormati hari ke 7 sebagai hari Tuhan seperti antara lain tercermarti dalam makna tersirat kisah masing-masing gadis dalam mitos mengenai “Tuto” di Lamaholot bdk. . https://www.facebook.com/notes/pino-rokan/menelusuri-maria-mesias-dari-nini-ke-sode-dalam-berero-berero-soru-wada-gikato-s/2078723532192216/?. .
Menumbuhkan dan merawat “daya ingat” untuk tetap “hidup” dalam “kebenaran” antara lain melalui pertunjukan tarian “hedung”. Aspek nilai tarian “hedung” yakni kesatriaan kaum pria memperjuangkan dan mempetahankan kebenaran yang diyakini sebagai kemuliaan hidup kehidupa sebuah keluarga, komnitas dengan pertaruhan nyawa. Tercermati bahwa “perang tanding” dalam simbol tarian “hedung”, sejatinya berawal dari membela “kehormatan perempuan” secara langsung, maupun tidak langsung seperti “soal tanah” yang melambangkan sosok perempuan. Sedangkan “Tonu Wujo” dalam tarian, teater mengandung nilai kasih sayang seorang perempuan (“keibuan”) yakni berbuat kebaikan untuk keselamatan keluarga, komunitas. Menggugah setiap insan untuk mampu membangun “daya abstraksi” untuk tetap mempertahankan hidup kehidupan suatu komunitas dengan berbuat baik dalam membiasakan hal-hal yang benar, walaupun nyawa menjadi taruhan.

Merawat “daya ingat” untuk membangun “daya abstraksi” antara lain melalui “tarian hedung” dan “drama tonuwujo” sesungguhnya menegaskan Koda Lamaholot tentang “Kramek Ola Ama-Kmea Ola Ina” yakni “sumber kemuliaan, keagungan, keadilan”. Terpahami “Ola”, “Allah” (“0”) dalam bahasa Inggris “All” bermakna “Semua”, bdk. Daniel 2:47: Berkatalah raja (Nebukadnezar) kepada Daniel: "sesungguhnyalah, Allahmu itu Allah yang mengatasi segala allah dan yang berkuasa atas segala raja, dan Yang menyingkapkan rahasia-rahasia, sebab engkau telah dapat menyingkapkan rahasia itu”. Bdk. Surat Paulus kepada Umat di Korintus 15:28: “… ,supaya Allah menjadi semua di dalam semua”. Tercermati dalam koda lamaholot: “Kra'mek Ola Ama-K'mea Ola Ina”, bermakna Sumber keluhuran, kemuliaan, kesatriaan, keagungan tergambarkan dalam “keberanian”, “keperkasaan” (“kra'mek, kra'ma”) dan Induk (“sumber”) keadilan, kebenaran terlambangkan dalam warna “merah” (“k'mea, me'an”).
“Ile” dalam bahasa Solor (Lamaholot) bermakna “Gunung”, “Pilar”, “Gunung Batu-Ku“, tersirat bermakna juga “keilahian”, “kekuatan”, bdk. Samuel: 22:47: “Tuhan hidup! Terpujilah Gunung Batu-ku, dan ditinggikanlah kiranya Allah Gunung Batu keselamatanku”. Penamaan “Ola Ile” yang berdiam di gunung Boleng di Pulau Adonara bermakna “Allah Yang Ilahi”, “Allah Gunung Batu keselamatanku”, Tuhan Gunung Batu-ku.

Mengetahui, menghayati, mengamalkan nilai-nilai yang terkandung dalam “tarian hedung” dan “drama tonuwujo” senantiasa meredam “radikalisme” dalam kehidupan bermasyarakat, beragama, berpemerintahan, berbangsa. Radikalisme yang telah diperingatkan Samuel P. Huntington (1992) sebagai benturan peradaban atau clash of civilizations yakni identitasbudaya dan agama seseorang akan menjadi sumber konflik utama di dunia pasca-Perang Dingin. Peringatan Huntington kekinian sedang menjadi kenyataan melalui konflik gelobal dalam “terorisme dunia”, yang juga melanda Indonesia berakibat kepada konflik-konflik bagai “api dalam sekam” menyelimuti kehidupan bermasyarakat, beragama, berpemerintahan, berbangsa dan bernegara. Sesungguhnya kehidupan bersama bagai “api dalam sekam” dapat ternetralisir, terpadamkan dalam proses kehidupan kultural. Seperti atraksi “tarian hedung” dan “drama tonu wujo” serta model kebersamaan antar masyarakat, antar agama, dalam pemerintahan dan bernegara yang mengutamakan aspek kultural yang integrative.

Sesungguhnya nilai positf yang diambil dalam pementasan “tarian hedung” dan “drama tonu wujo” yakni menjaga, merawat keluhuran, kemuliaan, keagungan kebersamaan kehidupan antar suku, masyarakat, agama , pemerintahan dalam berbangsa dan bernegara. Menjaga dan merawatnya melalui perbuatan baik dalam kehidupan bersama demi membiasakan hal-hal yang benar. Dengan demikian setiap bentuk kelakuan individu dan atau kolektiv dalam kehidupan bermasyarakat, beragama, berpemerintaha yang baik namun tidak membiasakan hal yang benar harus dengan sadar dihentikan. Karena kebiasaan berbuat baik yang membenarkan kebiasaan yang salah (seperti KKN, pembodohan, pemiskinan) senantiasa memungkinkan tumbuh dan berkembangnya “benih” radikalisme . Karena KKN (Kolusi, Korupsi, Nepotisme) sesungguhnya menjadi sumber pembodohan dan pemiskinan suatu kehidupan komunitas masyarakat, agama, bangsa yang memungkinkan tumbuh subur “benih” radikalisme.

KKN yang menggelobal & melokal sesungguhnya dunia belantara kemunafikan kapitalisme berselimut sosialisme, juga padang sabana keparisian sosialisme berbaju kapitalisme. Ibarat kemunafiikan berkapitalisme itu sosok para ahli taurat sedangkan keparisian bersosialisme itu sosok kaum parisi dalam gambaran kitab suci. Masing-masing mereka “mentamengkan” kepentingan publik (rakyat) sebagai alasan untuk membunuh Yesus Kristus, di saat Dia (Yesus Kristus) menyuarakan kebenaran dan berbuat baik untuk kemuliaan dan keselamatan hidup kehidupan rakyat. Karena masing-masing mereka berpradugasalah terhadap diri Yesus Kristus yang menginginkan kekuasaan dunia. Tentu tidak diharapkan adanya pradugasalah di antara oknum-oknum tertentu elit sosial, elit politik, elit pemerintahan dalam kalkulasi kepentingan “dunia” mereka saat pegelaran setiap pesta “budaya rakyat”. Pengutamaan kalkulasi “kepentingan dunia” di kalangan oknum elit (sosial, politik, pemerintahan) senantiasa mengabaikan pengutamaan pemahaman dan penghayatan akan nilai-nilai yang di kandung dan menjadi pesan dalam suatu pentas budaya seperti “tarian hedung” dan “drama tonu wujo”. Seandainya terjadi demikian, kasihan rakyat dengan “kemurnian hatinya & kepolosan kehidupannya” berpesta budaya.***
Dataran Opepoi, Kota Karang Kupang, Tanah Timor, Jumad 20 September 2019

Tidak ada komentar:

Posting Komentar