(Achmad Peten Sili)
Pengantar
Ketika disodorkan judul tulisan diatas oleh para
inisiator/penggagas buku ini, saya diberi sedikit keleluasan untuk dapat
merubah atau memodifikasinya. Akan tetapi kebebasan itu tidak saya gunakan dan memilih
untuk tetap mempertahankannya. Mengapa? Pertama, adalah tentang Adonara-nya. Saya menangkap pesan bahwa buku
ini hendak mengupas tuntas soal Ke-adonara-an dari berbagai perspektif tentang
Adonara, baik di masa lalu, masa kini dan masa depannya. Dan kini-lah Saatnya
kaum Intelektual Adonara diberi ruang untuk mempersembahkan darma baktinya bagi
Lewotanah. Dunia pemikiran adalah Khas Manusia Adonara. Stigma bahwa orang
adonara hanya ‘senang’ berperang, hanyalah
bias dari pandangan sepintas tentang Realitas. Memang harus diakui bahwa
frekwensi peperangan di Adonara sedikit lebih tinggi dibanding daerah lain.
Tetapi apakah ‘Makna’ peperangan yang terjadi di Adonara memiliki kesamaan dengan
daerah lain, ini tentu menjadi kajian menarik. Menurut penulis, Peperangan di Adonara
hanyalah sarana pengujian yang bersifat fisikal, sementara hasil dari sebuah
peperangan adalah pembuktian atas Kebenaran sekaligus Kepercayaan atas suatu
Keyakinan.
Kedua, adalah soal Tantangan
Institusi Keadilan. Ada apa dengan Institusi Keadilan, bagaimana dan seperti
apa semestinya Institusi Keadilan itu bekerja, dan mengapa saya yang dipilih
untuk menulis tentang hal ini? Saya mencatat, kurang lebih dikisaran 10 sampai
20 Anak yang dilahirkan dari Rahim-nya Adonara mengemban profesi sebagai Hakim.
Bahkan dapat dikatakan bahwa 99,99 % yang mengemban tugas sebagai Hakim dari
Kabupaten Flotim dan Lembata, semuanya berasal dari Adonara. Diantaranya ada
Hakim Bpk H. Muhammad Saleh (alm), Bpk Sengadji (alm), Bpk Arnold Ratu
Tanahboleng, Bpk Syamsul Bahri Bapatua, Bpk Pattiraja, saya sendiri, adik Frans
Cornelissen, adik Ina Rahman, adik Consilia Palang Ama dan adik Ito Tokan(yang
baru diangkat menjadi hakim pada Tahun 2020 ini), serta beberapa lagi yang saya lupa namanya. Mungkin
untuk sementara hanya saya yang dikenal, sehingga ditunjuk untuk mewakili Bapak-bapak
dan adik-adik saya itu. Atau mungkin karena saya terdengar lebih sering
menyebut diri sebagai orang adonara, dimana dan dalam kesempatan apapun, selalu
saya katakan dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi bahwa SAYA ANAK
ADONARA.
Ada satu pengalaman yang ingin saya tulis dalam pengantar
ini, ketika sedang mengadili perkara Praperadilan Di Pengadilan Negeri Denpasar
yang pernah meng-hebohkan seantero negeri di Tahun 2015 silam, yaitu tentang Kematian
seorang Bocah mungil nan cantik. Dia-lah ANGELINE,
anak berusia sekitar 7 tahunan, yang meninggal secara mengenaskan dan dikubur
disamping kandang ayam belakang rumah ibu angkatnya Margriet CH. Megawe. Saking
menariknya perkara tersebut, telah memaksa Hotman Paris Hutapea (seorang
pengacara kondang) untuk bertemu dan berkenalan dengan penulis. Ternyata
keiniginannya untuk bertemu itu karena
penasaran dengan nama penulis sehingga ketika pertemuan itu terjadi, yang
pertama ditanyakannya selain memuji, adalah berasal dari daerah dan suku mana
penulis ini. Saya kemudian menjelaskan
bahwa ayah dan nenek moyang saya berasal dari sebuah pulau kecil bernama
Adonara, Flores, NTT. Kemudiaan saya membuat perbandingan antara orang Adonara
dengan orang Batak (karena kebetulan Hotman Paris berasal dari suku Batak), baik
perbedaan maupun persamaannya. Perbedaannya adalah dalam soal Nama belakangnya.
Kalau orang Batak memberi nama anaknya selalu disertai dengan nama sukunya. Ini
berbeda dengan orang Adonara, dimana nama orang Adonara selalu mengacu pada
nama kakek dan nenek atau moyang mereka yang telah meninggal dunia. Adapun
dalam soal kesamaan, orang adonara dan orang Batak terlihat sama-sama memiliki
Keberanian dalam menyampaikan pendapat didepan publik. Dan kesamaan yang paling
menyentuh hati adalah sama-sama memberi penghormatan yang tinggi pada orang-orang yang berstatus Bailake (paman)
bagi Adonara, yang dalam bahasa Batak biasa dipanggil dengan Tulang (paman)
dengan posisi peran yang menentukan dalam soal kematian. Setelah mendapatkan penjelasan
dari saya, Hotman Paris Hutapea kemudian melanjutkan pujiannya, “Puluhan tahun
saya jadi advokad, baru kali ini saya lihat dan saksikan ada Hakim muda yang
begitu cermat, teliti dan jeli..mematahkan argumentasi ahli hukum dengan
pertanyaan-pertanyaan sederhana..pak petensili bukan hanya memimpin jalannya
sidang dengan apik, tetapi lebih dari itu bak seorang professor mengajari kembali
bagaimana cara berpikir tentang hukum, terutama tentang Hukum Acara Pidana, dan
dihadapan para ahli hukum pula”
Lain ladang lain belalang,
lain lubuk lain ikannya. Berbeda dengan Hotman Paris, adalah seorang Prof Sonny
Keraf. Disuatu kesempatan bertemu dibandara Eltari Kupang, saat penulis hendak diperkenalkan
oleh abang Frans Ola Wuran kepadanya, Beliau (Prof Sonny Keraf) dengan sedikit
bercanda mengatakan, “oh na’ne...yang naranen adonara benenen ne he..(oh itu orangnya
ya...yang namanya Adonara pake bangets itu)”. Kira-kira begitulah ungkapan
manusia gaul dan kaum millenial hari ini.
Tentang
arti dari sebuah nama ini, Kaum muda mungkin tidak terlalu akrab dengan William Shakespeare, seorang Pujangga Besar
Inggris( 26 April 1564-23 April 1616), yang terkenal dengan ‘gugatan’nya
tentang arti sebuah nama, dimana Pujangga Besar itu pernah menulis, “Whats in a name? That which we call a rose
by any orther name would smell as sweet...Apalah arti sebuah nama?
Andaikata kita memberi nama lain untuk bunga mawar, ia akan tetap beraroma
wangi”.
Itulah contoh, betapa nama
orang adonara dengan adonara itu sendiri sulit dipisahkan. Saking menyatukannya,
sehingga tidak mengherankan ketika orang lain mengetahui bahwa kita adalah
orang adonara, seketika itu pula bisa muncul beragam persepsi. Suatu waktu,
orang adonara dipandang sebagai orang-orang jahat karena senang berperang. Sementara
di lain kesempatan, orang Adonara juga
mendapatkan pujian setinggi langit karena kecerdasan dan keberaniannya. Paradox
orang Adonara ini, secara emosional memancing untuk didiskusikan lebih jauh.
Sengaja penulis menurunkan pengalaman ini, tiada maksud lain bahwa sudah
saatnya anak Adonara hidup dan akrab dengan Dunia Intelektualitas, “Berani
dalam Kecerdasan, dan Cerdas dalam Keberanian”.
Dengan kemampuan
Intelektual itulah, Manusia Adonara memiliki ruang dan kesempatan untuk
menyelesaikan tugasnya yang belum selesai sampai hari ini. Pertanyaan Besar kita
bersama adalah, “Apakah benar orang Adonara senang Membunuh dan Merampas Hak
orang? Sekejam itu kah Orang Adonara?
Apakah orang orang kejam itu layak memimpin Institusi Keadilan? Apakah kita
masih bisa berharap pada orang-orang Adonara untuk memberi Keadilan? Apakah Institusi Keadilan yang diciptakan
Negara mendapatkan kepercayaan dari orang Adonara dalam menyelesaikan sengeta
atau pertikaian diantara mereka? Apakah
orang Adonara akan tunduk dan patuh pada Keputusan Institusi Keadilan? Apakah
sengketa atau pertikaian diantara orang Adonara yang diajukan atau digantungkan
penyelesaiannya pada Institusi Keadilan Negara, didasari oleh kesadaran dan
keikhlasan atau karena terpaksa? Apakah orang Adonara juga membutuhkan Keadilan
dari Negara? Apakah Institusi Keadilan itu hanya dan hanya ada pada lembaga
Peradilan (baca: Penegak Hukum) ataukah juga termasuk lembaga Pemerintahan? Hal-hal
seperti inilah yang akan coba dijawab penulis pada kesempatan ini, dengan pendekatan
Ilmu Hukum, sekaligus dari ‘kacamata’ seorang Hakim Peradilan Umum. Tetapi satu
hal yang ingin penulis buat sebagai catatan awal adalah, “setelah menyelesaikan
tulisan ini, penulis rela unuk tidak lagi disebut sebagai Orang Adonara”.
Kehadiran Negara di Adonara
Menyoal peran Negara dalam
menyelesaikan sengketa atau pertikaian antar orang Adonara, tidak dapat
dilepas-pisahkan dengan ajaran atau konsep ber-Negara yang dianut para Pemikir
Bangsa ini khususnya, dan Dunia pada umumnya. Kita mengenal adanya Konsep
‘Negara Penjaga malam’( nachtwachterstaat),
sebagai kebalikan dari konsep ‘Negara Kesejahteraan’ (welfare staat). Negara Penjaga malam, yang juga sering disebut
sebagai Negara Hukum Klasik, dalam pengertiannya yang umum dipahami sebagai
Negara yang memiliki kewajiban untuk menjaga ketertiban umum dan pelindung
kebebasan warga Negara. Negara dibatasi perannya sebatas penegak aturan hukum
saja, dan tidak sama-sekali berbicara tentang Kesejahteraan Rakyat. Dalam
filsafat politik Libertarian, konsep “Negara Penjaga malam” ini menempatkan Negara
hanya dalam posisi mengurusi soal-soal seperti militer, kepolisian, pengadilan
untuk melindungi warganya dari agresi, pencurian, pelanggaran kontrak,
penipuan, dan menegakkan hukum kepemilikan. Charles Townshend menyebut Britania
Raya abad ke-19 sebagai contoh utama Negara Penjaga malam diantara
Negara-negara Eropa lainnya. (Wikipedia, disunting AABot, Nopember, 2019)
Adapun konsep “Negara Kesejahteraan” adalah Negara yang
menganut sistem ketata-ngaraan yang mementingkan kesejahteraan warga negaranya.
Tujuan ‘Negara Kesejahteraan’ bukan untuk menghilangkan perbedaan dalam ekonomi
masyarakat, tetapi memperkecil kesenjangan ekonomi dan semaksimal mungkin
menghilangkan kemiskinan dalam masyarakat. Adanya kesenjangan yang lebar antara
masyarakat kaya dan miskin dalam suatu Negara tidak hanya menunjukkan kegagalan
Negara tersebut dalam mengelola keadilan sosial, tetapi dapat berdampak buruk
dalam segala segi kehidupan masyarakat.(Hadi Wahono.blogsot.com/2013/06).
Apabila kita baca tujuan ber-Negara kita sebagaimana
termaktub didalam Konstitusi, yaitu alinea keempat Pembukaan UUD 1945, maka
jelas bahwa Republik ini menganut Konsep Negara Kesejahteraan, atau sering juga
disebut sebagai ‘Negara Hukum Demokratis’, dimana Pemerintahannya dibentuk
dalam rangka “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah
Indonesia, memajukkan Kesejahteraan Umum, mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan
ikut serta melaksanakan ketertiban
dunia, yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial...”.
Melihat realitas Adonara, dimana masih sering terjadi
peperangan antar suku maupun kampung, yang dipandang oleh masyarakat adonara
sendiri sebagai cara penyelesaian masalahnya, terutama untuk membuktikan
kebenaran klaim atas kepemilikan suatu hamparan lahan/tanah, yang berakibat
pada timbulnya korban jiwa diantara pihak-pihak yang bertikai, membuktikan
bahwa konsep Negara kesejahteraan yang kita anut belum sepenuhnya
dimplementasikan oleh lembaga pemerintahan. Bagaimanapun juga harus diakui
bahwa keberadaan lembaga Pemerintahan sampai dipelosok negeri ini, telah ada
sejak zaman orde baru dengan terbentuknya Lembaga Desa. Sayangnya, keberadaan
lembaga pemerintahan itu, baru sebatas penanda wilayah adminstratif, yang tidak
dilengkapi dengan konsep Negara kesejahteraan. Kesejahteraan lebih merupakan
urusan pribadi atau kelompok-kelompok (suku) dalam masyarakat.
Apakah dengan demikian, kita dapat mengklaim bahwa konsep
bernegara kita adalah Negara sebagai “Penjawa malam”, dimana Negara baru hadir ketika
telah terjadi konflik. Hemat saya, konsep- Negara penjaga malam-pun belum
sepenuhnya diterapkan. Hal ini dapat kita buktikan dengan mudah, terkait upaya
penertiban yang dilakukan dalam menghadapi suatu peperangan. Sudah menjadi
pengetahuan umum bagi masyarakat Adonara, bahwa didalam suatu peperangan
memperebutkan/mempertahankan lahan/tanah antar kampung atau suku, maka yang
terlibat didalamnya bukan hanya kampung atau suku yang bertikai itu saja,
melainkan ikut serta didalamnya berbagai kampung atau suku lain (orang adonara
menyebutnya: Nara). Kedua pihak yang bertikai dapat dipastikan memiliki Nara
yang diajak untuk ikut serta dalam pepeangan. Tetapi Kemampuan mendeteksi dan
melakukan pencegahan oleh lembaga
pemerintahan (baca: aparatur desa) akan adanya peperangan sama sekali tidak
terlihat, baik sebelum. selama peperangan berlangsung sampai dengan selesai
perang. Apakah hal demikian ini membuktikn bahwa aparatur pemerintah didesa
bukan bagian dari Pemerintahan Negara, khususnya dalam menghadapi situasi
seperti itu? Yang lebih mengherankan lagi, peperangan yang melibatkan begitu
banyak manusia dari pihak-pihak yang ikut serta, pada akhirnya hanya menyisahkan satu dua orang
untuk diproses secara hukum. Apakah Negara yang diperlengkapi dengan aparat
hukum dengan segala bentuk alat paksa yang dimiliki, tidak mampu menangkap
seluruh pelaku tersebut? Bukankah dalam penegakkan hukum, Negara hadir tanpa
pandang bulu? Ataukah memang Negara selalu kesulitan dalam membuktikan
keterlibatan semua pihak yang bertikai itu?
Bukankah Hukum (baca: Undang-Undang) telah mengatur secara detail,
tentang siapa-siapa yang dipandang sebagai pelaku dari suatu kejahatan? Ataukah
memang dari sudut pandang hukum, Peperangan antara kampung atau antar suku yang
terus terjadi di adonara kita ini, bukanlah sebuah Kejahatan, baik menurut
hukum Adat maupun hukum positif yang berlaku di Republik ini? Soal hukum adat,
bukan porsi saya menjelaskan, tetapi dari sudut pandang hukum Negara, yang
membuktikan kehadiran Negara dalam men-sikapi Peperangan di Adonara, akan coba saya
uraikan dikesempatan ini.
Pada akhirnya, memang harus dikatakan bahwa dalam soal
peperangan yang masih tetap berlangsung sampai saat ini di Adonara, Negara
belum sepenuhnya hadir. Abainya Negara
dalam soal peperangan ini, justru menjadi semacam stimulus bagi langgengnya
penyelesaian masalah melalui peperangan, bahkan
konsep peperangan yang semula hanya sebatas sarana pembuktian Kebenaran
klaim atas kepemilikan lahan/tanah, sekaligus merupakan ajang pertunjukkan
kemahiran menggunakan peralatan perang tradisional seperti Dopi, kenube Noon
Gala (perisai, parang dan tombak), kini cenderung mengarah pada brutalisme,
dengan sokongan senjata-senjata modern berupa senjata api serta
tindakan-tindakan berupa pembakaran rumah-rumah penduduk diserta pembantaian
secara membabi buta terhadap setiap orang yang disangka sebagai lawan atau yang
berada dipihak lawan dari suatu peperangan. Jika dahulu peperangan ditentukan
waktu mulai dan berakhirnya, maka sekarang semakin kabur. Tak ada lagi batasan waktu
dan arena peperangan. Etika peperangan tidak lagi menjadi acuan. Pertikaian
seolah-olah menjadi sesuatu yang abadi. Persoalan yang semula hanya masalah
tertentu, telah melebar dan meluas kemana-mana. Peperangan yang dahulunya
dikatakan sebagai sebuah ‘tontonan’ menarik ( dahulu peperangan juga
disaksikaan secara langsung oleh perempuan dan anak-anak dalam jarak dekat) karena
memperlihatkan seni bela diri, keberanian, ketangkasan dan kemahiran dalam
penggunaan alat-alat peperangan, kini hanyalah tinggal kenangan.
Penegakkan Hukum
Perang adonara memiliki
hukumnya sendiri. Siapa atau pihak yang memenangkan peperangan adalah pihak
yang benar dan sebaliknya. Ukuran kemenangan dari suatu peperangan adalah
Kematian atau terbunuhnya para pelaku perang itu. Jika kematian hanya ada pada
satu pihak, maka dapat dipastikan bahwa pihak yang menang adalah lawannya yang
tidak mengalami kematian atau tidak ada yang terbunuh dalam perang tersebut.
Bagaimana jika peperangan itu menghasilkan jumlah korban yang banyak dan
dialami oleh kedua belah pihak. Apakah ukurannya adalah kuantitatif, yaitu yang
lebih banyak korbannya adalah pihak yang kalah? Bagaimana kalau jumlahnya pun
kebetulan sama, apakah perang tersebut dianggap belum menghasilkan siapa
sebagai pemenang sekaligus dengan klaim kebenaranya?
Jika ukuran kemenangan dalam perang adalah terbunuhnya
pemimpin perang, (dengan prinsip pemimpin perang tidak mungkin lebih dari
satu), maka mestinya perang tersebut selesai dan klaim kebenaran menjadi
terbukti. Dengan demikian, penguasaan atas lahan atau tanah yang menjadi obyek
sengketa menjadi sah kepemilikannya ada pada pihak yang menang. Tetapi
pertanyaan berikutnya adalah bagaimana memastikan bahwa dengan selesainya
perang dan telah terbukti kepemilikan oleh pemenang, tidak ada lagi gangguan
dari pihak yang dikalahkan dalam perang tersebut? Apakah dimungkinkan lagi
untuk menggelar perang berikutnya? Kalau benar terjadi perang yang kedua atau
lebih, maka pertanyaan adalah apakah perang-perang lanjutan tersebut menguji
lagi kebenaran yang telah terbukti sebelumnya, atau kah ada lagi klaim
kebenaran baru?
Penulis memberi suatu catatan penting, bahwa terjadinya
peperangan yang berulangkali atas obyek yang sama, lebih menunjukkan bahwa
orang adonara ‘terjebak’ dalam Gengsi untuk mengakui kekalahan. Hampir dapat
dipastikan bahwa orang Adonara sulit mengakui kemenangan pihak lawan, dan lebih
memilih untuk mencari dalil atau ‘koda’ baru untuk menyusun kekuatan sembari
berharap kemenangan dalam perang berikutnya. Karena itulah, perang di adonara
tidak akan pernah berhenti. Selamanya orang akan tetap berperang, dan selalu
ada alasan baru untuk meneguhkan pendirian itu, bahwa perang harus dimulai
lagi. Sampai kapan? Hanya waktu yang akan menentukan, karena berharap pada
orang Adonara sendiri untuk secara sadar menghentikan perang, masih amat jauh
dari harapan. Apalagi kalau niat untuk menghentikan perang sama sekali tidak datang
dari orang Adonara sendiri.
Disinilah letak peran Negara melalui aparatur penegak
hukumnya, untuk benar-benar menegakkan hukum. Hukum yang hendak ditegakkan
adalah Hukum Negara. Dengan dalil apapun, Negara tidak dapat membenarkan perang
di negeri ini, termasuk di Adonara. Apakah selama ini Negara belum mengambil
perannya? Negara memang telah memainkan perannya, namun belum maksimal dan efektif.
Menurut penulis, jika Negara serius menangani, maka perang di adonara dengan
sendirinya akan hilang. Peran seperti apa yang harus dijalankan Negara sehingga
efektif, tidak ada cara lain selain dengan menegakkan hukum secara tepat dan
konsiten sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang.
Perang di Adonara adalah Pembunuhan, setidak-tidaknya
harus dikualifikasi sebagai Percobaan pembunuhan manakala dalam suatu peperangan
tidak ada korban jiwa. Tetapi Karena hamper setiap peperangan selalu menelan
korban jiwa, maka sekali lagi peristiwa tersebut harus dikulifikasi sebagai
Pembunuhan Berencana, dan ancamannya maksimalnya adalah Hukuman Mati.
Siapa-siapa yang dapat dihukum pada setiap peperangan yang terjadi? Tentu dan
pasti adalah semuanya yang terlibat dalam peperangan tersebut, baik sebagai Pelaku
(orang yang secara nyata melakukan segala aktifitas membunuh); Orang
yang Turut Serta Melakukan (karena peperangan mustahil dilakukan
seorang diri), yaitu mereka yang secara bersama-sama terlibat aktif dalam suatu
pertempuran fisik ; Orang yang Menyuruh Melakukan (orang yang memiliki kepentingan
langsung atas obyek sengketa) serta orang-orang lain yang berperan Melakukan
Pembantuan maupun yang orang-orang yang mengajak(membujuk
orang lain) untuk terlibat dalam suatu peperangan.
Selama ini kita melihat, bahwa yang diproses secara hukum
oleh Negara melalui aparat peneggak hukumnya hanyalah beberapa orang yang
secara langsung dianggap sebagai pelaku (orang melakukan aktifitas membunuh),
sementara sebagian terbesar dari pelaku peperangan dibiarkan begitu saja.
Toleransi yang diberikan oleh aparatur penegakk hukum kiranya harus dihentikan.
Penegakkan hukum seperti ini hanyalah Bom Waktu, karena masih terbuka ruang
yang lebar untuk meletusnya perang-perang selanjutnya. Kalau memang harus
ratusan orang yang ditangkap dan diproses secara hukum, maka aparat harus
konsisten melaksanakannya. Soal teknik membuktikan keterlibatan orang dalam
suatu peperangan, tidaklah terlalu sulit jika benar-benar hendak dilakukan.
Terbayang ketika aparat penegak hukum menjalankan
tugasnya secara maksimal, maka yang pertama terlihat tentu pemandangan
didesa-desa yang bertikai itu, dimana kemungkinan besar hanya kaum perempuan
dan anak anak dibawah umur sebagai penghuninya. Dan yang kedua adalah penuh
sesaknya lembaga pemasyarakatan (Penjara), karena akan dihuni begitu banyak
manusia yang terlibat dalam suatu peperangan. Memang hukum Negara itu Kejam. Dia
dapat memaksa seseorang kehilangan suami, ayah atau saudara laki-lakinya. Biaya
yang akan dibebankan pada Negara untuk meng hidupi para penghuni penjarapun
akan semangkin besar. Demikianlah, Hukum
bukan hanya kejam, tetapi juga mahal. Dari sinilah kita akan belajar bahwa
nyawa seorang anak manusia, apalagi anak manusia adonara yang rata-rata Hebat
itu, tidak dapat dihilangkan begitu saja dengan alasan apapun, termasuk karena
perang.
Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Semua yang
terlibat harus diproses secara hukum. Aparat hukum harus diberi akses
seluas-luasnya untuk melacak dan menangkap semuanya yang terlibat dalam perang.
Negara melalui aparatur pemerintah desa
harus diberi tugas utama untuk sebisa mungkin mencegah. Baru setelah tugas
tersebut tidak dihiraukan, maka aparat desa lah yang bertanggung jawab atas
segala informasi tentang siapa saja yang terlibat dalam peperangan. Pemerintahan
tingkat atas harus dapat mengevaluasi sejauhmana peran yang telah dilakukan
aparat pemerintahan di desa. Jika ditemukan kelalaian atau justru pembiaran(apalagi
ikut terlibat), maka aparat desapun hendaknya diberi sanksi yang sepadan dengan
tanggung-jawabnya. Seperti inilah langkah-langkah yang harus dilakukan(walaupun
terasa berat dan dilematis), apabila kita benar-benar ingin agar Adonara tetap
memiliki Kewibawaan di Masa depan.
Dimana Letak Keadilan Itu?
Dihadapkan pada
pilihan-pilihan sulit ini, penulis lebih memilih menyaksikan kehidupan ina bine
dan anak kreak (ibu, saudari perempuan dan anak-anak) menjalani hidup dengan
tenang dan jauh dari gangguan maupun ancaman (walaupun tanpa kehadiran suami,
ayah maupun saudara laki-lakinya), ketimbang semuanya lengkap tapi selalu dalam
situasi yang tidak menjamin keamanan dan kenyaman hidup maupun aktifitas
keseharian. Bukankah perang sendiri tidak dapat memastikan siapa yang bakal
menjadi korban atau tumbalnya? Begitu pula dengan penuh sesaknya penjara,
dimana pilihan seperti ini adalah lebih baik ketimbang membiarkan begitu banyak
orag yang terlibat dalam suatu peperangan berkeliaran bebas diluar sana,
seolah-olah mereka tidak sedikitpun melakukan kejahatan.
Lembaga Peradilan yang disediakan Negara untuk
menyelesaikan soal-soal keperdataan seperti sengketa hak milik atas tanah,
urusan hutang-piutang atau adanya ingkar-janji antar warga Negara, telah lama
ada. Bahwa masih dijumpai putusan Hakim yang dirasakan belum mencerminkan
adanya Keadilan, tentulah bukan alasan untuk memilih penyelesaiannya lewat
jalur perang. Toh, oraang Adonara memiliki keyakinan yang kuat bahwa yang benar
pastilah benar. Kebenaran tetap akan menemukan jalannya sendiri. Pihak yang
merasa dimenangkan oleh suatu putusan Hakim-pun, tidak akan pernah merasa
Bahagia, manakala putusan tersebut jauh dari Nilai Keadilan yang hakiki, tak
terkecuali dengan Hakimnya sendiri, sebagai Pemutus sengketa. Bukahkah sudah
sekian lama kita gaungkan bahwa “Deket
Nohlon kenube noon gala..Deket Muniren Tuis Bassa..?”
Dalam beberapa kasus yang pernah terjadi terkait dengan
sengketa tanah di Adoara, yang perkaranya telah diputus oleh Hakim, terkadang
bukan soal Keadilan atau Kebenaran yang tidak didapatkan dari kasus tersebut,
melainkan lebih kepada soal teknis Hukum. Itulah pentingnya ada pencerahan
dibidang hukum. Sebagai contoh, putusan hakim terhadap suatu gugatan dalam
sengketa keperdataan itu terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu Pertama,
Putusan yang menyatakan bahwa Gugatan
Penggugat Tidak dapat Diterima; Kedua,
Putusan Hakim yang menyatakan bahwa Gugatan
Penggugat Dikabulkan dan Ketiga, Putusan Hakim yang
menyatakan Gugatan Penggugat DiTolak.
Jenis-jenis putusan ini memiliki konsekwensi hukum yang berbeda.
Putusan Hakim yang menyatakan bahwa “gugatan penggugat
Tidak dapat Diterima” mengandung arti bahwa sengketa pokok dari perkara tersebut
belum diputus. Kalau terkait dengan hak milik atas tanah (obyek sengketanya
Tanah), maka belum ada satupun dari pihak yang bersengketa itu yang dinyatakan
sebagai Pemilik dari Obyek sengketa.
Yang sering disalah-artikan terhadap putusan seperti ini adalah terkait dengan
pertimbangan hukumnya. Bahwa Undang-undang mengatur tentang berperkara
dikenakan biaya. Dan kepada pihak mana biaya itu dibebankan, sangatlah
bergantung pada jenis putusan. Kalau hakim menyatakan bahwa, gugatan penggugat
Tidak dapat Diterima, biasanya dinyatakan bahwa karena penggugat berada dipihak
yang ‘kalah’, maka dibebankan untuk membayar biaya perkara. Tetapi sesungguhnya
dalam putusan seperti itu tidak ada pihak yang dikalahkan, karena putusan
tersebut belum menyinggung pokok perkaranya. Pernyataan kalah tersebut,
semata-mata hanya untuk membebani biaya perkara. Dan konsekwensi dari putusan
ini, pihak penggugat masih diberi kesempatan untuk kembali mengajukan gugatan,
yang tentunya dengan merubah atau memperbaiki kekurangan yang dinyatakan pada
putusan terdahulu.
Berbeda dengan jenis putusan diatas, adalah putusan hakim
yang menyatakan bahwa “Gugatan penggugat Ditolak”. Jika terhadap suatu gugatan,
hakim memutus bahwa gugatannya ditolak, maka jelas bahwa putusan tersebut telah
mempertimbangkan pokok sengketa dan menurut Hakim pihak penggugat telah tidak
mampu membuktikan kebenaran dalil pokok gugatannya. Konsekwensi hukum dari
putsan seperti ini adalah bahwa terhadap soal atau perkara yang sama, tidak
diperbolehkan untuk diajukan kembali. Tetapi putusan seperti inipun masih menyisahkan
persoalan, yaitu benar penggugat tidak mampu membuktikan bahwa obyek sengkta
adalah miliknya. Akan tetapi, putusan yang demikian, tidak serta-merta
mengandung arti bahwa obyek sengketa menjadi milik orang atau pihak yang digugat dalam perkara
tersebut. Pihak yang digugat dalam perkara tersebut dapat baru dapat dikatakan
sebagai pemilik apabila dalam sengketa tersebut diajukan gugatan balik (gugatan
Rekonpensi), yang meminta kepada hakim unuk memutus dan menyatakan bahwa
tergugat adalah pemilik dari obyek sengketa. Gugatan bali atau gugatan
rekonpensi ini selalu berjalan bersamaan dengan gugatan asal (gugatan
Konpensi).
Yang Ketiga
adalah putusan Hakim yang menyatakan “Mengabulkan Gugatan penggugat”. Kalau
jenis putusan seperti ini, maka hakim telah mempertimbangkan pokok sengketa,
dan menurut hakim pihak penggugat telah mampu membuktikan kebenaran dalil-dalil
pokok gugatannya, sehingga gugatan penggugat dikabulkan. Konsekwensinya adalah
jika pihak tergugat sebagai pihak yang dikalahkan tidak melakukan upaya hukum,
maka dalam tempo 14 Hari putusan tersebut Berkekuatan Hukum Tetap(BHT). Kalau
sudah BHT, maka dapat dieksekusi sesuai dengan segala perintah yag termuat
dalam amar putusan perkara tersebut.
Sebagai penututp, kalau
perang tetap saja dipandang sebagai sesuatu yang mesti dilalui hanya karena
ketidak-mampuan kita untuk menemukan alternative lain sebagai solusi dari
sebuah persengketaan, maka apa yang hendak kita sebut sebagai Keadilan?
Keadilan itu apa, untuk siapa, dan apalah artinya, kalau perang tetap saja
berlangsung? Masihkah pantas kita bicara dan menuntut Keadilan? Haruskah kita
menghadirkan manusia masa lampau seperti Aristoteles untuk menjelaskan ulang
tentang arti sebuah Keadilan? Bukankah apa yang diajarkan Aristoteles bahwa,
“Keadilan itu adalah memberi kepada orang apa yang menjadi hak-nya”, nasehat
mana sepanjang waktu selalu diberikan
oleh orangtua kita maupun Ama Ata koda Alapen (Para Pemilik Bahasa-Tingginya
Adonara) bahwa Ata Raen Dore Raen (orang punya ya orang punya). Belum cukupkah
ajaran sederhana ini menjadi pegangan hidup kita?
Harapan kita kepada amak orangtua si Lewotanah
Adonara, berhentilah untuk mencari pembenaran dibalik Koda kirin. Setinggi
apapun argumentasi, jika diniatkan untuk membenarkan terjadinya peperangan,
maka tiada manfaat apapun yang kita adapatkan.Tempatkanlah koda kirin itu pada
hal-hal yang lebih membawa manfaat bagi kebaikan anak cucu.
Demikianlah Keadilan
menurut Hukum. Bahwa Hakim juga manusia, itu adalah soal lain. Bagaimana pun
juga, tetaplah Kebenaran akan menemukan jalannya sendiri. Pilihan kita
menunjukkan kualitas kita. Keputusan kita adalah bagian dari tanggung jawab
kita masing-masing.
Semoga tulisan singkat
ini, menjadi sumbangsih awal penulis untuk kebaikan Lewotanah Adonara Tercinta.
Terima kasih.
Sidoarjo,
12 april 2020
Salam
Hormat Penulis
Keren Literasi Adonara. Lewo Tana Rera Wulan Suku Lango Tana Ekan.
BalasHapusSaya suka dengan tulisan ini, sangat mencerahkan. Bagai oase di tengah kerontangnya pengetahuan kita tentang pentingnya referensi hukum dari perspektif budaya Lamaholot.
BalasHapusSalut ababg goen ...
BalasHapusApa kabar Abang....??
Cukup mencerahkan. Slm hormat.
BalasHapusprofisiat ama.
BalasHapusMenarik kajiannya sesuai dgn kondisi kekinian
BalasHapus