Selasa, 14 April 2020

ADONARA DAN TANTANGAN INSTITUSI KEADILAN



(Achmad Peten Sili)

Pengantar
            Ketika disodorkan judul tulisan diatas oleh para inisiator/penggagas buku ini, saya diberi sedikit keleluasan untuk dapat merubah atau memodifikasinya. Akan tetapi kebebasan itu tidak saya gunakan dan memilih untuk tetap mempertahankannya. Mengapa? Pertama, adalah tentang  Adonara-nya. Saya menangkap pesan bahwa buku ini hendak mengupas tuntas soal Ke-adonara-an dari berbagai perspektif tentang Adonara, baik di masa lalu, masa kini dan masa depannya. Dan kini-lah Saatnya kaum Intelektual Adonara diberi ruang untuk mempersembahkan darma baktinya bagi Lewotanah. Dunia pemikiran adalah Khas Manusia Adonara. Stigma bahwa orang adonara hanya ‘senang’ berperang, hanyalah  bias dari pandangan sepintas tentang Realitas. Memang harus diakui bahwa frekwensi peperangan di Adonara sedikit lebih tinggi dibanding daerah lain. Tetapi apakah ‘Makna’ peperangan yang terjadi di Adonara memiliki kesamaan dengan daerah lain, ini tentu menjadi kajian menarik. Menurut penulis, Peperangan di Adonara hanyalah sarana pengujian yang bersifat fisikal, sementara hasil dari sebuah peperangan adalah pembuktian atas Kebenaran sekaligus Kepercayaan atas suatu Keyakinan.
             Kedua, adalah soal Tantangan Institusi Keadilan. Ada apa dengan Institusi Keadilan, bagaimana dan seperti apa semestinya Institusi Keadilan itu bekerja, dan mengapa saya yang dipilih untuk menulis tentang hal ini? Saya mencatat, kurang lebih dikisaran 10 sampai 20 Anak yang dilahirkan dari Rahim-nya Adonara mengemban profesi sebagai Hakim. Bahkan dapat dikatakan bahwa 99,99 % yang mengemban tugas sebagai Hakim dari Kabupaten Flotim dan Lembata, semuanya berasal dari Adonara. Diantaranya ada Hakim Bpk H. Muhammad Saleh (alm), Bpk Sengadji (alm), Bpk Arnold Ratu Tanahboleng, Bpk Syamsul Bahri Bapatua, Bpk Pattiraja, saya sendiri, adik Frans Cornelissen, adik Ina Rahman, adik Consilia Palang Ama dan adik Ito Tokan(yang baru diangkat menjadi hakim pada Tahun 2020 ini), serta  beberapa lagi yang saya lupa namanya. Mungkin untuk sementara hanya saya yang dikenal, sehingga ditunjuk untuk mewakili Bapak-bapak dan adik-adik saya itu. Atau mungkin karena saya terdengar lebih sering menyebut diri sebagai orang adonara, dimana dan dalam kesempatan apapun, selalu saya katakan dengan tingkat kepercayaan diri yang tinggi bahwa SAYA ANAK ADONARA. 
             Ada satu pengalaman yang ingin saya tulis dalam pengantar ini, ketika sedang mengadili perkara Praperadilan Di Pengadilan Negeri Denpasar yang pernah meng-hebohkan seantero negeri di Tahun 2015 silam, yaitu tentang Kematian seorang Bocah mungil nan cantik. Dia-lah ANGELINE, anak berusia sekitar 7 tahunan, yang meninggal secara mengenaskan dan dikubur disamping kandang ayam belakang rumah ibu angkatnya Margriet CH. Megawe. Saking menariknya perkara tersebut, telah memaksa Hotman Paris Hutapea (seorang pengacara kondang) untuk bertemu dan berkenalan dengan penulis. Ternyata keiniginannya untuk  bertemu itu karena penasaran dengan nama penulis sehingga ketika pertemuan itu terjadi, yang pertama ditanyakannya selain memuji, adalah berasal dari daerah dan suku mana penulis ini.  Saya kemudian menjelaskan bahwa ayah dan nenek moyang saya berasal dari sebuah pulau kecil bernama Adonara, Flores, NTT. Kemudiaan saya membuat perbandingan antara orang Adonara dengan orang Batak (karena kebetulan Hotman Paris berasal dari suku Batak), baik perbedaan maupun persamaannya. Perbedaannya adalah dalam soal Nama belakangnya. Kalau orang Batak memberi nama anaknya selalu disertai dengan nama sukunya. Ini berbeda dengan orang Adonara, dimana nama orang Adonara selalu mengacu pada nama kakek dan nenek atau moyang mereka yang telah meninggal dunia. Adapun dalam soal kesamaan, orang adonara dan orang Batak terlihat sama-sama memiliki Keberanian dalam menyampaikan pendapat didepan publik. Dan kesamaan yang paling menyentuh hati adalah sama-sama memberi penghormatan yang tinggi pada  orang-orang yang berstatus Bailake (paman) bagi Adonara, yang dalam bahasa Batak biasa dipanggil dengan Tulang (paman) dengan posisi peran yang menentukan dalam soal kematian. Setelah mendapatkan penjelasan dari saya, Hotman Paris Hutapea kemudian melanjutkan pujiannya, “Puluhan tahun saya jadi advokad, baru kali ini saya lihat dan saksikan ada Hakim muda yang begitu cermat, teliti dan jeli..mematahkan argumentasi ahli hukum dengan pertanyaan-pertanyaan sederhana..pak petensili bukan hanya memimpin jalannya sidang dengan apik, tetapi lebih dari itu bak seorang professor mengajari kembali bagaimana cara berpikir tentang hukum, terutama tentang Hukum Acara Pidana, dan dihadapan para ahli hukum pula”
 Lain ladang lain belalang, lain lubuk lain ikannya. Berbeda dengan Hotman Paris, adalah seorang Prof Sonny Keraf. Disuatu kesempatan bertemu dibandara Eltari Kupang, saat penulis hendak diperkenalkan oleh abang Frans Ola Wuran kepadanya, Beliau (Prof Sonny Keraf) dengan sedikit bercanda mengatakan, “oh na’ne...yang naranen adonara benenen ne he..(oh itu orangnya ya...yang namanya Adonara pake bangets itu)”. Kira-kira begitulah ungkapan manusia gaul dan kaum millenial hari ini.
   Tentang arti dari sebuah nama ini, Kaum muda mungkin tidak terlalu akrab dengan William Shakespeare, seorang Pujangga Besar Inggris( 26 April 1564-23 April 1616), yang terkenal dengan ‘gugatan’nya tentang arti sebuah nama, dimana Pujangga Besar itu pernah menulis, “Whats in a name? That which we call a rose by any orther name would smell as sweet...Apalah arti sebuah nama? Andaikata kita memberi nama lain untuk bunga mawar, ia akan tetap beraroma wangi”. 
 Itulah contoh, betapa nama orang adonara dengan adonara itu sendiri sulit dipisahkan. Saking menyatukannya, sehingga tidak mengherankan ketika orang lain mengetahui bahwa kita adalah orang adonara, seketika itu pula bisa muncul beragam persepsi. Suatu waktu, orang adonara dipandang sebagai orang-orang jahat karena senang berperang. Sementara di lain  kesempatan, orang Adonara juga mendapatkan pujian setinggi langit karena kecerdasan dan keberaniannya. Paradox orang Adonara ini, secara emosional memancing untuk didiskusikan lebih jauh. Sengaja penulis menurunkan pengalaman ini, tiada maksud lain bahwa sudah saatnya anak Adonara hidup dan akrab dengan Dunia Intelektualitas, “Berani dalam Kecerdasan, dan Cerdas dalam Keberanian”.
 Dengan kemampuan Intelektual itulah, Manusia Adonara memiliki ruang dan kesempatan untuk menyelesaikan tugasnya yang belum selesai sampai hari ini. Pertanyaan Besar kita bersama adalah, “Apakah benar orang Adonara senang Membunuh dan Merampas Hak orang?  Sekejam itu kah Orang Adonara? Apakah orang orang kejam itu layak memimpin Institusi Keadilan? Apakah kita masih bisa berharap pada orang-orang Adonara untuk memberi Keadilan?  Apakah Institusi Keadilan yang diciptakan Negara mendapatkan kepercayaan dari orang Adonara dalam menyelesaikan sengeta atau pertikaian diantara mereka?  Apakah orang Adonara akan tunduk dan patuh pada Keputusan Institusi Keadilan? Apakah sengketa atau pertikaian diantara orang Adonara yang diajukan atau digantungkan penyelesaiannya pada Institusi Keadilan Negara, didasari oleh kesadaran dan keikhlasan atau karena terpaksa? Apakah orang Adonara juga membutuhkan Keadilan dari Negara? Apakah Institusi Keadilan itu hanya dan hanya ada pada lembaga Peradilan (baca: Penegak Hukum) ataukah juga termasuk lembaga Pemerintahan? Hal-hal seperti inilah yang akan coba dijawab penulis pada kesempatan ini, dengan pendekatan Ilmu Hukum, sekaligus dari ‘kacamata’ seorang Hakim Peradilan Umum. Tetapi satu hal yang ingin penulis buat sebagai catatan awal adalah, “setelah menyelesaikan tulisan ini, penulis rela unuk tidak lagi disebut sebagai Orang Adonara”.

Kehadiran Negara di  Adonara
            Menyoal peran Negara dalam menyelesaikan sengketa atau pertikaian antar orang Adonara, tidak dapat dilepas-pisahkan dengan ajaran atau konsep ber-Negara yang dianut para Pemikir Bangsa ini khususnya, dan Dunia pada umumnya. Kita mengenal adanya Konsep ‘Negara Penjaga malam’( nachtwachterstaat), sebagai kebalikan dari konsep ‘Negara Kesejahteraan’ (welfare staat). Negara Penjaga malam, yang juga sering disebut sebagai Negara Hukum Klasik, dalam pengertiannya yang umum dipahami sebagai Negara yang memiliki kewajiban untuk menjaga ketertiban umum dan pelindung kebebasan warga Negara. Negara dibatasi perannya sebatas penegak aturan hukum saja, dan tidak sama-sekali berbicara tentang Kesejahteraan Rakyat. Dalam filsafat politik Libertarian, konsep “Negara Penjaga malam” ini menempatkan Negara hanya dalam posisi mengurusi soal-soal seperti militer, kepolisian, pengadilan untuk melindungi warganya dari agresi, pencurian, pelanggaran kontrak, penipuan, dan menegakkan hukum kepemilikan. Charles Townshend menyebut Britania Raya abad ke-19 sebagai contoh utama Negara Penjaga malam diantara Negara-negara Eropa lainnya. (Wikipedia, disunting AABot, Nopember, 2019)
             Adapun konsep “Negara Kesejahteraan” adalah Negara yang menganut sistem ketata-ngaraan yang mementingkan kesejahteraan warga negaranya. Tujuan ‘Negara Kesejahteraan’ bukan untuk menghilangkan perbedaan dalam ekonomi masyarakat, tetapi memperkecil kesenjangan ekonomi dan semaksimal mungkin menghilangkan kemiskinan dalam masyarakat. Adanya kesenjangan yang lebar antara masyarakat kaya dan miskin dalam suatu Negara tidak hanya menunjukkan kegagalan Negara tersebut dalam mengelola keadilan sosial, tetapi dapat berdampak buruk dalam segala segi kehidupan masyarakat.(Hadi Wahono.blogsot.com/2013/06).
             Apabila kita baca tujuan ber-Negara kita sebagaimana termaktub didalam Konstitusi, yaitu alinea keempat Pembukaan UUD 1945, maka jelas bahwa Republik ini menganut Konsep Negara Kesejahteraan, atau sering juga disebut sebagai ‘Negara Hukum Demokratis’, dimana Pemerintahannya dibentuk dalam rangka “Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukkan Kesejahteraan Umum, mencerdaskan Kehidupan Bangsa dan ikut serta  melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan perdamaian abadi dan keadilan sosial...”. 
             Melihat realitas Adonara, dimana masih sering terjadi peperangan antar suku maupun kampung, yang dipandang oleh masyarakat adonara sendiri sebagai cara penyelesaian masalahnya, terutama untuk membuktikan kebenaran klaim atas kepemilikan suatu hamparan lahan/tanah, yang berakibat pada timbulnya korban jiwa diantara pihak-pihak yang bertikai, membuktikan bahwa konsep Negara kesejahteraan yang kita anut belum sepenuhnya dimplementasikan oleh lembaga pemerintahan. Bagaimanapun juga harus diakui bahwa keberadaan lembaga Pemerintahan sampai dipelosok negeri ini, telah ada sejak zaman orde baru dengan terbentuknya Lembaga Desa. Sayangnya, keberadaan lembaga pemerintahan itu, baru sebatas penanda wilayah adminstratif, yang tidak dilengkapi dengan konsep Negara kesejahteraan. Kesejahteraan lebih merupakan urusan pribadi atau kelompok-kelompok (suku) dalam masyarakat. 
             Apakah dengan demikian, kita dapat mengklaim bahwa konsep bernegara kita adalah Negara sebagai “Penjawa malam”, dimana Negara baru hadir ketika telah terjadi konflik. Hemat saya, konsep- Negara penjaga malam-pun belum sepenuhnya diterapkan. Hal ini dapat kita buktikan dengan mudah, terkait upaya penertiban yang dilakukan dalam menghadapi suatu peperangan. Sudah menjadi pengetahuan umum bagi masyarakat Adonara, bahwa didalam suatu peperangan memperebutkan/mempertahankan lahan/tanah antar kampung atau suku, maka yang terlibat didalamnya bukan hanya kampung atau suku yang bertikai itu saja, melainkan ikut serta didalamnya berbagai kampung atau suku lain (orang adonara menyebutnya: Nara). Kedua pihak yang bertikai dapat dipastikan memiliki Nara yang diajak untuk ikut serta dalam pepeangan. Tetapi Kemampuan mendeteksi dan melakukan  pencegahan oleh lembaga pemerintahan (baca: aparatur desa) akan adanya peperangan sama sekali tidak terlihat, baik sebelum. selama peperangan berlangsung sampai dengan selesai perang. Apakah hal demikian ini membuktikn bahwa aparatur pemerintah didesa bukan bagian dari Pemerintahan Negara, khususnya dalam menghadapi situasi seperti itu? Yang lebih mengherankan lagi, peperangan yang melibatkan begitu banyak manusia dari pihak-pihak yang ikut serta,  pada akhirnya hanya menyisahkan satu dua orang untuk diproses secara hukum. Apakah Negara yang diperlengkapi dengan aparat hukum dengan segala bentuk alat paksa yang dimiliki, tidak mampu menangkap seluruh pelaku tersebut? Bukankah dalam penegakkan hukum, Negara hadir tanpa pandang bulu? Ataukah memang Negara selalu kesulitan dalam membuktikan keterlibatan semua pihak yang bertikai itu?  Bukankah Hukum (baca: Undang-Undang) telah mengatur secara detail, tentang siapa-siapa yang dipandang sebagai pelaku dari suatu kejahatan? Ataukah memang dari sudut pandang hukum, Peperangan antara kampung atau antar suku yang terus terjadi di adonara kita ini, bukanlah sebuah Kejahatan, baik menurut hukum Adat maupun hukum positif yang berlaku di Republik ini? Soal hukum adat, bukan porsi saya menjelaskan, tetapi dari sudut pandang hukum Negara, yang membuktikan kehadiran Negara dalam men-sikapi Peperangan di Adonara, akan coba saya uraikan dikesempatan ini.
             Pada akhirnya, memang harus dikatakan bahwa dalam soal peperangan yang masih tetap berlangsung sampai saat ini di Adonara, Negara belum sepenuhnya hadir.  Abainya Negara dalam soal peperangan ini, justru menjadi semacam stimulus bagi langgengnya penyelesaian masalah melalui peperangan, bahkan  konsep peperangan yang semula hanya sebatas sarana pembuktian Kebenaran klaim atas kepemilikan lahan/tanah, sekaligus merupakan ajang pertunjukkan kemahiran menggunakan peralatan perang tradisional seperti Dopi, kenube Noon Gala (perisai, parang dan tombak), kini cenderung mengarah pada brutalisme, dengan sokongan senjata-senjata modern berupa senjata api serta tindakan-tindakan berupa pembakaran rumah-rumah penduduk diserta pembantaian secara membabi buta terhadap setiap orang yang disangka sebagai lawan atau yang berada dipihak lawan dari suatu peperangan. Jika dahulu peperangan ditentukan waktu mulai dan berakhirnya, maka sekarang semakin kabur. Tak ada lagi batasan waktu dan arena peperangan. Etika peperangan tidak lagi menjadi acuan. Pertikaian seolah-olah menjadi sesuatu yang abadi. Persoalan yang semula hanya masalah tertentu, telah melebar dan meluas kemana-mana. Peperangan yang dahulunya dikatakan sebagai sebuah ‘tontonan’ menarik ( dahulu peperangan juga disaksikaan secara langsung oleh perempuan dan anak-anak dalam jarak dekat) karena memperlihatkan seni bela diri, keberanian, ketangkasan dan kemahiran dalam penggunaan alat-alat peperangan, kini hanyalah tinggal kenangan. 

Penegakkan Hukum
            Perang adonara memiliki hukumnya sendiri. Siapa atau pihak yang memenangkan peperangan adalah pihak yang benar dan sebaliknya. Ukuran kemenangan dari suatu peperangan adalah Kematian atau terbunuhnya para pelaku perang itu. Jika kematian hanya ada pada satu pihak, maka dapat dipastikan bahwa pihak yang menang adalah lawannya yang tidak mengalami kematian atau tidak ada yang terbunuh dalam perang tersebut. Bagaimana jika peperangan itu menghasilkan jumlah korban yang banyak dan dialami oleh kedua belah pihak. Apakah ukurannya adalah kuantitatif, yaitu yang lebih banyak korbannya adalah pihak yang kalah? Bagaimana kalau jumlahnya pun kebetulan sama, apakah perang tersebut dianggap belum menghasilkan siapa sebagai pemenang sekaligus dengan klaim kebenaranya?
             Jika ukuran kemenangan dalam perang adalah terbunuhnya pemimpin perang, (dengan prinsip pemimpin perang tidak mungkin lebih dari satu), maka mestinya perang tersebut selesai dan klaim kebenaran menjadi terbukti. Dengan demikian, penguasaan atas lahan atau tanah yang menjadi obyek sengketa menjadi sah kepemilikannya ada pada pihak yang menang. Tetapi pertanyaan berikutnya adalah bagaimana memastikan bahwa dengan selesainya perang dan telah terbukti kepemilikan oleh pemenang, tidak ada lagi gangguan dari pihak yang dikalahkan dalam perang tersebut? Apakah dimungkinkan lagi untuk menggelar perang berikutnya? Kalau benar terjadi perang yang kedua atau lebih, maka pertanyaan adalah apakah perang-perang lanjutan tersebut menguji lagi kebenaran yang telah terbukti sebelumnya, atau kah ada lagi klaim kebenaran baru?
             Penulis memberi suatu catatan penting, bahwa terjadinya peperangan yang berulangkali atas obyek yang sama, lebih menunjukkan bahwa orang adonara ‘terjebak’ dalam Gengsi untuk mengakui kekalahan. Hampir dapat dipastikan bahwa orang Adonara sulit mengakui kemenangan pihak lawan, dan lebih memilih untuk mencari dalil atau ‘koda’ baru untuk menyusun kekuatan sembari berharap kemenangan dalam perang berikutnya. Karena itulah, perang di adonara tidak akan pernah berhenti. Selamanya orang akan tetap berperang, dan selalu ada alasan baru untuk meneguhkan pendirian itu, bahwa perang harus dimulai lagi. Sampai kapan? Hanya waktu yang akan menentukan, karena berharap pada orang Adonara sendiri untuk secara sadar menghentikan perang, masih amat jauh dari harapan. Apalagi kalau niat untuk menghentikan perang sama sekali tidak datang dari orang Adonara sendiri.
             Disinilah letak peran Negara melalui aparatur penegak hukumnya, untuk benar-benar menegakkan hukum. Hukum yang hendak ditegakkan adalah Hukum Negara. Dengan dalil apapun, Negara tidak dapat membenarkan perang di negeri ini, termasuk di Adonara. Apakah selama ini Negara belum mengambil perannya? Negara memang telah memainkan perannya, namun belum maksimal dan efektif. Menurut penulis, jika Negara serius menangani, maka perang di adonara dengan sendirinya akan hilang. Peran seperti apa yang harus dijalankan Negara sehingga efektif, tidak ada cara lain selain dengan menegakkan hukum secara tepat dan konsiten sebagaimana telah diatur dalam Undang-undang. 
             Perang di Adonara adalah Pembunuhan, setidak-tidaknya harus dikualifikasi sebagai Percobaan pembunuhan manakala dalam suatu peperangan tidak ada korban jiwa. Tetapi Karena hamper setiap peperangan selalu menelan korban jiwa, maka sekali lagi peristiwa tersebut harus dikulifikasi sebagai Pembunuhan Berencana, dan ancamannya maksimalnya adalah Hukuman Mati. Siapa-siapa yang dapat dihukum pada setiap peperangan yang terjadi? Tentu dan pasti adalah semuanya yang terlibat dalam peperangan tersebut, baik sebagai Pelaku (orang yang secara nyata melakukan segala aktifitas membunuh); Orang yang Turut Serta Melakukan (karena peperangan mustahil dilakukan seorang diri), yaitu mereka yang secara bersama-sama terlibat aktif dalam suatu pertempuran fisik ; Orang yang Menyuruh Melakukan (orang yang memiliki kepentingan langsung atas obyek sengketa) serta orang-orang lain yang berperan Melakukan Pembantuan maupun yang orang-orang yang mengajak(membujuk orang lain) untuk terlibat dalam suatu peperangan.
             Selama ini kita melihat, bahwa yang diproses secara hukum oleh Negara melalui aparat peneggak hukumnya hanyalah beberapa orang yang secara langsung dianggap sebagai pelaku (orang melakukan aktifitas membunuh), sementara sebagian terbesar dari pelaku peperangan dibiarkan begitu saja. Toleransi yang diberikan oleh aparatur penegakk hukum kiranya harus dihentikan. Penegakkan hukum seperti ini hanyalah Bom Waktu, karena masih terbuka ruang yang lebar untuk meletusnya perang-perang selanjutnya. Kalau memang harus ratusan orang yang ditangkap dan diproses secara hukum, maka aparat harus konsisten melaksanakannya. Soal teknik membuktikan keterlibatan orang dalam suatu peperangan, tidaklah terlalu sulit jika benar-benar hendak dilakukan.
             Terbayang ketika aparat penegak hukum menjalankan tugasnya secara maksimal, maka yang pertama terlihat tentu pemandangan didesa-desa yang bertikai itu, dimana kemungkinan besar hanya kaum perempuan dan anak anak dibawah umur sebagai penghuninya. Dan yang kedua adalah penuh sesaknya lembaga pemasyarakatan (Penjara), karena akan dihuni begitu banyak manusia yang terlibat dalam suatu peperangan. Memang hukum Negara itu Kejam. Dia dapat memaksa seseorang kehilangan suami, ayah atau saudara laki-lakinya. Biaya yang akan dibebankan pada Negara untuk meng hidupi para penghuni penjarapun akan semangkin besar. Demikianlah,  Hukum bukan hanya kejam, tetapi juga mahal. Dari sinilah kita akan belajar bahwa nyawa seorang anak manusia, apalagi anak manusia adonara yang rata-rata Hebat itu, tidak dapat dihilangkan begitu saja dengan alasan apapun, termasuk karena perang.
             Hukum harus ditegakkan tanpa pandang bulu. Semua yang terlibat harus diproses secara hukum. Aparat hukum harus diberi akses seluas-luasnya untuk melacak dan menangkap semuanya yang terlibat dalam perang.  Negara melalui aparatur pemerintah desa harus diberi tugas utama untuk sebisa mungkin mencegah. Baru setelah tugas tersebut tidak dihiraukan, maka aparat desa lah yang bertanggung jawab atas segala informasi tentang siapa saja yang terlibat dalam peperangan. Pemerintahan tingkat atas harus dapat mengevaluasi sejauhmana peran yang telah dilakukan aparat pemerintahan di desa. Jika ditemukan kelalaian atau justru pembiaran(apalagi ikut terlibat), maka aparat desapun hendaknya diberi sanksi yang sepadan dengan tanggung-jawabnya. Seperti inilah langkah-langkah yang harus dilakukan(walaupun terasa berat dan dilematis), apabila kita benar-benar ingin agar Adonara tetap memiliki Kewibawaan di Masa depan.

Dimana Letak Keadilan Itu?
            Dihadapkan pada pilihan-pilihan sulit ini, penulis lebih memilih menyaksikan kehidupan ina bine dan anak kreak (ibu, saudari perempuan dan anak-anak) menjalani hidup dengan tenang dan jauh dari gangguan maupun ancaman (walaupun tanpa kehadiran suami, ayah maupun saudara laki-lakinya), ketimbang semuanya lengkap tapi selalu dalam situasi yang tidak menjamin keamanan dan kenyaman hidup maupun aktifitas keseharian. Bukankah perang sendiri tidak dapat memastikan siapa yang bakal menjadi korban atau tumbalnya? Begitu pula dengan penuh sesaknya penjara, dimana pilihan seperti ini adalah lebih baik ketimbang membiarkan begitu banyak orag yang terlibat dalam suatu peperangan berkeliaran bebas diluar sana, seolah-olah mereka tidak sedikitpun melakukan kejahatan.
           Lembaga Peradilan yang disediakan Negara untuk menyelesaikan soal-soal keperdataan seperti sengketa hak milik atas tanah, urusan hutang-piutang atau adanya ingkar-janji antar warga Negara, telah lama ada. Bahwa masih dijumpai putusan Hakim yang dirasakan belum mencerminkan adanya Keadilan, tentulah bukan alasan untuk memilih penyelesaiannya lewat jalur perang. Toh, oraang Adonara memiliki keyakinan yang kuat bahwa yang benar pastilah benar. Kebenaran tetap akan menemukan jalannya sendiri. Pihak yang merasa dimenangkan oleh suatu putusan Hakim-pun, tidak akan pernah merasa Bahagia, manakala putusan tersebut jauh dari Nilai Keadilan yang hakiki, tak terkecuali dengan Hakimnya sendiri, sebagai Pemutus sengketa. Bukahkah sudah sekian lama kita gaungkan bahwa “Deket Nohlon kenube noon gala..Deket Muniren Tuis Bassa..?”
             Dalam beberapa kasus yang pernah terjadi terkait dengan sengketa tanah di Adoara, yang perkaranya telah diputus oleh Hakim, terkadang bukan soal Keadilan atau Kebenaran yang tidak didapatkan dari kasus tersebut, melainkan lebih kepada soal teknis Hukum. Itulah pentingnya ada pencerahan dibidang hukum. Sebagai contoh, putusan hakim terhadap suatu gugatan dalam sengketa keperdataan itu terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu Pertama, Putusan yang menyatakan bahwa Gugatan Penggugat Tidak dapat Diterima; Kedua, Putusan Hakim yang menyatakan bahwa Gugatan Penggugat Dikabulkan dan Ketiga, Putusan Hakim yang menyatakan Gugatan Penggugat DiTolak. Jenis-jenis putusan ini memiliki konsekwensi hukum yang berbeda.
             Putusan Hakim yang menyatakan bahwa “gugatan penggugat Tidak dapat Diterima” mengandung arti bahwa sengketa pokok dari perkara tersebut belum diputus. Kalau terkait dengan hak milik atas tanah (obyek sengketanya Tanah), maka belum ada satupun dari pihak yang bersengketa itu yang dinyatakan sebagai Pemilik  dari Obyek sengketa. Yang sering disalah-artikan terhadap putusan seperti ini adalah terkait dengan pertimbangan hukumnya. Bahwa Undang-undang mengatur tentang berperkara dikenakan biaya. Dan kepada pihak mana biaya itu dibebankan, sangatlah bergantung pada jenis putusan. Kalau hakim menyatakan bahwa, gugatan penggugat Tidak dapat Diterima, biasanya dinyatakan bahwa karena penggugat berada dipihak yang ‘kalah’, maka dibebankan untuk membayar biaya perkara. Tetapi sesungguhnya dalam putusan seperti itu tidak ada pihak yang dikalahkan, karena putusan tersebut belum menyinggung pokok perkaranya. Pernyataan kalah tersebut, semata-mata hanya untuk membebani biaya perkara. Dan konsekwensi dari putusan ini, pihak penggugat masih diberi kesempatan untuk kembali mengajukan gugatan, yang tentunya dengan merubah atau memperbaiki kekurangan yang dinyatakan pada putusan terdahulu.
             Berbeda dengan jenis putusan diatas, adalah putusan hakim yang menyatakan bahwa “Gugatan penggugat Ditolak”. Jika terhadap suatu gugatan, hakim memutus bahwa gugatannya ditolak, maka jelas bahwa putusan tersebut telah mempertimbangkan pokok sengketa dan menurut Hakim pihak penggugat telah tidak mampu membuktikan kebenaran dalil pokok gugatannya. Konsekwensi hukum dari putsan seperti ini adalah bahwa terhadap soal atau perkara yang sama, tidak diperbolehkan untuk diajukan kembali. Tetapi putusan seperti inipun masih menyisahkan persoalan, yaitu benar penggugat tidak mampu membuktikan bahwa obyek sengkta adalah miliknya. Akan tetapi, putusan yang demikian, tidak serta-merta mengandung arti bahwa obyek sengketa menjadi milik orang  atau pihak yang digugat dalam perkara tersebut. Pihak yang digugat dalam perkara tersebut dapat baru dapat dikatakan sebagai pemilik apabila dalam sengketa tersebut diajukan gugatan balik (gugatan Rekonpensi), yang meminta kepada hakim unuk memutus dan menyatakan bahwa tergugat adalah pemilik dari obyek sengketa. Gugatan bali atau gugatan rekonpensi ini selalu berjalan bersamaan dengan gugatan asal (gugatan Konpensi).
             Yang Ketiga adalah putusan Hakim yang menyatakan “Mengabulkan Gugatan penggugat”. Kalau jenis putusan seperti ini, maka hakim telah mempertimbangkan pokok sengketa, dan menurut hakim pihak penggugat telah mampu membuktikan kebenaran dalil-dalil pokok gugatannya, sehingga gugatan penggugat dikabulkan. Konsekwensinya adalah jika pihak tergugat sebagai pihak yang dikalahkan tidak melakukan upaya hukum, maka dalam tempo 14 Hari putusan tersebut Berkekuatan Hukum Tetap(BHT). Kalau sudah BHT, maka dapat dieksekusi sesuai dengan segala perintah yag termuat dalam amar putusan perkara tersebut.
 Sebagai penututp, kalau perang tetap saja dipandang sebagai sesuatu yang mesti dilalui hanya karena ketidak-mampuan kita untuk menemukan alternative lain sebagai solusi dari sebuah persengketaan, maka apa yang hendak kita sebut sebagai Keadilan? Keadilan itu apa, untuk siapa, dan apalah artinya, kalau perang tetap saja berlangsung? Masihkah pantas kita bicara dan menuntut Keadilan? Haruskah kita menghadirkan manusia masa lampau seperti Aristoteles untuk menjelaskan ulang tentang arti sebuah Keadilan? Bukankah apa yang diajarkan Aristoteles bahwa, “Keadilan itu adalah memberi kepada orang apa yang menjadi hak-nya”, nasehat mana  sepanjang waktu selalu diberikan oleh orangtua kita maupun Ama Ata koda Alapen (Para Pemilik Bahasa-Tingginya Adonara) bahwa Ata Raen Dore Raen (orang punya ya orang punya). Belum cukupkah ajaran sederhana ini menjadi pegangan hidup kita?
 Harapan kita kepada amak orangtua si Lewotanah Adonara, berhentilah untuk mencari pembenaran dibalik Koda kirin. Setinggi apapun argumentasi, jika diniatkan untuk membenarkan terjadinya peperangan, maka tiada manfaat apapun yang kita adapatkan.Tempatkanlah koda kirin itu pada hal-hal yang lebih membawa manfaat bagi kebaikan anak cucu.
Demikianlah Keadilan menurut Hukum. Bahwa Hakim juga manusia, itu adalah soal lain. Bagaimana pun juga, tetaplah Kebenaran akan menemukan jalannya sendiri. Pilihan kita menunjukkan kualitas kita. Keputusan kita adalah bagian dari tanggung jawab kita masing-masing. 
 Semoga tulisan singkat ini, menjadi sumbangsih awal penulis untuk kebaikan Lewotanah Adonara Tercinta. Terima kasih.
                                                                                              

                                                                                                Sidoarjo, 12 april 2020
                                                                                                Salam Hormat Penulis

6 komentar:

  1. Keren Literasi Adonara. Lewo Tana Rera Wulan Suku Lango Tana Ekan.

    BalasHapus
  2. Saya suka dengan tulisan ini, sangat mencerahkan. Bagai oase di tengah kerontangnya pengetahuan kita tentang pentingnya referensi hukum dari perspektif budaya Lamaholot.

    BalasHapus
  3. Salut ababg goen ...
    Apa kabar Abang....??

    BalasHapus
  4. Cukup mencerahkan. Slm hormat.

    BalasHapus
  5. Menarik kajiannya sesuai dgn kondisi kekinian

    BalasHapus