Kamis, 23 April 2020

MENUJU ADONARA BARU

Yohanes Sili Muda Makin, SVD
Sejarah Hindia Belanda sebuah paradoks
Saat ini saya  bekerja di St Maarten, kepulauan Karibia. Pulau ini memiliki luas 1/3 dari Pulau solor. Walaupun begitu ia masih terbagi dua. Di bagian Timur adalah wilayah Belanda. Sementara di bagian barat merupakan daerah administrative Prancis. Ada kegembiraan dan kesadaran Belanda-isme di satu sisi.  Di sisi lain ada savoir-faire dari Prancis. Kombinasi keduanya meghasilkan warisan Eropa yang eksotis dan cosmopolitan. Kita bisa mendegar seseorang berbicara multy bahasa hanya dalam satu kesempatan saja. Anak-anak mereka setidaknya menguasai 4 bahasa: Inggris, Prancis, Belanda dan Spanyol. Kitapun menjadi terpacu untuk berbicara multi bahasa. Umumnya orang orang selalu bergembira. Mereka sungguh menikmati  hidup dengan satu slogan khas : St Maarten the friendly Island.
Tambahan pula lusinan pantai dan laguna yang menebar pesona. Hotel-hotel mewah, villa-villa elegan, dan lebih dari 300 restoran berseliweran di pulau sekecil ini. Semua koki hebat dari  Eropa, Amerika, atau Asia bersaing memanjakan lidah para pencinta kuliner. Mereka menyediakan kuliner  yang setara dengan kuliner terbaik dari Paris atau New York.  Jet-jet jumbo dari berbagai belahan  dunia mendarat di sini.  Orang-orang berbelanja sepuasnya tanpa  pajak. Ini adalah kombinasi hebat dari Belanda dan Perancis. Mereka  telah mengubah pulau ini menjadi tempat liburan yang sangat menarik. Dunia luar akhirnya mengerti mengapa St. Maarten selalu mejadi salah satu tujuan wisatawan mancanegara.
Mungkin orang akan bertanya. Ada apa dibalik deskripisi ini? Saya memang sengaja menulisnya, karena saya merasa sedang berada di kampung sendiri. Saya merasa dekat dan sepertinya ada perasaan ikatan bathin  dengan mereka. Bahkan orang-orang St Maarten  selalu bercanda, bahwa kita masih memiliki  DNA yang sama.  Bahwa  kita pernah belajar sejarah yang sama. Dalam buku sejarah yang sama pula, kita menemukan adanya sebutan Hindia Timur Belanda  dan Hindia Barat Belanda. Indonesia adalah Hindia Timur Belanda. Sedangkan St Maarten adalah Hindia Barat Belanda. Tidak mengherankan, mereka masih sangat menyukai kuliner Indonesia.    Mereka  suka makan nasi goreng dan soto. Bahkan mereka menyebutnya “nasi goreng dan soto sama seperti kita. Kalau saya berkujung ke rumah mereka, pasti di sana ada Sambal ulek, kerupuk dan kecap manis. Akan tetapi  semuanya ini tentu tidak membiarkan saya  tinggal dalam kenyamanan.   Bagaimanapun juga St Maarten  hanyalah sebuah tempat persinggahan sementara . Saya tidak mungkin menetap selamanya  di sini . Apalagi saya hanyalah seorang misionaris.  Kapan dan dimana saja saya selalu siap pergi.  Maka kini saatnya saya harus kembali ke rumah. Rumah di mana saya dilahirkan. Di sini saya merasa, bahwa cinta akan rumahku telah menghanguskan daku. Entalah, Adonara sedang memangil pulang.
Pada tataran ini saya harus berkata jujur. Kadang kala saya merasa marah pada ketidakadilan hidup ini. Saya selalu bertanya dalam hati. Kapan kita, Nusa Todon Adonara bisa seperti St Maarten. Padahal kita sama-sama yang nota bene memiliki sejarah yang sama.  Apalagi ketika kita kembali ke tanah Nusa Tadon.  Tanah kita adalah tanah yang kaya. Alam kita adalah alam yang indah. Laut-laut kita menghasilkan ikan yang  berlimpah ruah. Pantai-pantai kita juga tidak kalah indah dengan keindahan pantai-pantai Karibia. Warisan  budaya serta adat istiadat   juga tidak kalah memperkaya identitas diri kita. Lebih dari itu tanah kita telah melahirkan putra-putri yang berkualitas. Mereka bahkan bersaing dalam segala segi kehidupan baik dalam skala local, nasional maupun internasional. Lantas mengapa perubahan kita masih stagnant?  saya belum melihat suatu perubahan yang significan. Infrasctruktur kita yang masih sangat minim. Keindahan alam kita yang masih belum tertatah rapi. Produk-produk lokal kita masih berada di level pasaran lokal. Dan seringkali kita masih salah kapra dengan karakter ‘ATA DIKEN ADONARA yang keras. Saya terus bertanya tapi belum juga mendapat jawaban yang pasti.

Antara cerita Polandia dan Adonara
Pertanyaan demi pertanyaan mendesak saya untuk berbagi dengan rekan kerja. Kebetulan saya bekerja  dengan seorang misionaris Polandia. Kami selalu  bercerita dan bertukar pikiran tentang latar belakang  sosial budaya dan peradaban kami. Ada rasa senang dan bangga karena terlahir dari keunikan budaya tersendiri. Temanku bercerita banyak tentang sejarah kelam negrinya. Dari hilangnya nama Polandia sebagai status sebuah negara selama 100-an lebih tahun.  Masa-masa sulit  yang menghimpit kehidupan kedua orang tuanya di saat perang dunia kedua. Etnic cleansing dari  rezim Nazi yang berimbas  ke Polandia. Kebebasan  yang tersandra oleh Rezim Komunist yang dialaminya sendiri. Dan masih  banyak cerita kelam yang membekas dihatinya.
Begitupun sebaliknya saya. Saya  selalu bercerita berapi -api. bahwa dulu negara kami dijajah oleh belanda selama 3 ½ abad. Penderitaan, tekanan dan kemelaratan datang silih berganti. Bahkan Belanda membaptis negeri kami sebagai Hindia Timur Belanda. Di sana, di bagian Timur terdapat sebuah pulau kecil. Tempat saya di lahirkan dan dibesarkan.  Pulau itu adalah Adonara.   Di pulau itu  kami terkenal dengan manusia berwatak keras tetapi berhati lembut. Kami masih memegang teguh nilai-nilai luhur tradisi dan kearifan lokal. Dan hidup kami selalu berdasarkan pada tiga tungku utama yakni : Adat, Pemerintah dan Agama. Ketiganya harus berjalan selaras. Alasannya  untuk menjaga keharmosnisan hidup secara individu maupun komunitas.  Ada hal yang tidak dapat diekspresikan dengan kata-kata. Mungkin bagi orang lain adalah sebuah keanehan diperadaban modern ini . Tetapi hal itu tidak bagi kami. Ia sudah menyatu dengan darah daging kami. Hal ini  membuat kami unik  dan merasa berbeda dari yang lain. Dan saya selalu yakin ATA DIKEN ADONARA memiliki perasaan yang sama. Begitulah ekspresiku setiap kali  bercerita tentang Adonara. Teman saya selalu mengatakan,”ya.. kamu harus bangga karena itu siapa  dirimu. Kami tidak memilikinya.  Itu  identitasmu yang menjadikan dirimu unik dan berbeda dari orang lain”.
Lalu Sampai suatu ketika saya bercerita kepadanya. Pada tahun 1936 seorang misionaris Belanda bernama Ernest Vater. Ia memperkenalkan  tanah kelahiranku  lewat tulisaanya.  Sayangnya, Ia bukan menulis  keindahan atau kearifan lokanya.  Ia justru menulis tentang kekerasan dan kejahatannya.  Bahwa Adonara seperti bara dalam sekam. Kapan saja orang akan membunuh secara sadis. Tulisan itu  diberi judul horror: “The Murder Island” Adonara Pulau pembunuh. Sepintas lalu teman saya merasa aneh . Ia lalu  berujar santai,”waktu itu sedang berlangsung perang dunia II. Sangat mungkin  tulisan  Vatter dipengaruhi oleh situasi saat itu. Ia pasti membangun narasinya lewat konteks  kejahatan perang, dimana ada begitu banyak pembunuhan dan korban nyawa.  Vatter sebenarnya sedang berada dalam suatu sejarah  kelam. Itu berarti sudah tidak relevan lagi dengan  generasi sekarang.  Orang Indonesia tidak pernah lagi menyebut bangsa Belanda sebagai bangsa yang buruk. Atau ketika kita berburu fakta tentang Hitler dan kaumnya Natzi.  Mereka membunuh 6 juta kaum Yahudi. Sekarang dunia tidak pernah lagi mengatakan Jerman sebagai bangsa pembunuh. Orang Jerman sekalipun  tidak pernah lagi menoleh kembali ke kejahatan masa lampaunya. Tapi entalah waktu itu Ernest vatter sebagai orang Eropa mengambil kesimpulan secara sepihak, kata temanku.

Antara Idea Vater dan Konsep Idea Plato
Saya bertanya pada diri saya sendiri setalah percakapan Panjang dengan teman.  Lantas mengapa masih saja terjadi pembunuhan?  Mengapa masih ada perang tanding? Bagi orang Adonara ada dua motif utama sampai terjadinya pembunuhan atau perang tanding. Kedua motif itu adalah Wanita dan Tanah. Saya telah melihat konsekwensi sebuah perang tanding. Mereka membakar tempat musuhnya secara brutal.  Mereka  merusak dan mengusir penghuni kampung. Banyak sekali korban jiwa berjatuhan. Hal ini terus terjadi hanya karena masalah tanah dan wanita Adonara. Fenomena ini kemudian menggiring  opini publik bahwa tulisan Vatter masih sangat relevan. Tentu saja saya sebagai ATA DIKEN ADONARA merasa gelisah. Saya harus berani mengatakan tidak.  Bahwa sekiranya  ATA DIKEN ADONARA  tidak seburuk gambaran  Vatter. Perang tanding dan korban nyawa tentu saja masih ada. Bahkan  mereka lebih massif dan mengerikan. Tetapi setidaknya saya perlu menelaah pemikiran  Vatter. Dan saya harus menunjukan dunia luar bahwa di tanah kami masih ada cinta dan  damai.
Memang di satu sisi pemahaman  Vater perlu dimaklumi. Ia berlaku  sangat subyektif dan intuitif. Apalagi pada saat itu, Vatter berhadapan dengan kehidupan yang masih sangat tradisionil. Vatter menghadirkan dirinya sebagai orang Eropa. Ia pasti menempatkan konsep logis and rasional ketika berhadapan dengan orang lokal. Tentu hal itu tidak akan pernah berjalan seiring. Ernest  bahkan mengatakan secara frontal. Baginya pola hidup dan kharakter orang Adonara yang unik pada saat itu tidak dapat diterima secara logika di kalangan orang Eropa. Adalah hal lumrah Karena memang Vatter adalah orang Eropa. Ia  lahir di Eropa. Ia dibesarkan di Eropa. Ia  studi di eropa dengan prilaku dan pola pikir seperti orang Eropa. Kalau dia mau mengerti orang Adoanara seharusnya dia tinggal bersama mereka. Dia harus berani hidup dan berpikir seperti orang Adonara. Kita perlu ingat saat itu kita masih dijajah oleh bangsa Belanda, bangsanya Vatter sendiri. Meskipun secara implisit tentu saja rasa diri sebagai ‘tuanpasti ada. Ia sudah pasti memainkan peranan penting di sana ketika berbicara sebagai TUAN.  Semua orang tahu bahwa  seorang hamba tidak akan pernah lebih tinggi dari tuannya. Seorang hamba akan selalu mengamini apa yang diinginkan oleh Tuannya. Itu berarti Vatter sedang tersandara  dalam kepentingan politik para penguasa yang adalah bangsa Belanda. Tulisan Vatter jauh sebelum kita lahir.  Tapi  kita perlu mengendus   apa yang ada di benak Vatter saat itu.  Di era  itu sangatlah mungkin, pemikiran Vatter berkiblat pada konsep Plato filsuf Yunani kuno akan IDEA. Vater barangkali mengalami shock budaya. Hal itu terlihat seperti perkataan vatter di atas. Bahwa yang diterima oleh Vatter haruslah logis dan rasional. Apalagi saat itu orang orang Eropa seperti Vatter  lebih cenderung condong pada filsafat  Plato akan IDEA, sebagai filosofi dan prinsip hidupnya . Sebagaimana intisasri dari paham Plato  tentang Idea ini selalu berkembang.  Ia selalu berawal dari Idea lalu dikembangkannya sebagai teori logika. Teori logika ini beranak pinak  menjadi falsafah  hidup, yang sampai pada saat ini telah menjadi dasar banyak Ilmu dan kehidupan manusia pada umumnya. Bagi Plato, Idea adalah bentuk yang abadi yang wujudnya adalah dalam alam lain. Idea kita tentang dunia ini hanya merupakan copy dari bermacam-macam derajat kebenaran dari Idea yang abadi.[1] Hal ini terpapar pada suatu keyakinan akan adanya  eksi-stensi idea-idea. Menurut Plato dari seluruh Idea hanya ada satu sebagai yang  terbesar dan tertinggi. Ia menamakannya sebagai  kebaikan atau hal hal yang baik. Dengan demikian segala sesuatu yang berbenturan dengan kebaikan adalah sesuatu yang buruk. ([1]T itus, Smith, N olan, ter. P e r s o a l a n - Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang,1984), 80.
Sampai pada tataran ini tulisan Vatter sepertinya membias ke dalam setali tiga uang. Pada satu sisi Vatter membenarkan konsep Plato.  Sesungguhnya pembunuhan adalah hal yang buruk.  Itu perlu ditolak dan kita semua pasti menerimanya. Sementara pada sisi lain,  Vatter melukai dan melakukan pembunuhan karakter. Ia secara bebas dan jelas mengatakan “Ata diken Adonara adalah kaum pembunuh, ini hal yang kita harus tolak. Di sini kita perlu belajar dari seorang   Karl Poper. Ia berbicara tentang paradox kebebesan. Filsuf kelahiran Austria ini mengatakan bahwa yang disebut paradoks kebebasan adalah argumen tentang  kebebasan. Ia hadir dalam pemahaman  tentang tidak adanya kontrol yang membatasi, tetapi seyogyanya kebebasan itu sedang mengarah pada pengekangan yang sangat besar.  Karena hal itu membuat pelaku intimidasi bebas untuk memperbudak orang yang lemah lembut. Maka benarlah Vatter telah melupakan kelembutan, kesahajaan dan keramahtamahan Ata Diken Adonara yang unik ini.  Di sini Poper mengetuk hati “ATA DIKEN ADONARA”. Ia mengajak kita  untuk secara  tegas menolak  pandangan induktivis klasik tentang metode ilmiah yang mendukung pemalsuan empiris .

Bergerak ke Konsep dialektika Plato
Telah menjadi kenyataan bahwa tulisan vatter  melewati delapan dekade. Sampai pada saat ini  kegelisahan  memuncah. Ia terus menggelitik hatiku untuk tidak pernah membenarkan bahwa Adonara adalah Pulau Pembunuh. Karena kita “ATA DIKEN ADONARA tidak dilahirkan untuk menjadi pembunuh dan dibunuh oleh siapaun juga. Kita selalu percaya bahwa kehidupan dan kematian selalu berada di tangan sang pemilik kehidupan. Dialah sang wujud tertinggi “Ama Rera Wulan Ina Tanah Ekan. simbol yang membahasakan sang pemilik kehidupan. Ia yang maha besar jauh di sana, namun dirasakan pertolongan-Nya dalam kehidupan nyata. Orang Adonara melihat Matahari sebagai bapak, yang nun jauh di sana, tetapi sinar biasnya terasa begitu dekat di tubuh. Demikianpun halnya tanah sebagai ibu yang melahirkan dan tempat kita berpijak. Karena itu kepada sang pemilik kehidupuan, ATA DIKEN ADONARA berserah diri. Maka itu berarti membunuh adalah haram hukumnya, karena ia akan berhadapan dengan sang pemilik kehidupan.
          Vatter secara implisit menggring opini publik dengan diksi yang berkonotasi negative.  Bagaimanapun juga Vater telah melukai  hati kita semua. Ini telah melahirkan pengalaman traumatis yang secara terpaksa kita mewarisinya secara communal. Hal ini secara khusus  ketika kita berhadapan dengan fenomena perang tanding  yang belum juga berkesudahan. Untuk itu sebagai garda terdepan kita perlu berbuat sesuatu. Saatnya kita berusaha untuk menyembukan luka bathin ini.  Tentu ini pekerjaan rumah yang teramat sangat berat. Lantas kapan di mana dan siapa yang diandalkan untuk menyelesaikan pekerjaan rumah ini? Ya sekarang  karena hari besok masih  memiliki kesusahanya sendiri.  Dan Siapa lagi kalau bukan “ATA DIKEN ADONARA” ? Karena memahami Ata Diken Adonara berarti harus memahami kompleksitasnya  secara  sosial, spiritual, budaya dan Adat istiadatnya. Dan memang hanya kita orang Adonara saja  yang bisa mengerti seperti orang Adonara, berjiwa Adonara dan menyelesaikannya secara ATA DIKEN Adonara. Hari Ini kita telah bergerak bersama dengan leher tegak atas nama “ATA DIKEN ADONARA. Kita harus merasa bangga denga putra putri Adonara yang berkualitas. Kita mempunya pemikir, penulis, akademisi dan politisi berskala Nasional maupun Internasional. Di sini di ruang diskusi EPU ORING ADONARA’  pai Puin Ta’an Uin To’u, Gahan Ta’an Kahan Ehan, Pai Ta’an tou” atau “Marilah kita bersatu padu. Secara sukarela kita sudah dan sedang merasa terpanggil untuk menggedor tulisan Vatter.  Bahwa ia ternyata masih lupa  teori Dialektikanya Plato. Vatter lupa bahwa  ATA DIKEN ADONARA pada waktu itu telah mengenal dan mempraktekan konsep dialektikanya Plato. Kalau di Adonara bagian Ile Boleng konsep dialektika Plato dikenal dengan nama “KEPULANG”. Di mana masyarakat duduk bermusyawah Bersama. Dalam kebersamaan itu mereka memutuskan dan menghasilkan kesepakatan secara bersama-sama demi kepentingan komunitas.  Maka di EPU ORING ADONARA ini kita sedang menyuarakan salah satu kearifan lokal kita “Kepulang” dalam diskusi yang selaras  dengan konsep dialektika Plato yang keren ini. Bagi Plato  untuk menuju pada suatu tujuan yang paling puncak, Plato mengajukan metode dialog. Baginya, dialog ialah metode filosofis paling utama dan merupakan seni manusiawi paling tinggi. Maka ia mempertahankan dialektika sebagai keahlian mengajukan pertanyaan dan memberikan jawaban. (2Anton Bakker, Metode-Metode Filsafat 34)

Di ruang diskusi EPU ORING ADONARA ini, kita bersama mencoba mendaki menapaki puncak seni manusia yang paling tinggi ala Plato. Di sini kita duduk bercerita, berdialog , berdiskusi  bertanya dan menjawab,  menggali kearifan local kita yang semakin tertindas dibawa kemajuan modern dan tekhnologi.  Mari kita  bersama mencoba untuk mencari yang hampir saja  hilang itu.  Sembari kita berusaha untuk mencintainya kembali. Kita mencintainya  seperti perasaan seseorang yang sedang kehilangan kekasih hatinya.   Tentu dengan  sejuta harapan bahwa ketika menemukannya,  kita tidak akan pernah mau kehilangan yang kedua kalinya ( “We love her until we almost lost her but now we found her and we never ever let her go again).  

Kembali ke Kearifan Lokal
Pendekatan dialektika ini akan mengantar kita pada batasan yang nyata dalam dimensi dan skup Adonara. Di sini konsep dialektika Plato membantu kita menjadi jembatan. Kita menjembatani terobosan kita dengan paradigma dan realitas secara keseluruhan di tanah Adonara. Selain “kepulang”, ada beberapa kearifan   lokal lainnya, misalnya Gemohin (gotong royong ). Hal ini sebenarnya menjadi kekuatan dasar untuk kita berpijak secara sosial, ekonomi maupun politik.  Dari dulu sampai sekarang kita selalu bergotong royong. Dalam  menyelesaikan persoalan sekecil atau seberat apapun, berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Beban kerja atau persoalan sebesar apapun akan menjadi ringan karena setiap orang mengambil bagian di dalamnya.
Kita harus merasa bangga karena  Gemohin ini sudah ada sejak founding father kita dari abad XVI atau mungkin juga sebelumnya. Gemohin memiliki dampak sosial yang luar biasa. Kita perlu bangga karena ia lahir  sebelum lahirnya tokoh sosialist Karl Marx. Jiwa sosial Ata Diken Adonara ini hanya dimengerti oleh orang Adonara. Orang lain tidak akan pernah mengertinya. Bahkan  mereka akan merasa aneh dengan jiwa sosial kita. Pernah di tahun 2014 dan 2017, saya bersama orangtua angkat dari Minneasota, salah satu negara bagian Amerika Serikat berlibur sebulan di kampung Lewopao - Ile Boleng. Kebetulan bertepatan dengan pesta-pesta adat yang selalu dirayakan pada akhir Mei sampai Agustus. Waktunya memang harus  sesuai dengan keputusan pemangku Adat Lewopao. Kedua orangtua Amerika ini merasa begitu aneh dan heran. Alasannya karena kita selalu berkumpul. Lalu mereka melihat begitu banyak orang yang datang menghantar bagiannya “PENANG”.  Begitupun ketika makan Bersama secara adat dalam skala suku atau sekampung. Di sana ada begitu banyak hewan (Kambing dan Babi) yang dikorbankan. Mereka merasa penasaran lalu melontarkan seribu satu macam pertanyaan. Mereka bertanya, apakah kebiasaan mereka di sini sudah seperti ini? Lalu siapa yang memberi mereka makan? Dari mana semua hewan korban diperoleh? Berapa jumlah uang yang harus dikeluarkan setiap kali mengadakan pesta? Saya berusaha menjelaskan sebaik mungkin. Mereka tetap saja tidak mengerti. Bahkan mereka mengatakan, kami tidak dapat mengerti karna pesta tidak pernah putus. Kami mungkin tidak mampu karena uang simpanan kami pasti selesai seketika.  Lalu bagaimana dengan kehidupan kami selanjutnya”. Singkat saja saya katakana, ya.. kamu tidak mengerti.  Kamu  tidak akan pernah mengerti karena kamu hanyalah pengunjung. Karena kaum capitalist seperti kamu berdua ini sulit memahami secara logis dan rasional. Saya yakin kamu pasti akan merasa diri menjadi seperti orang gila. Apalagi ketika harus memberi ratusan bahkan ribuan orang makan seperti ini. Mereka merasa aneh dan tidak dapat mengerti jiwa sosial kita. Karena mereka bukan orang Adonara.  Tetapi saya bisa mengerti mereka, karena mereka berjiwa kapitalis. Saya mengerti mereka dengan prinsip hidup yang terikat dengan Budget. Sekecil apapun pengeluaran harus dicatat, dan dikalkulasi. Kita tidak mengenal hal itu. Karena kita menjujung nilai-nilai sosial sebagi yang pertama dan utama. Prinsip hidup dari nenek moyang kita adalah memberi tidak akan pernah membuat kita miskin. Kita boleh miskin secara material tapi hati kita tidak pernah miskin.
Sebaliknya  kenyataan yang saya alami setiap kali berlibur ke rumah mereka di negara bagian Minnesota. Saya begitu prihatin dan kasihan melihat kaum lansia di panti-panti jompo atau di apartemen-apertemen mereka. Mereka hidup dalam kesendirian, sunyi dan sepi melanda hari hari tua mereka. Kadang saya bertanya di mana anak-anak mereka dan cucu-cucu mereka. Semua sibuk kerja, kerja dan kerja. Kalaupun ada waktu itupun diakhir pekan. Bahkan sekali waktu kedua orangtua itu bercerita tentang  anak dari teman mereka. Ia sebagai seorang pengacara. Ayahnya terpaksa tinggal sendirian di apartement selepas kematian ibunya. Ya, begitu sunyi dan selalu mengharapkan kehadiran sosok putrinya. Kebetulan putrinya adalah satu-satunya anak mereka. Tetapi putrinya begitu sibuk dan tak pernah ada waktu sedikitpun bertemu. Betapa malangnya nasib sang ayah sampai suatu ketika di telponnya sang putri, “putriku saya baik baik saja, tetapi saya sangat rindu mengharapkan kehadiran dirimu. Ternyata apa yang dijawab oleh sang putri begitu mengejutkan. Ayah pasti tahu dan mengerti anakmu sangat sibuk setiap hari dengan agenda, klien , pertemuan dan sidang di pengadilan yang tak pernah putus-putusnya. Lalu ayahnya menjawab, apakah engkau masih sempat datang di hari penguburanku? Sang putri merasa sedih dan berkata, mengapa ayah berkata demikian? Ya aku membutuhkan kehadiran dirimu sekarang ini, karena itu lebih penting dari tangisan dirimu di saat ayahmu dalam balutan kain kafan, jawab ayahnya dari seberang.
Cerita di atas selalu mengingatkan kita “Ata Diken Adonara” yang sosial dan kolektif.  Hal seperti ini jarang dan bahkan hampir tidak pernah terjadi pada kita. Kita sebagai anak, cucu dan cece  secara alamiah memiliki tanggung jawab moral. Kita tidak pernah merasa terpaksa untuk berada di dekat orangtua kita. Bahkan kita berani mengorbankan semuanya demi kebahagiaan orangtua kita sampai diakhir hayat hidup mereka. Orientasi kekeluargaan dan kolektivitas kita begitu kuat erat melakat.  Hal ini tidak ada pada mereka.  Di satu sisi saya mengerti bahwa situasi memaksa mereka untuk tidak lagi memiliki rasa kedekatan. Rasa alamiah secara kolektive dan kekeluargaan sebagai skala prioritas yang sudah terkikis habis oleh mental mereka sebagai kaum kapitalis. Orientasi mereka telah berubah dari komunal ke  egosentris yang besar dan indivudalisme yang tinggi.
 Kita dengan mereka sama sama manusia. Tapi Kita lahir dari pola dan tatanan hidup yang berbeda. Sampai pada saatnya kita menutup usia sekalipun kita masih  berbeda dengan mereka. Betapa menyedihkan ketika saya harus menyaksikan peristiwa hidup mereka seperti ini. Saya selalu mengatakan kepada mereka bahwa kehidupan orang Adonara sangat unik.  Ketika dilahirkan kami memang menangis sendirian, tetapi ketika kami mati, ada ratusan bahkan ribuan orang yang menangsi diri kami.  Dan ini benar adanya.
Berbeda lagi ketika saya berada di Mexico untuk belajar bahasa Spanyol. Saya selalu mendengar ungkapan popular mereka, como Mexico no hay dos” artinya seperti Mexico tidak ada duanya. Mereka begitu bangga tentang kehidupan social dan budaya mereka.  Setidaknya ada sedikit kesamaan antara kita dengan mereka. Orientasi kekeluargaan dan kolektivitas masih sangat kuat. Saya sendiri merasa begitu nyaman seperti berada di antara “Ata Diken Adonara”. Mereka selalu berkumpul bersama keluarganya sekalipun sibuk dengan begitu banyak pekerjaan.  Sangat jelas terlihat mereka begitu menikmati dan memaknai makna kehidupan mereka.  Orientasi mereka selalu  merujuk pada  satu darah yang termaktub dalam keluarga dan kolektivitas. Entah apapun kehidupan yang dialami dalam suka maupun duka. Mereka  semuanya turut mengambil bagian. Demikianpun di Karibia ketika saya bekerja dengan kaum immigrant yang berbahasa Spanyol. Saya selalu dekat dengan mereka . Saya selalu percaya “Ata Diken Adonara “ selalu memiliki hati yang tulus. Kita  mendekati dan menerima siapun juga. Saya merasa mereka dekat dengan saya demikianpun sebaliknya  saya merasa dekat dengan mereka.
Lain lagi ketika saya bekerja beberapa bulan  di Irlandia. Waktu itu Saya tinggal dan bekerja di daerah pedesaan Irlandia. Orang orang begitu ramah. Pintu rumah mereka selalu terbuka untuk kita. Orang-orang di jalanan selalu tersenyum sambil mengucapkan selamat. Percakapan pertama disetiap hari baru selalu dimulai  adalah  cuaca. Maklum cuaca di Irlandia berubah ubah tak menentu. Sesibuk apapun mereka pasti selalu ada waktu di akhir pekan untuk berkumpul bersama keluarga. Mereka menyanyi dan menari sambil menikmati kehangatan guines.  Ada kedekatan bathin tersendiri dan aku sungguh-sungguh menikmatinya.
Slogan Mexico , kehangatan orang orang pedesaan di Irlandia  mengajaku kembali ke Nusa Tadon Adonara. Entah secara sadar ataupun tidak, ATA DIKEN ADONARA’ adalah manusia yang ramah tama. Kita selalu membuka pintu rumah untuk siapa saja. Ini terlihat dari ajakan “welcoming”. Di jalan bawah disebut dengan kata “Peradok”.  Setiap orang yang berjalan melewati pekarangan rumah pasti ditegur, disapa dan diundang. Terlebih orangtua  selalu mengajak mereka untuk singgah walaupun hanya sebentar saja. Bagi kaum pria mereka diajak untuk “golo kebako” atau merokok dan “tekan wua malu” atau bersirih pinang untuk kalangan wanita. Begitupun sebaliknya ketika kita berjalan melewati pekarang rumah orang lain. Selalu ada sapaan yang sama. 
Hal berikutnya sebagai ekspresi keramahtamahan “Ata Diken Adonara adalah salaman. Kalau di jalan bawah kita mengenal salamat dengan sebutan yang amat popular “Kereu” selamat jalan atau selamat tinggal. Sebutan ini sebagai tanda penghargaan terhadap orang. Menariknya ucapan kata Kereu ditujukan sesuai status sosialnya, orang terpandang, yang tidak dikenal, orang sebaya, atau orangtua.
Dan filosofi serta prinsip hidup yang menjadi kekuatan dasar bagi ATA DIKEN ADONARA” adalah “KODA” Kata, bahasa. Mereka yang menetap di Adonara ataupun di luar mengerti apa itu Koda. koda menjadi kekuatan untuk berkata dan berbuat dalam kehidupan holistic ATA DIKEN ADONARA. Ungakapan “kodaham mureka pe moe morin, kodaham nalane moe matayo” engkau akan hidup kalau engkau benar tapi engkau akan mati kalau engkau salah. Karena kita percaya bahwa kehidupan “Ata Diken Adonara “  pada mulanya adalah “koda” Ia hadir di bumi menjelma menjadi manusia. Koda dipercaya menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan  bahkan kehidupan ataupun  kematian.
Kearifan lokal  ini rupanya sudah sedikit  mengalami degradasi nilai dalam setting kehidupan masyarakat. Ketika kita kembali ke kampung halaman. Saat ini  terlihat jelas pada tatanan  interaksi sosial antar warga. Sangat menyedihkan generasi sekarang. Mereka secara perlahan mengadopsi pola hidup kekinian yang tidak lagi berakar pada tradisi budaya.  Pada hal kehidupan ATA DIKEN ADONARAselalu merasa indah ketika berada dalam keharmonisan dan  keseimbangan bersama.  Saya mengalami sendiri ketika berlibur di kampung halaman. Orang sudah mulai belajar lupa hanya membalas ucapan selamat “kereu”.  Kita patut merasah resah dan gelisah. Karena  keharmonisan antara sesama manusia, alam dan wujud tertinggi sebagai bagian yang tak terpisahakan dalam tatanan kosmis secara perlahan terkikis esensinya.  

Akhir kata
Pada akhirnya saya harus mengatakan bahwa kita ATA DIKEN ADONARA bukanlah pembunuh. Kita adalah orang orang yang berwatak keras tapi  berhati selembut kapas. Persoalannya  kita menerima segala sesuatu entah baik atau buruk secara harafia dalam hati kita. Kita menumpuknya di dalam hati tanpa mencernanya lewat akal sehat kita. Ya saya sendiri mengalami itu. Saya mengalami kesulitan di saat-saat awal. Ketika berhadapan dengan orang orang Eropa atau Amerika. Misalnya Kita beradu argument. Menurut mereka hal biasa kalau argument itu logis dan rasional walaupun terkesan sangat kasar. Saat ini sebentar lagi mereka sudah lupa dan move on. Tapi untuk saya selalu butuh waktu. Apa lagi orang-orang di kampung kita.  Sulit sekali bagi siapapun untuk memaafkan siapa saja yang melukai orang dengan  kata- kata apalagi membunuh orang yang dicintainya. 
Untuk itu sebagai “deket murine” generasi baru marilah kita bergerak ke arah pendekatan dialektis. Karena di sana sudah ada darah yang tercecer, “mei nawa” . Di sana ada luka bathin yang mengangah. Di sana sudah ada pengalaman traumatis.  Kita masih belum terlambat. Kita sudah memulia hal yang baik. Sebagai garda terdepan kita harus kembali ke Lewotanah. kita berjibaku bersama para pemangku adat  dengan pendekatan dialektika ini. Seraya menghidupkan kembali kearifan lokal kita untuk menjaga keharmonisan secara menyeluruh. Kita tahu Sekalipun orangtua kita nyaman dalam kemapanan berpikirnya. Tetapi kita harus mencobanya dan jangan pernah menyerah. Ingat bahwa jangan pernah bayangkan bahwa kita akan mejadi provokator. Kita mesti mejadi obor pembawa terang di tengah kegelapan. HEKE MEGE

April 2020
St Maarten, kepulauan Karibia
Yohanes Sili Mudamakin, SVD




6 komentar:

  1. Luarbiasa ama...trskan karya sebagai penggembala n KLU bisa cungkilah sejarah n tradisi ADONERA sebagai penerapan ilmu untk generasi sebagai Anak ADDONARA yg akan datang ..GBU

    BalasHapus
  2. Tulisan Tuan moem ni SANGAT mencerahkan... Secara pribadi goe juga sering gelisah dengan terkikisnya nilai ATA DIKEN ADONARA.... Mudah2an tulisan ni bisa dibaca dan dihayati lalu diamalkan oleh generasi muda Adonara... Senareko Tuan....

    BalasHapus
  3. Ade Tuan, tulisan moen luar biasa. Menggugah kesadaran dan memotivasi... Salam sehat dan terus berkarya sebagai gembala di negeri orang.

    BalasHapus
  4. Mantap Jiwa Ama Pater go suka baca tulisanmu ini luar biasa...

    BalasHapus
  5. Mantap ama Pater..tulisan yg luar biasa👍👍

    BalasHapus
  6. Mantap padre YES..

    BalasHapus