![]() |
Yohanes Sili Muda Makin, SVD |
Sejarah Hindia Belanda sebuah
paradoks
Saat ini saya bekerja di St Maarten, kepulauan Karibia. Pulau
ini memiliki luas 1/3 dari Pulau solor. Walaupun begitu ia masih terbagi dua.
Di bagian Timur adalah wilayah Belanda. Sementara di bagian barat merupakan
daerah administrative Prancis. Ada kegembiraan dan kesadaran Belanda-isme di
satu sisi. Di sisi lain ada savoir-faire
dari Prancis. Kombinasi keduanya meghasilkan warisan Eropa yang eksotis dan
cosmopolitan. Kita bisa mendegar seseorang berbicara multy bahasa hanya dalam
satu kesempatan saja. Anak-anak mereka setidaknya menguasai 4 bahasa: Inggris,
Prancis, Belanda dan Spanyol. Kitapun menjadi terpacu untuk berbicara multi
bahasa. Umumnya orang orang selalu bergembira. Mereka sungguh menikmati hidup dengan satu slogan khas : St Maarten the friendly Island.
Tambahan pula lusinan pantai dan laguna
yang menebar pesona. Hotel-hotel mewah, villa-villa elegan,
dan lebih dari 300 restoran berseliweran di pulau sekecil ini. Semua koki hebat
dari Eropa, Amerika, atau Asia bersaing memanjakan
lidah para pencinta kuliner. Mereka menyediakan kuliner yang setara dengan kuliner terbaik dari Paris
atau New York. Jet-jet jumbo dari berbagai
belahan dunia mendarat di sini. Orang-orang berbelanja sepuasnya tanpa pajak. Ini adalah kombinasi hebat dari Belanda
dan Perancis. Mereka telah mengubah
pulau ini menjadi tempat liburan yang sangat menarik. Dunia luar akhirnya mengerti
mengapa St. Maarten selalu mejadi salah satu tujuan wisatawan mancanegara.
Mungkin orang akan bertanya. Ada apa
dibalik deskripisi ini? Saya memang sengaja menulisnya, karena saya merasa sedang berada di kampung sendiri. Saya
merasa dekat dan sepertinya ada perasaan ikatan bathin dengan mereka. Bahkan orang-orang St
Maarten selalu bercanda, bahwa kita masih
memiliki DNA yang sama. Bahwa kita pernah belajar sejarah yang sama. Dalam
buku sejarah yang sama pula, kita menemukan adanya sebutan Hindia Timur Belanda
dan Hindia Barat Belanda. Indonesia
adalah Hindia Timur Belanda. Sedangkan St Maarten adalah Hindia Barat Belanda.
Tidak mengherankan, mereka masih sangat menyukai kuliner Indonesia. Mereka
suka makan nasi goreng dan soto. Bahkan mereka menyebutnya “nasi goreng
dan soto sama seperti kita. Kalau saya berkujung ke rumah mereka, pasti di sana
ada Sambal ulek, kerupuk dan kecap manis. Akan tetapi semuanya ini tentu tidak membiarkan saya tinggal dalam kenyamanan. Bagaimanapun
juga St Maarten hanyalah sebuah tempat
persinggahan sementara . Saya tidak mungkin menetap selamanya di sini . Apalagi saya hanyalah seorang
misionaris. Kapan dan dimana saja saya
selalu siap pergi. Maka kini saatnya saya
harus kembali ke rumah. Rumah di mana saya dilahirkan. Di sini saya merasa,
bahwa cinta akan rumahku telah menghanguskan daku. Entalah, Adonara sedang
memangil pulang.
Pada tataran ini saya harus berkata jujur.
Kadang kala saya merasa marah pada ketidakadilan hidup ini. Saya selalu
bertanya dalam hati. Kapan kita, Nusa Todon Adonara bisa seperti St Maarten. Padahal
kita sama-sama yang nota bene memiliki sejarah yang sama. Apalagi ketika kita kembali ke tanah Nusa
Tadon. Tanah kita adalah tanah yang
kaya. Alam kita adalah alam yang indah. Laut-laut kita menghasilkan ikan
yang berlimpah ruah. Pantai-pantai kita juga
tidak kalah indah dengan keindahan pantai-pantai Karibia. Warisan budaya serta adat istiadat juga tidak
kalah memperkaya identitas diri kita. Lebih dari itu tanah kita telah
melahirkan putra-putri yang berkualitas. Mereka bahkan bersaing dalam segala
segi kehidupan baik dalam skala local, nasional maupun internasional. Lantas mengapa
perubahan kita masih stagnant? saya
belum melihat suatu perubahan yang significan. Infrasctruktur kita yang masih
sangat minim. Keindahan alam kita yang masih belum tertatah rapi. Produk-produk
lokal kita masih berada di level pasaran lokal. Dan seringkali kita masih salah
kapra dengan karakter ‘ATA DIKEN ADONARA’ yang
keras. Saya terus bertanya tapi belum juga mendapat jawaban yang pasti.
Antara cerita Polandia dan
Adonara
Pertanyaan demi pertanyaan mendesak saya
untuk berbagi dengan rekan kerja. Kebetulan saya bekerja dengan seorang misionaris Polandia. Kami selalu
bercerita dan bertukar pikiran tentang latar
belakang sosial budaya dan peradaban
kami. Ada rasa senang dan bangga karena terlahir dari keunikan budaya tersendiri.
Temanku bercerita banyak tentang sejarah kelam negrinya. Dari hilangnya nama Polandia sebagai status sebuah negara selama 100-an
lebih tahun. Masa-masa sulit yang
menghimpit kehidupan kedua orang tuanya
di saat perang dunia kedua. Etnic cleansing dari rezim Nazi yang berimbas ke Polandia. Kebebasan yang tersandra oleh Rezim Komunist yang
dialaminya sendiri. Dan masih banyak
cerita kelam yang membekas dihatinya.
Begitupun sebaliknya saya. Saya selalu bercerita berapi -api. bahwa dulu negara kami dijajah oleh belanda selama 3 ½
abad. Penderitaan, tekanan dan kemelaratan datang silih berganti. Bahkan
Belanda membaptis negeri kami sebagai Hindia Timur
Belanda. Di sana, di bagian Timur terdapat sebuah pulau kecil. Tempat saya di
lahirkan dan dibesarkan. Pulau itu adalah
Adonara. Di pulau itu kami terkenal dengan manusia berwatak keras
tetapi berhati lembut. Kami masih memegang teguh
nilai-nilai luhur tradisi dan kearifan lokal. Dan hidup kami selalu berdasarkan
pada tiga tungku utama yakni : Adat,
Pemerintah dan Agama. Ketiganya harus berjalan selaras. Alasannya untuk menjaga keharmosnisan hidup secara
individu maupun komunitas. Ada hal yang
tidak dapat diekspresikan dengan kata-kata. Mungkin
bagi orang lain adalah sebuah keanehan diperadaban modern ini . Tetapi hal itu
tidak bagi kami. Ia sudah menyatu dengan darah daging kami. Hal ini membuat kami unik dan merasa berbeda dari yang lain. Dan saya
selalu yakin ATA DIKEN ADONARA memiliki perasaan yang sama. Begitulah
ekspresiku setiap kali bercerita tentang
Adonara. Teman saya selalu mengatakan,”ya.. kamu harus bangga karena itu siapa dirimu. Kami tidak memilikinya. Itu
identitasmu yang menjadikan dirimu unik dan berbeda dari orang lain”.
Lalu Sampai suatu ketika saya bercerita kepadanya.
Pada tahun 1936 seorang misionaris Belanda bernama Ernest Vater. Ia memperkenalkan tanah kelahiranku lewat tulisaanya. Sayangnya, Ia bukan menulis keindahan atau kearifan lokanya. Ia justru menulis tentang kekerasan dan
kejahatannya. Bahwa Adonara seperti bara
dalam sekam. Kapan saja orang akan membunuh secara sadis. Tulisan itu diberi judul horror: “The Murder Island” Adonara
Pulau pembunuh. Sepintas lalu teman saya merasa aneh . Ia lalu berujar santai,”waktu
itu sedang berlangsung perang dunia II. Sangat mungkin tulisan
Vatter
dipengaruhi oleh situasi saat
itu. Ia pasti membangun narasinya lewat konteks
kejahatan perang, dimana ada begitu banyak
pembunuhan dan korban nyawa. Vatter sebenarnya sedang berada dalam suatu sejarah kelam. Itu berarti
sudah tidak relevan lagi dengan generasi sekarang. Orang Indonesia tidak pernah lagi menyebut
bangsa Belanda sebagai bangsa yang buruk. Atau
ketika kita berburu fakta tentang Hitler dan kaumnya Natzi. Mereka
membunuh 6 juta kaum Yahudi. Sekarang dunia tidak pernah lagi mengatakan Jerman
sebagai bangsa pembunuh. Orang Jerman sekalipun tidak pernah lagi menoleh kembali ke kejahatan
masa lampaunya. Tapi entalah waktu itu Ernest vatter
sebagai orang Eropa mengambil kesimpulan secara sepihak, kata temanku.
Antara Idea Vater dan Konsep
Idea Plato
Saya bertanya pada diri saya sendiri
setalah percakapan Panjang dengan teman. Lantas mengapa masih saja terjadi pembunuhan? Mengapa masih ada perang tanding? Bagi orang
Adonara ada dua motif utama sampai terjadinya pembunuhan atau perang tanding.
Kedua motif itu adalah Wanita dan Tanah. Saya telah melihat konsekwensi sebuah
perang tanding. Mereka membakar tempat musuhnya secara brutal. Mereka merusak
dan mengusir penghuni kampung. Banyak sekali korban jiwa berjatuhan. Hal ini
terus terjadi hanya karena masalah tanah dan wanita Adonara. Fenomena ini
kemudian menggiring opini publik bahwa
tulisan Vatter masih sangat relevan. Tentu saja saya
sebagai ATA DIKEN ADONARA merasa gelisah. Saya harus berani mengatakan tidak. Bahwa sekiranya ATA DIKEN ADONARA tidak seburuk gambaran Vatter.
Perang tanding dan korban nyawa tentu saja masih ada. Bahkan mereka lebih massif dan mengerikan. Tetapi setidaknya saya perlu menelaah pemikiran Vatter.
Dan saya harus menunjukan dunia luar bahwa di tanah kami masih ada cinta dan damai.
Memang di satu sisi pemahaman Vater perlu dimaklumi. Ia berlaku sangat subyektif dan intuitif. Apalagi pada
saat itu, Vatter berhadapan dengan kehidupan yang masih
sangat tradisionil. Vatter menghadirkan dirinya sebagai
orang Eropa. Ia pasti menempatkan konsep logis
and rasional ketika berhadapan dengan orang lokal. Tentu hal itu tidak akan
pernah berjalan seiring. Ernest bahkan
mengatakan secara frontal. Baginya pola hidup dan kharakter orang Adonara yang
unik pada saat itu tidak dapat diterima secara logika di kalangan orang Eropa.
Adalah hal lumrah Karena memang Vatter adalah
orang Eropa. Ia lahir di Eropa. Ia dibesarkan
di Eropa. Ia studi di eropa dengan
prilaku dan pola pikir seperti orang Eropa. Kalau dia mau mengerti orang
Adoanara seharusnya dia tinggal bersama
mereka. Dia harus berani hidup dan berpikir seperti orang Adonara. Kita perlu
ingat saat itu kita masih dijajah oleh bangsa Belanda, bangsanya Vatter sendiri. Meskipun secara implisit tentu saja rasa
diri sebagai ‘tuan’ pasti ada. Ia sudah pasti memainkan peranan
penting di sana ketika berbicara sebagai TUAN. Semua orang tahu bahwa seorang hamba tidak akan pernah lebih tinggi
dari tuannya. Seorang hamba akan selalu mengamini apa yang diinginkan oleh
Tuannya. Itu berarti Vatter sedang tersandara dalam kepentingan politik para penguasa yang
adalah bangsa Belanda. Tulisan Vatter jauh sebelum kita lahir. Tapi kita perlu mengendus apa
yang ada di benak Vatter saat itu. Di era itu sangatlah mungkin, pemikiran Vatter berkiblat pada konsep Plato filsuf Yunani kuno akan
IDEA. Vater barangkali mengalami shock budaya. Hal itu terlihat seperti perkataan vatter di
atas. Bahwa yang diterima oleh Vatter
haruslah logis dan rasional. Apalagi saat itu orang orang Eropa seperti Vatter lebih cenderung condong pada filsafat Plato akan IDEA, sebagai filosofi dan prinsip
hidupnya . Sebagaimana intisasri dari paham Plato tentang Idea ini selalu berkembang. Ia selalu berawal dari Idea lalu
dikembangkannya sebagai teori logika. Teori logika ini beranak pinak
menjadi falsafah hidup, yang
sampai pada saat ini telah menjadi dasar banyak Ilmu dan
kehidupan manusia pada umumnya. Bagi Plato, Idea adalah bentuk yang abadi yang
wujudnya adalah dalam alam lain. Idea kita tentang dunia ini hanya merupakan
copy dari bermacam-macam derajat kebenaran dari Idea yang abadi.[1]
Hal ini terpapar pada suatu keyakinan akan adanya eksi-stensi idea-idea. Menurut Plato dari
seluruh Idea hanya ada satu sebagai yang terbesar dan tertinggi. Ia menamakannya
sebagai kebaikan atau hal hal yang baik.
Dengan demikian segala sesuatu yang berbenturan dengan kebaikan adalah sesuatu
yang buruk. ([1]T itus, Smith, N olan, ter. P e r s o a l a
n - Persoalan Filsafat, (Jakarta: Bulan Bintang,1984),
80.
Sampai pada tataran ini tulisan Vatter sepertinya membias ke dalam setali tiga uang. Pada
satu sisi Vatter membenarkan konsep Plato. Sesungguhnya
pembunuhan adalah hal yang buruk. Itu perlu
ditolak dan kita semua pasti menerimanya. Sementara pada sisi lain, Vatter
melukai dan melakukan pembunuhan karakter. Ia secara bebas dan jelas mengatakan
“Ata diken Adonara adalah kaum pembunuh, ini hal yang kita harus tolak. Di sini
kita perlu belajar dari seorang Karl
Poper. Ia berbicara tentang paradox kebebesan. Filsuf kelahiran Austria ini
mengatakan bahwa yang disebut paradoks kebebasan adalah argumen tentang kebebasan. Ia hadir dalam pemahaman tentang tidak adanya kontrol yang membatasi,
tetapi seyogyanya kebebasan itu sedang mengarah pada pengekangan yang sangat
besar. Karena
hal itu membuat pelaku intimidasi bebas untuk memperbudak orang yang lemah
lembut. Maka benarlah Vatter telah melupakan
kelembutan, kesahajaan dan keramahtamahan Ata Diken Adonara yang unik ini. Di sini Poper mengetuk hati “ATA DIKEN
ADONARA”. Ia mengajak kita untuk secara tegas menolak pandangan induktivis klasik tentang metode
ilmiah yang mendukung pemalsuan empiris .
Bergerak ke Konsep dialektika
Plato
Telah menjadi kenyataan bahwa tulisan vatter melewati
delapan dekade. Sampai pada saat ini kegelisahan
memuncah. Ia terus menggelitik hatiku untuk
tidak pernah membenarkan bahwa Adonara adalah Pulau Pembunuh. Karena kita “ATA
DIKEN ADONARA” tidak dilahirkan untuk menjadi pembunuh
dan dibunuh oleh siapaun juga. Kita selalu percaya bahwa
kehidupan dan kematian selalu berada di tangan sang pemilik kehidupan. Dialah
sang wujud tertinggi “Ama Rera Wulan Ina Tanah
Ekan”. simbol yang membahasakan sang pemilik
kehidupan. Ia yang maha besar jauh di sana, namun dirasakan pertolongan-Nya
dalam kehidupan nyata. Orang Adonara melihat Matahari sebagai bapak, yang nun
jauh di sana, tetapi sinar biasnya
terasa begitu dekat di tubuh. Demikianpun halnya tanah sebagai ibu yang
melahirkan dan tempat kita berpijak. Karena itu kepada sang pemilik kehidupuan, ATA DIKEN ADONARA
berserah diri. Maka itu berarti membunuh adalah haram hukumnya, karena ia akan
berhadapan dengan sang pemilik kehidupan.
Vatter secara
implisit menggring opini publik dengan diksi yang
berkonotasi negative. Bagaimanapun juga
Vater telah melukai hati kita semua. Ini telah melahirkan pengalaman traumatis yang secara
terpaksa kita mewarisinya secara communal. Hal ini secara khusus ketika kita berhadapan dengan fenomena perang
tanding yang belum juga berkesudahan.
Untuk itu sebagai garda terdepan kita perlu berbuat sesuatu. Saatnya kita
berusaha untuk menyembukan luka bathin ini. Tentu ini pekerjaan rumah yang teramat sangat
berat. Lantas kapan di mana dan siapa yang diandalkan untuk menyelesaikan
pekerjaan rumah ini? Ya sekarang karena
hari besok masih memiliki kesusahanya
sendiri. Dan Siapa lagi kalau bukan “ATA
DIKEN ADONARA” ? Karena memahami Ata Diken Adonara berarti
harus memahami kompleksitasnya secara
sosial, spiritual,
budaya dan Adat istiadatnya. Dan memang hanya kita orang Adonara saja yang bisa mengerti seperti orang Adonara,
berjiwa Adonara dan menyelesaikannya secara ATA DIKEN Adonara. Hari Ini kita telah
bergerak bersama dengan leher tegak atas nama “ATA DIKEN ADONARA”. Kita harus merasa bangga denga putra putri Adonara
yang berkualitas. Kita mempunya pemikir, penulis, akademisi dan politisi berskala
Nasional maupun Internasional. Di sini di ruang
diskusi EPU ORING ADONARA’ pai Puin Ta’an Uin To’u, Gahan Ta’an Kahan Ehan, Pai Ta’an tou”
atau “Marilah kita bersatu padu. Secara sukarela
kita sudah dan sedang merasa
terpanggil untuk menggedor tulisan Vatter. Bahwa ia ternyata masih lupa teori Dialektikanya Plato. Vatter lupa bahwa
ATA DIKEN ADONARA pada waktu itu telah mengenal dan mempraktekan konsep
dialektikanya Plato. Kalau di Adonara bagian Ile Boleng konsep dialektika Plato dikenal dengan nama
“KEPULANG”. Di mana masyarakat duduk bermusyawah Bersama. Dalam kebersamaan itu
mereka memutuskan dan menghasilkan kesepakatan secara bersama-sama demi kepentingan komunitas. Maka di EPU ORING ADONARA ini kita sedang menyuarakan
salah satu kearifan lokal kita “Kepulang” dalam diskusi
yang selaras dengan konsep dialektika Plato yang keren ini. Bagi Plato untuk menuju pada suatu tujuan yang paling
puncak, Plato mengajukan metode dialog. Baginya, dialog ialah metode filosofis paling utama dan
merupakan seni manusiawi paling tinggi. Maka ia mempertahankan dialektika
sebagai keahlian mengajukan pertanyaan dan memberikan jawaban. (2Anton Bakker, Metode-Metode
Filsafat 34)
Di ruang diskusi EPU ORING ADONARA ini, kita bersama mencoba mendaki
menapaki puncak seni manusia yang paling tinggi ala Plato. Di sini kita duduk
bercerita, berdialog , berdiskusi
bertanya dan menjawab, menggali kearifan
local kita yang semakin tertindas dibawa kemajuan modern dan tekhnologi. Mari kita
bersama mencoba untuk mencari yang hampir
saja hilang itu. Sembari kita berusaha untuk mencintainya kembali.
Kita mencintainya seperti perasaan
seseorang yang sedang kehilangan kekasih hatinya. Tentu dengan sejuta harapan bahwa ketika menemukannya, kita tidak akan pernah mau kehilangan yang
kedua kalinya ( “We love her until we almost lost her but now we found her and
we never ever let her go again).
Kembali ke Kearifan Lokal
Pendekatan dialektika
ini akan mengantar kita pada batasan yang nyata dalam dimensi dan skup Adonara.
Di sini konsep dialektika Plato membantu kita menjadi jembatan. Kita menjembatani
terobosan kita dengan paradigma dan realitas secara keseluruhan di tanah
Adonara. Selain “kepulang”, ada beberapa kearifan lokal lainnya, misalnya
Gemohin (gotong royong ). Hal ini sebenarnya
menjadi kekuatan dasar untuk kita berpijak secara sosial, ekonomi maupun
politik. Dari dulu sampai sekarang kita
selalu bergotong royong. Dalam menyelesaikan persoalan sekecil atau seberat
apapun, berat sama dipikul ringan sama dijinjing. Beban kerja atau persoalan
sebesar apapun akan menjadi ringan karena setiap orang mengambil bagian di
dalamnya.
Kita harus merasa bangga karena Gemohin ini sudah ada sejak founding father kita dari abad XVI atau
mungkin juga sebelumnya. Gemohin memiliki dampak sosial yang luar biasa. Kita
perlu bangga karena ia lahir sebelum
lahirnya tokoh sosialist Karl Marx. Jiwa sosial Ata
Diken Adonara ini hanya dimengerti oleh
orang Adonara. Orang lain tidak akan pernah mengertinya. Bahkan mereka akan merasa aneh dengan jiwa sosial
kita. Pernah di tahun 2014 dan 2017, saya bersama orangtua angkat dari Minneasota, salah satu negara bagian Amerika Serikat berlibur sebulan di kampung Lewopao - Ile
Boleng. Kebetulan bertepatan dengan pesta-pesta adat yang selalu dirayakan pada
akhir Mei sampai Agustus. Waktunya memang harus sesuai
dengan keputusan pemangku Adat Lewopao. Kedua orangtua Amerika ini merasa
begitu aneh dan heran. Alasannya karena kita selalu berkumpul. Lalu mereka
melihat begitu banyak orang yang datang menghantar bagiannya “PENANG”. Begitupun ketika makan Bersama secara adat dalam
skala suku atau sekampung. Di sana ada begitu banyak hewan (Kambing dan Babi)
yang dikorbankan. Mereka merasa penasaran lalu melontarkan seribu satu macam
pertanyaan. Mereka bertanya, apakah
kebiasaan mereka di sini sudah seperti ini? Lalu siapa yang memberi mereka
makan? Dari mana semua hewan korban diperoleh? Berapa jumlah uang yang harus
dikeluarkan setiap kali mengadakan pesta? Saya berusaha menjelaskan sebaik
mungkin. Mereka tetap saja tidak mengerti. Bahkan mereka mengatakan, “kami tidak dapat mengerti karna pesta tidak
pernah putus. Kami mungkin tidak mampu karena uang simpanan kami pasti selesai
seketika. Lalu bagaimana dengan
kehidupan kami selanjutnya”. Singkat saja saya katakana, ya.. kamu tidak mengerti. Kamu tidak akan pernah mengerti karena kamu
hanyalah pengunjung. Karena kaum capitalist seperti kamu berdua ini sulit memahami secara logis dan rasional. Saya yakin kamu pasti
akan merasa diri menjadi seperti orang gila. Apalagi ketika harus memberi
ratusan bahkan ribuan orang makan seperti ini. Mereka merasa aneh dan tidak dapat
mengerti jiwa sosial kita. Karena mereka bukan orang Adonara. Tetapi saya bisa mengerti mereka, karena
mereka berjiwa kapitalis. Saya mengerti mereka dengan prinsip hidup yang
terikat dengan Budget. Sekecil apapun pengeluaran harus dicatat, dan
dikalkulasi. Kita tidak mengenal hal itu. Karena kita menjujung nilai-nilai sosial sebagi yang pertama dan utama. Prinsip hidup
dari nenek moyang kita adalah memberi tidak akan pernah membuat kita miskin.
Kita boleh miskin secara material tapi hati kita tidak pernah miskin.
Sebaliknya kenyataan yang saya alami setiap kali berlibur ke rumah mereka di negara bagian Minnesota. Saya
begitu prihatin dan kasihan melihat kaum lansia di panti-panti jompo atau di
apartemen-apertemen mereka. Mereka hidup dalam kesendirian, sunyi dan sepi
melanda hari hari tua mereka. Kadang saya bertanya di mana anak-anak mereka dan
cucu-cucu mereka. Semua sibuk kerja, kerja
dan kerja. Kalaupun ada waktu itupun diakhir pekan. Bahkan sekali waktu kedua
orangtua itu bercerita tentang anak dari
teman mereka. Ia sebagai seorang pengacara. Ayahnya terpaksa tinggal sendirian
di apartement selepas kematian ibunya. Ya, begitu
sunyi dan selalu mengharapkan kehadiran sosok
putrinya. Kebetulan putrinya adalah satu-satunya anak mereka. Tetapi putrinya begitu sibuk dan tak pernah ada waktu sedikitpun
bertemu. Betapa malangnya nasib sang ayah sampai suatu ketika di telponnya sang putri, “putriku
saya baik baik saja, tetapi saya sangat rindu mengharapkan
kehadiran dirimu”. Ternyata apa yang dijawab oleh sang putri
begitu mengejutkan. Ayah pasti tahu dan mengerti anakmu sangat sibuk setiap
hari dengan agenda, klien , pertemuan dan sidang di pengadilan yang tak pernah putus-putusnya. Lalu
ayahnya menjawab, apakah engkau masih sempat datang di hari
penguburanku? Sang putri merasa sedih dan berkata, mengapa ayah berkata
demikian? Ya aku membutuhkan kehadiran dirimu sekarang ini, karena itu lebih
penting dari tangisan dirimu di saat ayahmu dalam balutan kain kafan, jawab
ayahnya dari seberang.
Cerita di atas selalu mengingatkan kita “Ata Diken Adonara” yang sosial dan kolektif. Hal seperti ini jarang dan bahkan hampir tidak
pernah terjadi pada kita. Kita sebagai anak, cucu dan cece secara
alamiah memiliki tanggung jawab moral. Kita tidak pernah merasa terpaksa untuk
berada di dekat orangtua kita. Bahkan kita berani mengorbankan semuanya demi
kebahagiaan orangtua kita sampai diakhir hayat hidup mereka. Orientasi
kekeluargaan dan kolektivitas kita begitu kuat erat melakat. Hal ini
tidak ada pada mereka. Di satu sisi saya
mengerti bahwa situasi memaksa mereka untuk tidak lagi memiliki rasa kedekatan.
Rasa alamiah secara kolektive dan kekeluargaan sebagai skala prioritas yang sudah
terkikis habis oleh mental mereka sebagai kaum kapitalis. Orientasi
mereka telah berubah dari komunal ke egosentris
yang besar dan indivudalisme yang tinggi.
Kita
dengan mereka sama sama manusia. Tapi Kita lahir dari pola dan tatanan hidup
yang berbeda. Sampai pada saatnya kita menutup usia sekalipun kita masih berbeda dengan mereka. Betapa menyedihkan
ketika saya harus menyaksikan peristiwa hidup mereka seperti ini. Saya selalu mengatakan
kepada mereka bahwa kehidupan orang Adonara sangat unik. Ketika dilahirkan kami memang menangis
sendirian, tetapi ketika kami mati, ada ratusan bahkan ribuan orang yang
menangsi diri kami. Dan ini benar
adanya.
Berbeda lagi ketika saya berada di Mexico untuk
belajar bahasa Spanyol. Saya selalu mendengar
ungkapan popular mereka, “como Mexico no hay dos”
artinya seperti Mexico tidak ada duanya. Mereka begitu bangga tentang kehidupan
social dan budaya mereka. Setidaknya ada
sedikit kesamaan antara kita dengan mereka. Orientasi kekeluargaan dan
kolektivitas masih sangat kuat. Saya sendiri merasa begitu nyaman seperti berada
di antara “Ata Diken Adonara”. Mereka selalu berkumpul bersama keluarganya sekalipun sibuk dengan begitu
banyak pekerjaan. Sangat jelas terlihat
mereka begitu menikmati dan memaknai makna kehidupan mereka. Orientasi mereka selalu merujuk pada satu darah yang termaktub dalam keluarga dan
kolektivitas. Entah apapun kehidupan yang dialami dalam suka maupun duka.
Mereka semuanya turut mengambil bagian. Demikianpun
di Karibia ketika saya bekerja dengan kaum immigrant yang berbahasa Spanyol. Saya
selalu dekat dengan mereka . Saya selalu percaya “Ata Diken
Adonara “ selalu memiliki hati yang tulus. Kita mendekati dan menerima siapun juga. Saya
merasa mereka dekat dengan saya demikianpun sebaliknya saya merasa dekat dengan mereka.
Lain lagi ketika saya bekerja beberapa
bulan di Irlandia. Waktu itu Saya tinggal
dan bekerja di daerah pedesaan Irlandia. Orang orang begitu ramah. Pintu rumah
mereka selalu terbuka untuk kita. Orang-orang di jalanan selalu tersenyum
sambil mengucapkan selamat. Percakapan pertama disetiap hari baru selalu
dimulai adalah cuaca. Maklum cuaca di Irlandia berubah ubah
tak menentu. Sesibuk apapun mereka pasti selalu ada waktu di akhir pekan untuk
berkumpul bersama keluarga. Mereka menyanyi dan menari
sambil menikmati kehangatan guines. Ada
kedekatan bathin tersendiri dan aku sungguh-sungguh menikmatinya.
Slogan Mexico , kehangatan orang orang
pedesaan di Irlandia mengajaku kembali
ke Nusa Tadon Adonara. Entah secara sadar ataupun tidak, ATA DIKEN ADONARA’
adalah manusia yang ramah tama. Kita selalu membuka pintu rumah untuk siapa
saja. Ini terlihat dari ajakan “welcoming”. Di jalan bawah disebut dengan kata “Peradok”. Setiap orang yang berjalan melewati
pekarangan rumah pasti ditegur, disapa dan diundang. Terlebih orangtua selalu mengajak mereka untuk singgah walaupun
hanya sebentar saja. Bagi kaum pria mereka diajak untuk “golo kebako” atau merokok dan “tekan wua malu” atau bersirih pinang untuk
kalangan wanita. Begitupun sebaliknya ketika kita berjalan melewati pekarang rumah
orang lain. Selalu ada sapaan yang sama.
Hal berikutnya sebagai ekspresi
keramahtamahan “Ata Diken Adonara” adalah
salaman. Kalau di jalan bawah kita mengenal salamat dengan sebutan yang amat
popular “Kereu” selamat jalan atau selamat tinggal. Sebutan ini sebagai tanda
penghargaan terhadap orang. Menariknya ucapan kata ‘Kereu’ ditujukan sesuai status
sosialnya, orang terpandang, yang tidak dikenal, orang sebaya, atau orangtua.
Dan filosofi serta prinsip hidup yang
menjadi kekuatan dasar bagi “ATA DIKEN ADONARA” adalah
“KODA” Kata, bahasa. Mereka yang menetap di Adonara ataupun di luar mengerti
apa itu Koda. koda menjadi kekuatan untuk berkata dan berbuat dalam kehidupan
holistic “ATA DIKEN ADONARA”. Ungakapan “kodaham
mureka pe moe morin, kodaham nalane
moe matayo” engkau akan hidup kalau engkau benar tapi engkau akan mati
kalau engkau salah. Karena kita percaya bahwa kehidupan “Ata Diken Adonara
“ pada mulanya adalah “koda” Ia hadir di
bumi menjelma menjadi manusia. Koda dipercaya menjadi penentu keberhasilan atau
kegagalan bahkan kehidupan ataupun kematian.
Kearifan lokal ini rupanya sudah sedikit mengalami degradasi nilai dalam setting
kehidupan masyarakat. Ketika kita kembali ke kampung halaman. Saat ini terlihat jelas pada tatanan interaksi sosial antar warga. Sangat
menyedihkan generasi sekarang. Mereka secara perlahan mengadopsi pola hidup kekinian yang tidak lagi berakar pada
tradisi budaya. Pada hal kehidupan “ATA DIKEN ADONARA” selalu
merasa indah ketika berada dalam keharmonisan dan keseimbangan bersama. Saya mengalami sendiri ketika berlibur di
kampung halaman. Orang sudah mulai belajar lupa hanya membalas ucapan selamat
“kereu”. Kita patut merasah resah dan
gelisah. Karena keharmonisan antara sesama
manusia, alam dan wujud tertinggi sebagai bagian yang tak terpisahakan dalam tatanan
kosmis secara perlahan terkikis esensinya.
Akhir kata
Pada akhirnya saya harus mengatakan bahwa
kita ATA DIKEN ADONARA bukanlah pembunuh. Kita adalah orang orang yang berwatak
keras tapi berhati selembut kapas. Persoalannya
kita menerima segala sesuatu entah baik
atau buruk secara harafia dalam hati kita. Kita menumpuknya di dalam hati tanpa
mencernanya lewat akal sehat kita. Ya saya sendiri mengalami itu. Saya
mengalami kesulitan di saat-saat awal. Ketika
berhadapan dengan orang orang Eropa atau Amerika. Misalnya Kita beradu
argument. Menurut mereka hal biasa kalau argument itu logis dan rasional
walaupun terkesan sangat kasar. Saat ini sebentar lagi mereka sudah lupa dan move on. Tapi untuk saya selalu butuh
waktu. Apa lagi orang-orang di kampung kita. Sulit sekali bagi siapapun untuk memaafkan
siapa saja yang melukai orang dengan
kata- kata apalagi membunuh orang yang
dicintainya.
Untuk itu sebagai “deket murine” generasi baru marilah kita bergerak ke arah
pendekatan dialektis. Karena di sana sudah ada darah yang tercecer, “mei nawa” .
Di sana ada luka bathin yang mengangah. Di sana sudah ada pengalaman traumatis.
Kita masih belum terlambat. Kita sudah
memulia hal yang baik. Sebagai garda terdepan kita harus kembali ke Lewotanah. kita
berjibaku bersama para pemangku adat dengan pendekatan dialektika ini. Seraya menghidupkan
kembali kearifan lokal kita untuk
menjaga keharmonisan secara menyeluruh. Kita tahu Sekalipun orangtua kita
nyaman dalam kemapanan berpikirnya. Tetapi kita harus mencobanya dan jangan
pernah menyerah. Ingat bahwa jangan pernah bayangkan bahwa kita akan mejadi
provokator. Kita mesti mejadi obor pembawa terang di tengah kegelapan. HEKE
MEGE
April 2020
St Maarten, kepulauan Karibia
Yohanes Sili Mudamakin, SVD